“Errrrgggghhhh….” Aku mengerang kesal mendengar ada suara ketukan di pintu sepagi ini di hari minggu. Oh tidak, ini hari minggu dan aku yang setiap harinya diharuskan untuk bangun pagi tentu saja hari minggu adalah hari di mana aku bebas untuk berada di tempat tidur sepuasku. Tapi kenapa harus ada ketukan di pintu? Ini sungguh sangat mengganggu, aku merutuk kesal.
Ketukan di pintu masih saja terdengar. Apa orang itu tak menyerah saja untuk berhenti mengetuk pintu? Kemudian kembali lagi nanti siang atau nanti sore sekalian? Pikirku. Tapi entah kekuatan darimana aku justru tetap bangun dan dengan kesadaran yang belum penuh menyeret langkahku menuju pintu.
Mataku memicing begitu pintu terkuak, sinar mentari yang sebenarnya tak terlalu cerah tapi begitu silau di mataku yang baru terjaga. Aku perlu waktu beberapa detik agar mataku bisa beradaptasi hingga silau itu sirna dan aku bisa melihat dengan lebih jelas dan oh tidak… aku terperanjat dan hampir ingin melompat menyadari siapa yang berdiri di depanku.
“Baru bangun Faira?” Aku tergagap sendiri, kebingungan harus menjawab apa.
“Pasti belum sarapan kan? Mau sarapan bersama?” Tanyanya yang membuat aku kebingungan. Oh Tuhan, bukankah ini yang selalu kumimpikan?
“Eh…” aku masih tergagap. “Bisa tunggu sebentar?” Dia mengangguk. Aku bergegas berbalik, kurasa aku perlu memperbaiki penampilanku sebelum kami keluar buat sarapan. Apa? Keluar? Aku tersadar akan sesuatu yang membuat langkahku terhenti dan kemudian berbalik lagi, menemukannya yang masih berdiri di tempat yang sama.
“Sarapan di mana? Di sini?” Aku menunjuk ke arah dalam rumah. “Atau di….” Kalimatku tergantung. Dia terkekeh, mungkin menertawakan sikapku yang terlihat sekali kikuknya.
“Kita sarapan di luar saja ya, bisa mati kelaparan kalau menunggumu memasak,” aku mengangguk. Setuju. Dan berlari riang ke arah kamarku.
“Apakah ini mimpi?” aku masih bertanya-tanya itu dalam hati. Melihat dia tersenyum saja itu hal yang sangat luar biasa, terlebih dia hadir di depan rumahku dan mengajakku sarapan.
“Mungkin ini jawaban dari doa-doamu Faira,” sebuah suara muncul dari diriku sendiri. Aku tersenyum, mendongak ke atas. Berterimakasih pada Tuhan atas kuasaNya hal ini terjadi. Walau sebagian hatiku masih terasa janggal kenapa hal seajaib ini bisa terjadi.
Dia, dia yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku. Dia yang bahkan sudah menolak kehadiranku saat aku muncul dalam hidupnya padahal aku sudah bersorak gembira pada kenyataan ternyata aku punya seorang kakak kandung, kakak laki-laki kandung. Itu hal yang begitu kuinginkan sepanjang hidupku. Tapi dia tak menerimanya saat itu, tak terima ketika mengetahui kalau ayahnya yang juga ayah kandungku ternyata pernah menikah dengan ibuku, 20 tahun yang lalu.
Tapi penolakannya tak menyurutkan harapanku suatu saat dia akan berubah, menerimaku dan aku akan berada di posisi yang sama dengan Alika, adik kandungnya satu ayah dan satu ibu yang juga adik kandungku. Aku kerap melihat dengan tatap penuh iri ketika dia begitu memanjakan dan menjaga Alika, juga pada tiap foto bersama mereka yang kulihat di blog atau twitter. Sementara aku? Hanya seorang adik yang tak dia akui. Tapi, bukankah darah lebih kental dari air? Aku masih menyimpan harap suatu saat dia bisa menerima kehadiranku.
Beep!
Suara dari BBku yang menandakan ada BBM masuk membuyarkan lamunanku dan mengingatkan diriku agar segera bersiap. “Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama Faira,” hatiku mengingatkan. Aku mematut diri di depan cermin sekali lagi, tertawa sendiri menyadari aku seperti ingin pergi kencan saja padahal sarapan dengan kakak kandung sendiri. Ketika kupastikan penampilanku sudah sempurna, kuraih BBku, membaca BBM yang masuk sembari berjalan ke arah pintu.
“Fai, darah kamu AB kan? Adik temanku sedang dirawat, dia butuh donor segera. Mungkin kamu bisa bantu. Namanya Alika, yang butuh darah AB itu segera.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^