Sebenarnya ada bagian yang tak saya
sebut ketika bercerita tentang Guru saya di tulisan ini. Ibu Guru yang membuat
saya jatuh cinta lagi pada matematika adalah orang yang sama yang membuat saya
ingin pergi menetap ke luar negeri buat belajar. Yah, karena Ibu Guru tersebut
baru menyelesaikan pendidikan beliau di negeri Kanguru.
Saya, seorang gadis
kampung ini kemudian terkagum-kagum pada sosok beliau. Ternyata urang Barabai
juga bisa mencicip pendidikan di luar negeri walau hanya berprofesi sebagai
Guru. Iiiih… kok ada kata walau hanya sih yan? Sudahlah, tak usah
dipermasalahkan. Dulu pikiran saya sempit dan menganggap mereka yang ke luar
negeri itu yang profesinya gimanaaaa gitu. Peneliti, dubes, dll lah.
Saya pun
kemudian bercita-cita pengin jadi Guru juga dan mencicip pendidikan di Luar
Negeri. Tapi, cita-cita menjadi Guru harus
saya pupus, karena kesempatan saya kuliah cuma terbatas pada dua jurusan
(Teknik atau Kedokteran), kapan-kapan kalau moodnya bagus dan saya lagi pengin
saya ceritakan tentang itu walau ga janji juga sih. Hehehe…
Pada akhirnya saya
terjerumus kuliah di Teknik. Merasa salah jurusan? Banget! Tapi saya juga tak
punya keberanian untuk banting stir mengambil jurusan yang lain walau waktu itu
terinspirasi untuk melakukannya sewaktu membaca buku Nikah Dini keren.
Seiring dengan saljurnya saya itu,
saya juga kemudian berhenti berharap untuk mengenyam pendidikan di Luar Negeri.
Keluar dari kampus itu saja sudah menjadi kelegaan luar biasa bagi saya.
Tapi sekarang status saya adalah
seorang istri. Di mana, pekerjaan yang digeluti suami saya punya peluang yang
lumayan lah buat berkarier di luar negeri. Senang kah saya? Mungkin ya. Tapi
saya kemudian mikir-mikir lagi setelah dapat wajengan dari Guru saya terkait
HIJRAH.
Kenapa Rasulullah saat itu hijrah
dari Mekkah ke Madinah? Salah satu yang menjadi alasan bisa jadi juga poin
penting karena saat itu ketenangan dan keleluasaan dalam beribadah sudah tak
didapatkan. Kaum Kafir Quraisy saat itu begitu mempersempit gerak Rasulullah
dan para Sahabat. Karena itulah perintah Hijrah itu tiba.
Apa yang bisa diambil
pelajaran dari hal tersebut?
Kata Ustadz saya, itu artinya juga diperintahkan
Hijrah bagi kita ketika keleluasaan untuk beribadah tak bisa didapat lagi.
Misalkan, kita bekerja, di mana tempat kerja kita tak memungkinkan kita untuk
beribadah, maka hijrahlah. Atau kita di satu tempat, di mana tempat tersebut
justru membuat kita lebih akrab dengan makanan haram ketimbang halal untuk
dimakan, maka hijrahlah.
Saya tercenung mendengarnya. Ini
seperti sebuah peringatan untuk saya yang berkeinginan untuk merasakan hidup di
luar negeri. Apakah senyaman saat saya berada di Tanah Air dalam hal beribadah?
Saya teringat dengan perjalanan saya ke Singapura, tahun kemarin. Di mana saya
kepayahan mencari makanan halal juga tempat shalat. Mungkin mudah buat yang
sudah menetap di sana, tapi bagi saya yang baru pertama kali menjejak pulau
tumasik itu sungguh kesulitan. Ah, saya berharap yang terbaik dalam
pandanganNya untuk keluarga saya.
Hijrah yang dimaksud tentu saja
bukan hanya perpindahan tubuh kita. Bukan saja perpindahan kita dari satu
tempat ke tempat lain. Karena makna hijrah juga bisa diartikan dengan
perpindahan dari sesuatu yang tak baik menjadi baik. Semoga lebih baik dari
tahun kemarin, begitu status-status yang banyak terbaca oleh saya. Tentunya
saya juga berharap demikian.
1433 telah tertinggal di belakang
menyisakan kenangan. Banyak hal yang terjadi pada saya di tahun tersebut. Di
tahun itu tanpa diduga saya kembali mendapat undanganNya untuk ke Tanah Suci.
Hal yang sangat saya syukuri sekali. Sungguh tak menyangka saya bisa secepat
itu kembali ke Tanah Suci setelah pertama kali ke sana pada 1429.
Pada 1433 juga saya hijrah dari
status saya sebagai single menjadi double. Hehehe… Yah, sya’ban 1433 saya
menikah. Yang berarti ada kewajiban-kewajiban baru yang berubah seiring
berubahnya status saya. Jika dulu saya berada di bawah tanggungan kedua orang
tua saya, kini bakti saya yang utama adalah pada suami.
“Andaikan saja dibolehkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi: Hasan Shahih)
Di tahun 1433 juga saya diterpa sebuah
fitnah yang bahkan mengancam jiwa saya. Dan emosi saya gagal dikendalikan waktu
itu. Aiiih, saya ingin menutup buku tentang hal tersebut dan mengambil
hikmahnya saja. Betapa saya harus lebih bisa mengendalikan emosi saya, jangan
diperturutkan selalu. Kepada siapa saja yang membaca bagian ini mohon doakan
saya :)
1434 kini telah hadir. Seperti yang
telah sebutkan tadi, saya juga berharap yang lebih baik dan ingin melakukan
yang lebih baik di tahun ini. Tepat di penghujung tahun kemarin, suami saya
berhasil melakukan sebuah pencapaian. Congrats ya Say. So proud of you.
Ditunggu traktirannya. Hehehe….
Di penghujung tahun kemarin juga saya
merubah penampilan blog saya ini dan juga berharap apa yang terisi di sani
adalah aksara-aksara yang bermakna. Yang bisa menjadi amal kebaikan buat saya
juga pengingat bagi saya pribadi. Karena seringnya menuliskan lebih mudah dari
mengerjakan. Praktek lebih sulit dari teori.
Saya pernah beberapa kali ketemu
dengan blog seseorang yang telah tiada, telah berpulang, tapi blognya masih
bisa bercerita, kita masih bisa menikmatinya dan saya mengambil hikmah juga
manfaat dari blog tersebut. Baik dari cerita yang disampaikan juga dari resep
yang disajikan. Semoga menjadi amal kebaikan buat yang punya blog.
Finally, karena sudah ke sana ke mari
saya bercerita, maka kita sudahi saja sampai di sini.
Marhaban bi sanatil jadid,,, Nas'alukAllahul afiah,
Kalimat pertama artinya kurleb Selamat datang di tahun yang baru.
Kalimat kedua saya tak tahu, sepertinya doa. 2 kalimat itu saya copas dari
status kakak saya yang insyaAllah artinya baik kok. Hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^