Mengulas sebuah buku adalah kesenangan saya
sejak dulu, sejak saya menggandrungi yang namanya membaca. Setelah membaca buku
rasanya otak saya ini penuh sekali, ada banyak hal yang ingin saya keluarkan
atau ceritakan. Salah satu cara bercerita saya akan buku tersebut dengan
menulis ulasan, review, atau resensinya di blog. Blog saya pun penuh dengan cerita tentang buku,
buku, dan buku.
Sekitar tahun 2013, saya mendapati beberapa teman saya
mengabarkan tentang resensi mereka yang dimuat di media. Oh... Saya melongo.
Takjub sebentar. Ternyata peluang menulis di media tidak hanya selalu berbentuk
cerpen atau opini. Ulasan tentang buku juga bisa tampil di media cetak.
Kendala muncul saat membaca resensi teman-teman
yang dimuat di media saya merasa... Oh.. Ini bukan saya banget. Kenapa? Saya
terbiasa bebas dan lepas saat meresensi. Menuangkan semua yang ada di pikiran
saya. Saat itu saya tidak mau tunduk dengan aturan yang harus saya patuhi saat
meresensi yang ditujukan untuk media.
Aturan seperti apa? Bahasannya biasanya lebih
formal dan kaku. Sedangkan saya terbiasa menyertakan hahahaha, hihihihi,
xixixixi, wkwkwkwk, dan lain sebagainya di resensi saya. Di media menyertakan
kikikan seperti itu? Bisa langsung ditutup awak redaksi tulisan saya dan tidak
ditengok lagi. Selain itu saya merasa kemampuan saya untuk menulis resensi baru
sekadar untuk dipajang di blog pribadi. Saya belum pede buat menulis untuk
media. Ikut lomba resensi saja kalah mulu. #pukpukYanti
Semuanya berubah saat negara api menyerang
saya ikut kelas Penulis Tangguh. Di sana semangat saya terpompa, rasa minder
perlahan terkikis. Tulis tulisan terbaik
dan kirim ke media, begitu kata Ibu Guru. Selain tulisan-tulisan yang saya
dapatkan hasil belajar di kelas, saya pun memulai melirik kira-kira tulisan apa
lagi yang bisa saya kirim ke media cetak?
Kemudian saya teringat akan satu resensi yang
pernah saya tunjukkan ke teman-teman di komunitas BaW Community. Saat itu saya
meresensi satu buku antologi. Mbak Binta Al Mamba memberikan komentar pada
resensi saya tersebut, beliau bertanya apa buku yang saya resensi itu terbitan
baru? Saya jawab ya. Buku itu memang terbitan baru yang saya dapatkan dari
giveaway yang diadakan Mbak Ika Koentjoro.
Mbak Binta kemudian mengatakan lebih baik
resensi saya itu dikirimkan ke media, tepatnya ke Koran Jakarta. Walaupun kata
beliau dan Mbak Nining Sumarni, untuk mengirimkan resensi itu saya harus
merombak resensi tersebut hingga layak kirim. Nah... Di situlah saya malasnya.
Masa saya harus menghilangkan hahahaha, hihihihi, wkwkwkwk yang selalu saya
sertakan di resensi saya. Namun saat mengikuti kelas Penulis Tangguh, saya pun
rela dan ikhlas buat merombak resensi saya tersebut.
Saya pelajari contoh resensi yang pernah
dimuat, mengedit nyaris sebagian besar resensi yang sudah saya tulis, mengamati
syarat dan ketentuan dari redaksi dan kemudian sent! Resensi itu saya kirimkan di hari senin pagi. Itulah yang
menjadi awal yang baru saya berani mengirim resensi ke media. Bagaimana
rasanya? Dag dig dug tidak karuan. Setelah menekan tombol sent di laptop, saya
rasanya ingin ngumpet di bawah meja. Padahal redaksi tidak akan melihat
bagaimana rupa saya. Tapi tetap saja ada perasaan berdebar dan malu.
Hari rabu, selang satu hari setelah saya
mengirim resensi tersebut, saya mendapatkan informasi dari Mbak Naqiyyah Syam
kalau resensi saya dimuat di Koran Jakarta. Huwaaa.... Saya terkejut dan senang
luar biasa. Akhirnya saya bisa nembus media. Akhirnya nama saya bisa tercetak
di media. Satu bulan kemudian saya bertambah senang karena ada tambahan saldo
di rekening saya. Wuiiih... Pulang dari ATM, senyum saya terus merekah
sepanjang jalan. Alhamdulillah...
Awal yang baru itu membuat saya lebih
bersemangat mengirimkan resensi-resensi lainnya. Walaupun kerap ada perasaan
tidak percaya diri dan minder. Perasaan ingin ngumpet di bawah meja itu tetap
ada sampai sekarang.
Alhamdulillah sudah beberapa resensi saya yang
dimuat di media. Ada di Koran Jakarta, Kompas Anak, dan Tribun Kaltim. Selain
honor yang bisa didapat, menulis resensi juga bisa membuat kita mendapatkan
reward dari penerbit. Entah itu berbentuk buku baru atau berbentuk dana segar
atau keduanya. Tapi lebih dari semuanya, dengan menulis resensi kita bisa
mengabarkan kepada masyarakat informasi tentang sebuah buku. Bisa mengajak
masyarakat untuk gemar membaca. Semakin bagus sebuah buku, biasanya semakin
membuat saya bersemangat menuliskan resensinya.
Beberapa resensi saya di media |
Sekarang saya ingin memulai awal-awal yang baru
lainnya. Mencoba mengirim genre tulisan yang belum pernah saya kirim
sebelumnya. Jika saya tidak memulai, maka saya tidak tahu berhasil atau
tidaknya.
Hebat, ya, Mbak Hairi Yanti ini. Resensi oke, cerpen juga oke. Sukses selalu ya, Mbak :)
BalasHapusBelum hebat saya, Mbak Diah. Masih banyak yang lebih hebat :D Saya masih harus banyak belajar. Hehehe...
HapusSukses juga buat Mbak Diah :-)
Saya berguru pada Mbak Yanti, lho! ;) Terima kasih, Mbak.
BalasHapusAih, Kak Nia sekarang mah jauuuh lebih keren dan hebat dari saya :D
HapusMbak Yanti suka gitu. Hehehe. Kalau saya keren berarti gurunya lebiiih keren ;)
BalasHapusAh mak.. Hebring pisan ih.. Sampai sekarang kirim ke media masih off the radar. Masih belom yakin sama kemampuan mengolah bahasa baku. Ditambah lagi kalo baca buku, masih harus nunggu mood dulu. Walaupun kalo udah baca, malah terus-terusan sih.
BalasHapusAyo, Mak Mira. Dicoba. Kita tidak pernah tahu berhasil atau tidaknya kalau belum dicoba. Iyaa... Itu juga masalah sy dulu tentang mengolah bahasa baku. Saya bahasanya campur aduk dan suka ada cekikannya. Hihihi... Makasiiih ya, Mak Mira... :-)
Hapuswaaahhh hebat banget mbak yanti... saya masih gak pede kalo harus kirim tulisan ke media..
BalasHapusAyo, Mbak Pipit, dimulai nulisnya. Bisa dapat honor lho... #Matresaya :D
Hapusingin jago nulis resensi kaya mbak yanti
BalasHapusSekali tulisan kita dimuat di media, semangat nulis berkobar-kobar ya,Mbak :-D
BalasHapus