Burung besi yang membawa saya mengangkasa dijadwalkan berangkat tepat pada tengah malam waktu Jakarta. Ratusan penumpang pesawat menunggu dengan sabar di Soekarno Hatta. Badan saya saat itu sudah merasakan kelelahan karena sudah sedari pagi saya mulai menempuh perjalanan, dari kota kecil Barabai menuju Banjarmasin, balik lagi ke Banjarbaru dan terbang ke Jakarta. Perjalanan tak sampai ke Jakarta, karena akan ada perjalanan lanjutan menuju Dubai di tengah malam itu.
Begitu pesawat lepas landas, saya berusaha untuk memejamkan mata. Beristirahat semampu yang saya bisa, sekalian menyimpan tenaga karena masih ada perjalanan panjang yang akan dilewati. Bersyukur pada saat itu saya bisa tertidur beberapa jam walau lebih banyak terjaga.
Sampai di Dubai hari sudah terang. saya dan rombongan berjalan menuju terminal lain untuk memasuki pesawat berikutnya. Iya, di Dubai hanya transit. Tapi senang juga bisa transit di Dubai, karena ternyata bandaranya mewah luar biasa. Saya seperti berjalan di pusat perbelanjaan bukan bandara.
Begitu pesawat lepas landas, saya berusaha untuk memejamkan mata. Beristirahat semampu yang saya bisa, sekalian menyimpan tenaga karena masih ada perjalanan panjang yang akan dilewati. Bersyukur pada saat itu saya bisa tertidur beberapa jam walau lebih banyak terjaga.
Sampai di Dubai hari sudah terang. saya dan rombongan berjalan menuju terminal lain untuk memasuki pesawat berikutnya. Iya, di Dubai hanya transit. Tapi senang juga bisa transit di Dubai, karena ternyata bandaranya mewah luar biasa. Saya seperti berjalan di pusat perbelanjaan bukan bandara.
Ketika di Dubai inilah debar-debar itu mulai nyata saya rasakan. Debar-debar menanti sebuah pertemuan pertama. Ada perasaan senang, excited, haru juga cemas dan takut. Haiyaaa... Perasaan cemas dan takut itu juga mengiringi langkah-langkah saya saat itu. Saya cemas dan takut jangan-jangan nanti saya tak bisa melihat sesuatu yang benar-benar ingin saya lihat itu.
Ketika burung besi itu kembali terbang, degup jantung saya semakin tak karuan. Apalagi di layar televisi pada pesawat itu beberapa kali menampilkan sebuah gambar yang membuat saya haru dengan sebuah keterangan kalau pesawat yang kami tumpangi pada saat itu posisinya tepat menghadap kiblat.
Burung besi akhirnya mendarat ketika menjelang dzuhur di King Abdul Aziz Jeddah dan saya bisa melaksanakan shalat dzuhur di bandara internasional itu. Setelah semua urusan beres (imigrasi dan pengambilan bagasi) saya dan rombongan menumpangi sebuah bus yang akan mengantar kami ke Mekkah. Kembali saya berdebar-debar, saat memasuki tanah suci untuk pertama kali. Syukur luar biasa tentunya, juga ada bahagia, haru, juga cemas dan takut. Ah, kenapa cemas dan takut itu masih saja ikut-ikutan dalam perasaan itu.
Ketika hari hampir gelap saya sudah bisa duduk manis di sebuah apartemen di salah satu negara Timur Tengah itu. Bentuk bangunan yang tak seperti kampung halaman menyapa pandangan saya di sekeliling apartemen. Saya telah sampai di kota kelahiran manusia mulia itu, tapi hati saya tak berangsur tenang karena masih belum bertemu dengan yang sudah saya impikan pertemuan itu sejak dulu.
Saya mendengar instruksi dari pembimbing kalau rombongan yang saya ikuti saat itu akan beranjak menuju Masjidil Haram setelah selesai shalat isya dan makan malam. Agak malam karena mengantisipasi agar tak terjebak macet saat jutaan manusia ke sana pada saat shalat isya dan begitu pulang dari shalat isya. Walau rasanya sudah tak sabar ingin segera bertemu, saya tak bisa berbuat apa-apa selain ikut menunggu. "Sabar, tak lama lagi," hati saya mencoba menenangkan.
Saat saya sudah duduk manis di atas bus, saya merasa semakin gugup dan salah tingkah saja. Detak jantungku bergetar seperti genderang mau perang, begitulah kira-kira ungkapan yang pas seperti lirik lagu. Tapi walaupun dalam keadaan tak karuan, saya masih saja sempat terlelap di dalam bus itu. Mungkin karena saking lelahnya ya. Beberapa hari kurang sekali istirahat.
