"Apa kabar dek?"
Kakak kelas sewaktu SMA menyapaku lewat YM.
"Kabar baik mbak."
"Lama ga kelihatan nih, ke mana aja?"
"Lagi sibuk mbak."
"Hayoo, sibuk apa nih? Persiapan nikah ya?"
Astagaaa…
persiapan nikah? Heran deh, aku lama ga nongol di jejaring sosial
dibilang mau nikah. Kemarin aku ketemu teman di toko buku dan aku lagi
asyik baca buku resep juga dibilang mau nikah. Minggu lalu, aku beli
baju baru dan ketemu tetangga, dia bilang aku mau nikah. Apa segala hal
yang kulakukan selalu berhubungan dengan persiapan menikah? Apa karena
aku berada di usia yang sudah sangat pantas untuk menikah? Sabar Ra, aku
membelai hati sebelum menanggapi.
"Bukan kok mbak. Lagi banyak kerjaan kantor aja."
"Oh,
kirain mau nikah. Kapan nih? Udah ditunggu undangannya tapi ga nongol
juga. Sampai lumutan nungguin. Jangan terlalu milih lho."
WHAT? Aku dibilang terlalu milih? Hatiku yang tadi susah payah kubelai kembali memanas. Gemetar tanganku mengetik jawaban.
"Mbak,
siapa sih yang ga mau nikah? Saya mau mbak. Tapi, kenapa sampai
sekarang saya belum menikah juga, itu bukan karena terlalu milih mbak.
Tapi emang ga ada pilihan. Gini deh mbak, supaya mbak ga lumutan
nungguin undangan saya dan supaya saya juga punya pilihan, gimana kalau
mbak minta suami mbak yang melamar saya? Poligami boleh kan mbak?"
Sent.
Aku langsung offline
setelah itu. Tak peduli apa reaksinya. Walaupun ada secarik sesal yang
menyusup kenapa aku bisa menanggapi dengan sebegitu emosi. Kemarin juga
ada Rindra, teman angkatanku yang mengajukan pertanyaan menyebalkan itu
dan disertai dengan kata-kata "Wanita punya deadline masa subur lho,"
hatiku mendidih dan langsung menjawab.
"Kalau
kamu memang pengin lihat aku nikah. Kenapa dulu kamu ga ngelamar aku
aja? Tapi malah ngelamar gadis yang lebih muda. Pikir sendiri, kalau
kamu khawatir dengan 'usia' para gadis yang tak juga kunjung menikah,
seharusnya kamu menikahi gadis yang lebih tua atau minimal sepantaran.
Bukan yang lebih muda," tuh kan jawaban penuh emosi.
Tapi
satu pikiran membenarkan tindakanku. Biar mereka mikir, betapa sangat
tidak nyamannya ditanya hal seperti itu. Tapi aku juga dilingkupi rasa
malu, kenapa aku menjawab seperti itu? Seakan aku begitu nestapanya
karena belum menikah.
Pandanganku
jatuh ke kalender dan aku mendapat jawaban atas emosiku yang begitu
mudah menyala. Pelajaran penting buat yang hobby nanya 'kapan nikah?', JANGAN BERTANYA SAMA ORANG YANG LAGI PMS!
**
Aku
terkesiap mendapati seorang wanita yang sering kulihat di SMA dulu
berdiri di depan pintu. Setelah duduk dan berbasa basi wanita itu
berkata.
"Dek
Raya, saya dan suami sudah berdiskusi panjang tentang penawaran dek
Raya. Dan diskusi kami bermuara pada satu keputusan. Kami sepakat. Dek
Raya siap menikah kan? Dengan suami saya," aku melihat luka di mata
wanita itu walaupun senyum terukir di wajahnya. Perasaan sangat
bersalah menderaku.
"Mbak, maaf ya. Saya kemarin itu ga serius kok. Cuma emosi. Hadoh mbak, jangan ditanggapi serius dong."
"Tapi
kami serius dek. Sangat serius," aku merasakan ada yang melilit di
perutku. Reaksi tubuh yang sudah sangat kukenal jika aku berada dalam
situasi stress dan panik.
InshaAllah
Maher Zain terdengar nyaring memecah hening, mengagetkan kami berdua
yang sama-sama terdiam. Gegas aku meraih handphoneku. "Ray, ini aku
Rindra. Aku udah bicara sama istriku. Dia setuju kalau aku menikah lagi
dengan kamu."
Glek!
Aku terpaku di tempatku. Suara batinku memohon. "Rabbi, aku memang
ingin menikah. Tapi bolehkah aku meminta? Aku ingin menjadi yang pertama
dan satu-satunya."
***
Tadinya
pengin ikutan lomba FF Poligaminya mbak Leyla. Tapi menyerah memangkas
katanya, juga merasa ceritanya fiktif banget dan terlalu maksa nyambung
sama tema. Hehehe... jadi batal ikutan :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberikan komentar di blog saya. Mohon maaf komentar saya moderasi untuk menyaring komentar spam ^_^