Setiap ada film yang dikategorikan bagus, ada terbersit keinginan buat menontonnya, tapi tak selalu keinginan itu bisa mewujud menjadi nyata karena di kota di mana sy tinggal tak ada bioskop. Buat menyentuh kota yang ada bioskopnya saja sy harus benar2 mencari waktu dan kesempatan yang tepat, apalagi kalau harus duduk manis di depan layar besar itu selama 2 jam.. sebuah kesempatan yang sangat jarang sekali terjadi. Terlebih, sy juga tak pengin pergi2 ke Banjarmasin hanya sekedar buat nonton. Takut kematian menjemput sy di perjalanan itu.
Keinginan buat menonton film itu semakin menguat jika film itu diangkat dari novel yang sudah pernah sy baca dan sy suka dengan novel itu. Jadilah sy berpenasaran ria bagaimana novel itu mewujud dalam sebuah novel, salah satunya ya Hafalan Shalat Delisa, yang novelnya sukses bikin sy nangis bombay, bukan hanya sekedar titik2 air mata yang jatuh, tapi banjir bo… mata sy bengkak esok harinya selepas membaca novel itu.
Nah, singkat kata singkat cerita, akhirnya, ahad kemarin di sela menghadiri undangan walimah dan silaturrahim ke beberapa keluarga di Banjarmasin dan Banjarbaru sy pun berhasil menonton film ini.
Oya, karena sebelum menonton film ini sy giat sekali mencari review2 tentang film ini, bukan hanya yang tersaji di MP di mana reviewnya masuk ke kotak masuk multiply sy atau dari teman2 FB tapi juga sy sampai googling demi mengobati rasa penasaran sy terhadap film ini. Karena itulah… ketika sy duduk di layar besar itu sy seperti duduk hanya membuktikan benar ga sih yang dikatakan review2 itu.
Dan kalimata “Ih, benar juga.” pun berloncatan di pikiran sy.
Seperti saat sy mendengar dialog di film itu, “Benar juga ga ada dialek Aceh dan bahasa Acehnya yang khas.”
Ketika dipertontonkan Delisa, Ummi dan ketiga kakaknya shalat sy pun berujar dalam hati, “Benar juga ya mukena mereka masih baru2 seperti keluaran dari butik.” Tapi di sisi pikiran sy yang lain ada yang membantah “Yah, wajar aja dunk, kan itu settingnya habis lebaran. Kali aja mereka pakai mukena baru pas lebaran kemarin.”
Ketika bencana tsunami melanda, di mana di salah satu review yang sy baca menyebutkan kalau air yang menenggelamkan Delisa itu terlalu jernih seperti air kolam renang ketimbang air tsunami, sy pun manggut2 menyaksikan hal itu terpampang di depan sy. Benar2 jernih. Tapii… tempat Delisa berada saat itu kan dekat sekali dengan bibir pantai, bukan di tengah kota Banda Aceh, jadi wajar aja kali ya belum ada benda2 yang terbawa air tsunami. Wallahua’lam.
trus… apalagi yaa… banyak sih, seperti kesibukan di Rumah sakit yang tak wajar. Akting pemain yang masih terlihat kaku, kalau menurut sy sih yang paling kaku itu kak Sofie. Hadoh.. untuk ukuran orang asing, ketika dia ngobrol dengan ustadz siapa itu.. kok rasanya kaku bener ya. Seperti mengeja. Bagusan saat Reza Rahardian waktu ngomong pakai Bahasa Inggris. *ini pengamatan orang yang ga tahu apa2*
Tapi dibalik itu semua, sama dengan novelnya, film ini juga bikin sy nangis bombay, sy menghabiskan 5 lembar tissue buat menyeka air mata sy yang terus2an mengalir. Wekekeke… Ga tau juga sih, banyak banget scene yang bikin airmata sy meluruh. Hingga kemudian saat bercermin (tentu aja setelah nonton) sy kaget sendiri mendapati mata sy bengkak. Bahkan ketika sy bercerita kembali tentang film ini pada mama, kakak ipar, sepupu2 dan tante sy, sy masih saja pengin nangis.
Soalna keluarga sy pada penasaran, film itu ceritanya gimana sih smp sy nangis2 bombay kayak gitu. Sy cerita deh kalau film itu tentang tsunami di Aceh. Di mana ada seorang anak kecil, yang punya ayah ibu lengkap, juga 3 kakaknya kemudian ketika tsunami melanda, ummi dan 3 kakaknya wafat. Tinggal dia dan ayahnya menghadapi kehidupan yang akan terus berjalan dengan atau tanpa orang yang kita cintai.
Di film ini sy seperti melihat sy dalam diri Delisa, di mana sering bertengkar gitu dengan kak Aisyahnya. Seperti sy yang sering bertengkar dengan kakak. wekekeke... Walau sering bertengkar tapi sebenarnya mereka saling menyayangi. :)
Di film ini sy juga melihat lagi bagaimana berdukanya warga Aceh saat bencana itu melanda mereka. Kehidupan yang awalnya berjalan normal menjadi tak normal lagi. Kehilangan fasilitas (Jalanan rusak, listrik padam, air PDAM pun juga ikut macet), kehilangan tempat tinggal sampai yang tak akan terganti, kehilangan orang2 yang mereka sayang, keluarga, teman, tetangga.
Di sini sy juga melihat bagaimana mereka saling menguatkan, terlihat saat Delisa sakit karena merindukan umminya dan dia merasa sendiri, para tetangga datang menengok Delisa. Bagian ini jg bikin sy nangis bombay.
Sy juga suka dengan soundtracknya..
Lembut kukenang, kasihmu ibu.
di dalam hati,ku kini menanggung rindu
Mendengar lirik lagunya pun bikin sy nangis bombay. hihihi…
Terakhir, di tengah kritik terhadap film ini (kritiknya membangun kan? Karena pastinya mereka yang mengkritik ingin film2 dengan pesan moral yang bagus seperti HSD ini lebih bagus lagi) sy sangat mendukung dengan film seperti ini. Karena HSD merupakan tontonan yang memang bagus di tengah tontongan yang horor dan lucu2an ga jelas dan minim busana.
Eh, ini terakhir lagi… apa Raul Lemos ikutan main di film ini? :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^