Konon katanya
apa yang kita perjuangkan dengan susah payah kemudian berbuah akan terasa manis
lebih dari yang lainnya. Dalam menulis cernak saya lebih suka menulis cerpen
realis, yang bisa dikatakan cerpen dengan tokoh manusia. Jadiii… konfliknya
bisa dilihat di sekeliling kita atau mengamati anak kecil atau konflik kita
sendiri.
Kalau dongeng?
Aduhaii… Itu susah. Makanya saat dapat tugas di grup PT untuk membuat dongeng
saya pusiiiiing mikirin idenya. Salah satu clue yang diberikan para mentor
kemarin adalah Gula. Maka kemudian sambil berpikir saya memandang toples gula
di dapur seolah berkata pada gula, “Apa yang bisa aku tulis darimu, Gula?”
Setelah
beberapa saat saya mendapat ide. Menjadikan gula dan teman-temannya bisa
berbicara. Tentang gula yang merasa tak dianggap. Dan senang ketika mbak Eni
(Shabrina WS) bilang suka dongeng saya ini. Hihihi… Tersipu dipuji penulis
keren.
Happy Reading
^_^
Protes
si Gula Manis
Oleh : Hairi Yanti
Dimuat di Majalah Bobo Edisi 04, Terbit 30 April 2015
Gula
mendengus. Suara dengusan Gula terdengar nyaring. Penghuni dapur yang lain
serentak menoleh pada Gula.
"Ada apa
denganmu, Gula?" Tanya Kecap yang ada di dekat Gula. Kecap mengikuti arah tatapan
Gula yang tertuju pada Dika. Dika sedang meminum Teh sampai habis.
"Aku
pasti tidak disebut." Gula menghela nafas. Kecap dan teman-teman penghuni
dapur yang lain mengerutkan kening. Belum mengerti apa maksud Gula.
"Teh ini enak
sekali," terdengar suara Dika yang membuat wajah Gula semakin tertekuk
mendengarnya.
"Benar
kan, Teman-teman? Dika hanya menyebut Teh. Tidak menyebut Gula. Padahal Teh enak
juga karena Gula,” keluh Gula. Teh dan teman-teman yang lain kaget mendengar
penuturan Gula.
"Maafkan
aku, Gula. Aku tidak bermaksud seperti itu." Teh berkata sambil menunduk.
Ada perasaan bersalah dalam nada bicaranya. Gula lekas menggeleng. "Ini
bukan salahmu, Teh," Gula berkata cepat. Gula tidak mungkin menyalahkan
Teh. Gula hanya kecewa pada manusia.
Gula tahu
kalau dirinya larut di air. Bentuk Gula sekarang padat. Tapi kalau dilarutkan
di air dan diaduk, maka Gula akan menyatu dengan air. Sehingga Gula tidak lagi
terlihat. Keberadaan Gula pun diabaikan.
"Seandainya
aku tidak larut di air, adanya aku akan tetap menarik perhatian." Gumam
Gula. Manusia jika menikmati rasa manis akan menyendok Gula dan memakannya
langsung. Jadi, manusia akan sadar kalau Gula itu manis. Tidak diabaikan
keberadaannya kemudian yang disebut cuma Teh atau Kopi. Sepanjang malam Gula terus
berpikir seperti itu. Gula memohon pada Tuhan supaya dia tidak larut di air.
Pagi datang
menjelang. Seluruh penghuni dapur tersenyum riang. Ibu Dika sedang menyiapkan
sarapan. Penghuni dapur ingin memberikan yang terbaik agar sarapan terlezat
bisa dinikmati hari itu. Tapi ada yang aneh saat ibu Dika membikin kopi untuk
ayah.
"Kenapa,
Bu?" Dika bertanya melihat ibunya yang terus-terusan mengaduk teh.
"Gulanya
tidak larut, Dika." Ibu masih mengaduk kopi dengan wajah heran. Penghuni
dapur langsung melirik ke arah Gula. Gula tersenyum sumringah. Permintaannya
dikabulkan. Pagi ini Gula tidak larut di air.
"Tenang,
Teman-teman. Jika ingin manis, mereka bisa menyendokku langsung dan memakannya,"
sahut Gula bangga. “Dengan begitu mereka akan tahu kalau aku penting.”
Penghuni dapur
menunggu dengan deg-degan saat ayah Dika meminum kopi tanpa gula yang larut.
Kening ayah Dika tampak mengernyit. Mimik ayah Dika tidak seperti biasa yang
menyeruput Kopi dengan nikmat. Gula tetap berada di dasar gelas ketika ayah
Dika meletakkan gelas Kopi dan berlalu dari dapur untuk berangkat ke kantor.
Gula pun cemberut.
“Ayah Dika
hanya belum terbiasa saja,” Gula berkata pada teman-temannya.
Sore datang
kembali, saat Ibu Dika membikin teh untuk bercengkrama dengan keluarga.
