Sebuah
novel yang jika saya bisa merasakan apa yang dirasakan tokoh di dalamnya buat
saya itu adalah sebuah karya yang bagus. Bisa dapat 'feel'nya. Sekarang sih nyebutnya lebih mudah. Saya baper saat membacanya.
Heu... Baper oh Beper.
Kamila
adalah seorang asisten dosen untuk satu mata kuliah. Sementara Piter adalah
seorang adik tingkat Kamila. Mereka bertemu pada satu kejadian tak terduga.
Saat itu, Kamila terasa memesona buat Piter. Piter ingin meminta nomor telpon
Kamila. Kamila mengajukan syarat, singkat cerita Piter akhirnya mendapatkan
nomor telpon Kamila.
Di
luar dugaan Piter, justru Kamila lah yang menghubunginya lebih dulu. Di tengah
malam buta pulak. Saat mereka ingin memulai hubungan, mereka sadar ada
perbedaan yang nyaris tidak mungkin untuk disebrangi. Mereka berdua berbeda
keyakinan. Belum lagi saat orangtua keduanya ikut hadir dalam hubungan mereka.
Ketidakrestuan tersurat jelas dari sikap orangtua keduanya. Terlebih Piter
digambarkan sebagai seorang kristiani yang taat.
Kemudian
sahabat Piter, Finn, juga mengalami masalah yang serupa dengan Piter. Hubungan Finn
dan Anjani terhalang sebuah tembok besar, perbedaan keyakinan. Piter dan Kamila
melihat bagaimana Finn dan Anjani memperjuangkan hubungan mereka karena Finn
dan Anjani memulai hubungan lebih dulu daripada Kamila dan Piter. Berkaca dari hubungan
sahabat mereka, Piter dan Kamila tidak tahu jalan apa yang harus mereka ambil.
Cerita
di novel ini dimeriahkan oleh kesibukan dunia politik kampus, pemilihan
Presiden BEM di kampus mereka juga tugas-tugas kuliah. Membuat terkenang-kenang
saat masih aktif di organisasi juga seabrek tugas kampus :D
Mari
kita kupas novel ini.. Mungkin spoiler. Hehehe.. Jadiiii... Yang ogah baca
spoiler, baca aja deh. Hihihihi... Enggak ding, spoiler nanti saya kasih warna
biru di tulisannya ya.
Sesuai
temanya, cerita di novel ini memang menyelami mereka yang berhubungan tapi beda
agama. Beragam pikiran yang bergelut di otak mereka. Dari awal sebenarnya baik
Piter atau pun Kamila sadar kalau mereka punya perbedaan yang sangat prinsipil.
Tapiiii.... Terjerumus juga.
Saya
sebenarnya setuju dengan pendapat Anjani yang dikemukakan Finn dalam satu
adegan. Ia bilang, kalau ujung-ujungnya tak bisa bersama, mengapa harus
berlelah-lelah dengan perasaan? Bertengkar, Baper, kecewa, sedih, patah hati...
Ujung-ujungnya ya harus pisah juga.
Tapiii...
Yang namanya cinta (atau nafsu?) ya Bo.. Ada aja alasan anak muda ini dalam
mempertahankan hubungan. Seperti Piter bilang bagaimana bila after all this
time, cuma kita yang bisa melengkapi satu sama lain? Bagaimana kalau di dunia
ini hanya Kamila yang bisa sayang sama Piter? Yang kemudian langsung dijawab
Kamila kalau itu tidak mungkin. Piter cakep gitu. Kalau ada yang bakalan jomlo
itu kemungkinan Kamila. Piter pun kemudian membalik pertanyaannya bagaimana
kalau ternyata di dunia ini hanya Piter yang bisa sayang Kamila? Trus... ya
gitu deh. Sepasang anak manusia ini terus berkhayal bagaimana jika bagaimana
jika.
Walaupun
begitu, saya setuju dengan pendapat Anjani. Sebaiknya emang dihindari sejak
awal perasaan tersebut jika perbedaan jelas adanya. Kenapa? Hubungan seperti
itu tidak punya masa depan. Apa yang akan dikorbankan itu akan menyakiti
orang-orang yang kalian sayang karena perbedaan itu sangat prinsip. Juga
melukai diri masing-masing.
Sebagian
mungkin ada berpendapat kalau hubungan itu hanya sekadar ‘fun’ misalkan.
Melewati masa muda. Namun, adek-adek tersayang, sebaiknya jangan dilakukan deh
sebelum terjerumus terlalu dalam. Buat apa berlelah-lelah dengan perasaan kalau
ujung-ujungnya tak punya masa depan? Persis seperti yang dibilang Anjani.