Selama dalam perjalanan pembimbing terus membimbing rombongan buat membaca kalimat talbiyah karena pada saat itu kami semua dalam kondisi ihram. Sampai pada satu titik, pembimbing kami berkata seperti ini "Para jamaah sekalian, coba anda lihat di sebelah kiri bus. Itu adalah menara Masjidil Haram," saya yang mendengar itu semua langsung menoleh. Alhamdulillah... Saya bersyukur sekali, menara Masjidil Haram yang biasanya cuma bisa saya lihat lewat foto dan TV kini ada di depan mata. Semakin dekat, menara itu semakin terlihat jelas hingga sampailah saya benar-benar di depan Masjidil Haram yang berjubel manusia di dalamnya.
Pada saat itu, para pembimbing mengatur dan memberikan pengarahan para jamaah untuk umrah pertama itu. Bagaimana jika terpisah dari rombongan, di mana kami akan saling berkumpul agar bisa pulang bersama-sama nantinya. Karena beberapa di antara kami sudah tidak punya wudhu karena tertidur dan lain-lain hal yang membatalkan wudhu, maka saya dan teman-teman pun diperintahkan buat segera mengambil wudhu. Harus dalam keadaan berwudhu lah karena kami akan melsayakan thawaf.
Saya dan jamaah wanita lain pun bersegera ke toilet yang di sana ada tempat buat berwudhu. Khusus perempuan. Terpisah jauh dari toilet untuk pria. Toiletnya ada di bawah tanah. Sewaktu kami masuk ke bawah tanah, eh... Tiba-tiba pintu buat masuk itu ditutup. Alasan yang kami dapatkan kenapa pintu itu ditutup karena sudah penuh. Saya terpaku di tempat saya berdiri karena tante saya (waktu itu saya berangkat bareng tante dan abang saya) sudah masuk ke dalam toilet yang pintunya ditutup itu. Saya minta kepada penjaga agar diizinkan masuk karena tak ingin terpisah dari tante harus gigit jari karena tak mendapat izin.
"Sudahlah Anti, nanti kan kita bisa nunggu tante lagi di sini," kata Ibu-ibu jamaah lain. Saya pun akhirnya hanya bisa mengikuti langkah ibu-ibu jamaah lain ke toilet bagian bawah lagi.
Ketika selesai dan berkumpul di tempat yang dijanjikan, di mana ustadz pembimbing kami sudah menunggu di sana, saya tak kunjung menemukan tante. Rasa cemas kembali menggeluti hati saya. Para ibu-ibu yang lain pun bingung, dan memanjangkan leher mencari sosok tante saya itu. Tak ketemu. Singkat cerita nih ya, ternyata tante sudah menunggu kami di pintu masuk Masjidil Haram. Hufff... Untung masih bisa bertemu. Saya kembali memusatkan konsentrasi saya pada sesuatu yang menunggu saya di dalam. Kembali berdebar-debar.
Ustadz pembimbing memandu para jamaah untuk memasuki Masjidil Haram. Ada doa khusus yang dibaca. Setelah membaca doa, kami pun melangkah bersama, menyusuri Masjidil Haram yang penuh dengan para jamaah sejagad raya. Detak jantung saya semakin cepat, berdebar tak karuan. 'Semakin dekat.. Semakin dekat..' ada suara dalam hati saya. Saya pun memandang lurus ke depan dan saat pandangan saya menyapa satu titik berwarna hitam di ujung sana, tubuh saya serasa melunglai. Ada luapan rasa bahagia dan syukur yang memenuhi hati saya saat pandangan pertama pada sesuatu bernama Ka'bah.
Rasanya bagai mimpi tapi ini nyata, kini di depan saya ada Ka'bah yang begitu saya rindukan. Air mata saya menderas saat itu. Ada perasaan begitu beda yang menyusup ke hati saya ketika memandang Baitullah itu. Entah perasaan apa itu saya tak bisa menamainya, seperti ada sebuah kedamaian dan sensasi rasa yang lain dari biasa. Itulah yang membuat saya betah berlama-lama memandang Ka'bah. Saya terpesona, saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan sejak pandangan pertama itu saya ingin memandangnya lagi dan lagi.
Semoga yang belum memandang secara langsung Ka'bah itu, Allah mudahkan langkah-langkah menuju Tanah Suci. Aamiin....
tak jemu dipandang |
Alhamdulilaah, senangnya sudah megninjakkan kaki ke Makkah, Mba. Lengkap sekali, karena ke sananya bersama keluarga.
BalasHapusSeprtinya toilet bawah tanah tuh menakutkan ya, Mba. :)
Saya mengamini doa, Mba hairi. Semoga saya dan teman2 lain bisa ke sana ya, Mba. :)
Terimakasih sudah ikut meramaikan syukuran di Langkah Catatanku, Mba.
Salam Senyum. ^_*
Alhamdulillah... Iya, saya bersyukur sekali Allah mengundang saya dan keluarga.
HapusHumm.. Iya, memang sedikit ngeri di toilet itu. Jadi lebih baik menghindari ya :) usahakan sudah dalam keadaan berwudhu dari penginapan. Tapi di lantai 2 Masjidil Haram, ada tempat kok buat berwudhu.
Aamiin... Saya pengin semua saudara seiman saya merasakan betapa nikmatnya memandang Baitullah.
Sama2.. Salam senyum dan salam kenal ya :)