Kesibukan kembali terlihat di dapur rumah Dika. Gula tersenyum cerah. Penghuni
dapur yang lain pun ikut bersemangat di sore hari. Siap mempersembahkan yang
terbaik untuk santapan dan minuman.
Ibu Dika mengambil
gelas dan mengambil Teh celup. Meletakkan Teh celup ke dalam gelas kemudian
menuangkan air panas ke dalamnya. Gula tersenyum senang, bersiap diri untuk
dicampurkan dengan Teh.
"Tehnya
sudah siap." Suara ibu Dika mengagetkan penghuni dapur. Gula belum
dimasukkan ke dalam Teh.
"Tehnya
sore ini pakai Madu. Karena Gula hari ini tidak larut di air." Suara ibu
Dika mengagetkan Gula. Gula baru ingat ada Madu yang bisa jadi pengganti sumber
manis selain dirinya. Gula mendengus lagi, antara sebal tapi juga sedih.
“Tak masalah
kalau kita tidak disebut, Gula.” Garam berkata lembut pada Gula.
“Aku juga
jarang disebut manusia, padahal tanpa aku makanan jadi hambar. Walau tak
terlihat dan jarang disebut, yang penting kita bermanfaat,” ujar Garam lagi.
Gula menatap
Garam yang melempar senyuman manis pada Gula. Garam benar, Gula berujar dalam
hati. Daripada aku tak disentuh sama sekali dan hanya berdiam diri lebih baik
aku tetap larut di air dan menyenangkan Manusia yang mencicipiku. Kini Gula berdoa
agar dia kembali bisa larut di air.
***
Halo Mbak Yantiiii. Saya mampir sini lagiii. Baguuus dongengnya. Mengingatkan saya akan masa kecil. Sukaaak!!! ����
BalasHapusHai, Mas Dani. Kalau dah mampir rugi kalau ga komen. Hahaha... Terima kasih sudah mampir ya, Mas :-)
HapusSelamat yaaa.. Coba ya kucari bobo edisi tersebut, kayaknya masih nyimpan.
BalasHapusTerima kasih, Mbak Arin. Di Bobo terbaru juga ada cerpen saya :-)
Hapusbagus banget cerpen nya
BalasHapusMakasiiih :-)
HapusDija sedang belajar membaca Tante
BalasHapusmasih terbata bata, belom lancar
nanti cerpennya dija baca sambil belajar yaaa
Hai Dija... Semoga segera bisa membaca ya :-)
Hapuswalah, lama sekali saya nggak langganan majalah bobo...dulu jaman kecil suka sekali dengan majalah satu ini...ternyata masih eksis sampai sekarang ya...hehe...salam kenal, dan assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh...izin follow blog nya ya :)
BalasHapusWaalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih sudah follow blog saya. Iya.. Bobo masih eksis sampai sekarang. Majalah yang masih bertahan dari dulu :-)
HapusSederhana tapi mengena. Seperti tulisan saya beberapa waktu lalu tentang para pejuang sosial di tanah air. walau tak pernah dipuja atau dicela, mereka tetap bekerja. Cemerlang dalam diam, seperti gula ini. Memaniskan kopi namun tak pernah disebut. Ikhlas berdaya guna. Cocok untuk mengasah keikhlasan pada anak-anak, Mbak. Terima kasih. Super!
BalasHapusTerima kasih, Pak. Benar.. Ada orang2 yang cemerlang dalam diam. Mereka bekerja malah terkadang yang mendapat pujian bukan mereka tapi mereka tetap memberikan yg terbaik :-)
HapusLuar biasa. Idenya itu realis, walaupun dongeng. Orang memang menyebut teh manis, bukan teh gula. Terima kasih ilmu dari cernak ini, Mbak.
BalasHapusTerima kasih juga, Mbak Kayla. Iya ya. Ga ada yang nyebut teh gula. Pukpuk gula. Hehehe..
HapusMba Yantiii...superb! Kreatif sekali dirimu :*
BalasHapusAih, Mbak Rotun. Alhamdulillah... Puji dan syukur hanya untuk Allah :D
HapusSuper, Mbak Hairi. Terima kasih sudah berbagi tulisan yang bagus. Saya masih tertatih menulis cernak. Izin menimba ilmu. :)
BalasHapusSama2, Mbak Leli. Sy juga masih belajar terus.. Menimba ilmu terus... :-)
HapusBagus Mba. Edukasinya dapet
BalasHapusAlhamdulillah... Makasiih, Mb Dewi :-)
HapusKereeenn, bagus banget ceritanyaa mbaa ^^ . Saya baca tulisan-tulisan Mba, semuanya bagus-bagus, betah bacanya :D
BalasHapusAlhamdulillah... Terima kasih, Mbak. Sudah membaca tulisan2 saya :-)
Hapus