Cinta
akan mengalahkan segalanya? Plisss…. Dalam keyakinan yang satu dengan yang
lain, cara menghalalkan sebuah hubungan atawa pernikahan punya cara yang jauh
berbeda. Dan itu diatur dalam keyakinan masing-masing. Jika pintu gerbang
pernikahan saja sudah berbeda, bagaimana bisa menjalani setelahnya bersama.
Hubungan pun tak bisa dibilang halal dalam agama Islam.
Saya
setuju dengan apa yang dipikirkan Kamila. Errr... Ini agak spoiler. Yang tidak
mau baca spoiler lewatin tulisan biru. Saat Kamila ingin pulang ke rumah dan ia
harus berhadapan dengan papanya. Kamila merasakan kalau saat itu hanya itulah
yang bisa ia pertahankan, yang bisa ia jaga, yang tak akan ke pergi ke
mana-mana. Keluarga. Papa buat Kamila. Padahal hubungan Kamila dan papanya
tidak semanis hubungan keluarga-keluarga yang lain. Tapi, Papa buat Kamila
tetap seorang Papa baginya. Apalagi buat kalian yang punya keluarga yang
hangat, jagalah itu. Jangan memulai sesuatu yang akan menyakiti keluarga.
Apalagi pasangan yang bisa meninggalkan kita.
Tentang
gaya menulisnya, saya suka sih bagaimana Morra Quatro meracik kisah ini. Bikin
baper. Hahaha... Novel ini diceritakan bergantian sudut pandang antara Piter,
Kamila, dan Finn. Ketika saya menemukan tulisan salat dan wudu di awal cerita,
saya meyakini kalau penulis satu ini menulis dengan baik (didukung juga dari rekomendasi Mbak Dhani dan Mbak Lyta ^^). Salat dan wudu
itu berdasarkan KBBI, di saat kebanyakan dari kita menulis shalat dan wudhu. Jika
kata-kata demi kata diperhatikan sekali agar sesuai EYD, tentulah dalam menulis
pun tidak serampangan. *IMHO. Kalau kata-kata sesuai KBBI, ini editor yang
keren atau penulisnya ya? Hehehe...
Membaca
adalah cara memperbanyak kosa kata baru. Di novel ini saya menemukan ada juga
kata baru yang saya temukan di novel ini yaitu birai. Beberapa kali disebut.
Berdasarkan KBBI, birai adalah pagar (dinding) rendah di tepi jembatan (tangga)
atau di pinggir perahu. Saya baru tahu kalau pagar di tepi jembatan atau tangga itu namanya birai.
Saya
juga menemukan beberapa quote menarik
di novel ini seperti :
‘Orang-orang saat mereka bertanya pada hidupmu, tidak
selalu berarti mereka peduli. Seringnya mereka hanya ingin tahu. Sekadar agar
tahu, sekadar agar puas. Sebab kalau memang benar-benar peduli, mereka justru
tak akan banyak bertanya. Mereka akan menunggumu bercerita dengan sendirinya.’
(Hal 133)
‘Mengenal
orang itu seperti mengupas bawang. Selapis demi selapis, dan kadang-kadang
membuat kita menangis.’ (Hal 101)
Walau
ada beberapa pendapat di novel ini yang tak sesuai dengan pemikiran saya, tapi
saya cukup suka lah dengan novel ini karena bikin bapernya itu. Hahaha…. 3,5
dari 5 bintang deh.
Judul
: What If…
Penulis
: Morra
Quatro
Penyunting Bahasa : Idha Umamah
Penerbit
: Gagas
Media
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2015
tidak 4 sekalian mbak...dri 5 bintang...nanggung :D
BalasHapusGa. 3,5 aja :D
HapusHuaaa tahun 2016 ini aku belum posting di blog satupun *komen gak nyambung
BalasHapusYanti mah ga mikirin apa postingan pertama, Teh. Kalau ada yang mau posting, posting aja. Hihihi...
Hapusterkadang ketika saya baca novel, memang suka nemuin kata baru yg blm saya ketahui :)
BalasHapusIya, Mbak. Sama banget...
Hapuseh ini yang nulis forgiven, kan? udah bacakah, hai?
BalasHapus#keluarjalur kekekeke
Iyaaa.. Yang nulis forgiven, Ka. Udah baca. Mau pinjam kah? :D
Hapusbaper...baper... :). di dunia nyata, menjalani hubungan seperti ini sulit Mbak, saya punya keluarga yang model begini, beda agama.
BalasHapusIya, Mbak. Makanya saya bilang jangan dimulai deh. Daripada susah nantinya... Kalau sudah jauh marasuk ke dalam hati.
Hapustrus ini endingnya gimana mbak? biar sekalian spoilernya hahahahahaha
BalasHapusHahahaha.... Ga seru kalau terang2an membeberkan endingnya, Mbak :D
Hapus