Sebuah Keputusan
Oleh : Hairi Yanti
“Minggu depan aku kembali ke Balikpapan.” Killa mengamati reaksi
Ardi yang duduk di depannya. Ardi terlihat berhenti mengunyah, memandangnya
sekilas kemudian kembali melanjutkan makannya.
“Kapan resign?”
Ardi bertanya tanpa memandang Killa. Sementara piring di depan Killa sudah
bersih. Killa sudah menghabiskan makanannya sebelum Ardi datang. Ardi terlambat
datang ke tempat mereka berjanji untuk makan siang bersama dengan alasan klasik
untuk penduduk kota ini : macet. Itu pun Killa sudah sangat bersyukur, mereka
bisa bertemu di tengah kepungan pekerjaan yang padat setiap harinya.
“Lusa hari terakhirku di kantor.” Killa menjawab. Pemberitahuan resign sudah dia layangkan sebulan yang
lalu. Sesuai ketentuan dari tempat perusahaan dia bekerja. Setiap karyawan yang
resign harus memberitahu satu bulan sebelumnya. Agar pekerjaan bisa dialihkan
ke penggantinya tanpa menganggu deadline
pekerjaan yang ada.
Killa memang beruntung karena momen dia buat resign sangat tepat dalam kondisi
sekarang. Saat harga minyak dunia turun dan perusahaan banyak menunda produksi
hingga harga minyak dunia kembali normal. Sehingga project-project yang biasanya akan bersusulan mengepung
pekerjaannya menjadi lebih longgar dari biasanya. Setelah project yang dia
pegang sekarang selesai, Killa belum melihat ada project baru yang akan dia tangani lagi. Sehingga pengajuan diri
buat resign pun tidak mengalami
hambatan yang berarti.
“Keputusan kamu sudah bulat?” Ardi meletakkan sendok dan garpu
di piringnya yang telah bersih dalam keadaan terbalik, pertanda kalau dia sudah
menyelesaikan makan. Dari nada bicara Ardi, Killa tahu mereka akan masuk ke
pembicaraan yang serius. Killa sudah sangat mengenal Ardi. Hubungan mereka
sudah berjalan sekian tahun. Bahkan Killa sudah mengenal Ardi nyaris 10 tahun
yang lalu. Saat dia pertama kali menjejak kampus biru kebanggaan mereka.
Ardi adalah teman kuliahnya. Saat kuliah mereka menjadi partner dalam segala hal, untuk urusan
akademik juga organisasi. Saat Ardi menjabat sebagai ketua himpunan, Killa
menjadi sekretarisnya. Dalam setiap kelompok praktikum, di mana ada nama Ardi
tercantum, di grup yang sama juga akan ada nama Killa. Teman-teman sering
bilang Killa dan Ardi seperti tak terpisahkan. Hal yang membuat Killa
sebenarnya bingung karena hubungan mereka tidak seperti yang orang lain
bayangkan. Tidak pernah sedikit pun ada pernyataan cinta dari Ardi pada Killa.
Apalagi pernyataan itu keluar dari mulut Killa. Tidak pernah sama sekali.
Selepas kuliah saat mereka sama-sama merintis karier di dua
perusahaan yang berbeda, hubungan mereka sempat merenggang. Sampai pada suatu
hari Ardi mengatakan sesuatu pada Killa.
“Jika nanti aku akan menikah tidak ada wanita lain yang
terpikirkan olehku selain kamu, La.” Hanya itu yang terucap dari bibir Ardi.
Tapi sudah sanggup membuat perasaan Killa melambung. Padahal Ardi mengatakannya
dengan intonasi yang sangat biasa. Tidak ada tatapan lembut atau sembari
menggenggam tangannya seperti yang biasa Killa baca di novel-novel koleksinya.
Tapi Killa tak memedulikan hal itu, dia hanya peduli pada satu kenyataan kalau
ternyata Ardi menginginkannya sama dengan dia menginginkan Ardi menjadi teman
seumur hidupnya.
“La, melamun?” Suara Ardi membuyarkan lamunan Killa. Killa
tersenyum tipis.
“Kamu tahu aku tidak punya pilihan lain, Di.” jawab Killa.
"Aku yakin penghasilan bulananku bisa melebihi omset usaha catering kamu," tegas Ardi yang
membuat mata Killa mengkilat kemudian meredup seketika.
"Ini bukan masalah uang, Di." Ardi menghela napas
mendengar jawaban Killa. Seperti ada beban berat yang menghimpitnya sekarang.
Tapi keputusan Killa memang tidak bisa diubahnya lagi. Saat ini Killa memang
harus kembali ke Balikpapan, ke kampung halamannya. Sudah cukup Killa habiskan waktunya
5 tahun di kota ini. Jakarta dengan segala yang ada di dalamnya.
Keputusan ini sudah Killa pertimbangkan matang-matang, juga
disertai dengan istikharah. Usaha catering keluarganya di Balikpapan
membutuhkan pengendali baru saat mamanya sudah tidak sanggup mengurusnya
sendiri. Dan hanya Killa yang bisa memegang kendali itu. Satu-satunya kakak
yang dimiliki Killa sudah hijrah ke kota Batam. Kariernya melesat cepat di sana
dan tidak ada niatan untuk kembali ke Balikpapan apalagi mengurus catering yang
bukan passion-nya.
Berbeda dengan Killa, setelah 5 tahun mencoba, Killa merasa
selalu tertekan setiap hari senin datang. Dia tidak pernah merasa bisa menyukai
pekerjaan yang sekarang digelutinya. Berkutat dengan report yang harus dia
selesaikan per harinya, menyusun schedule
project dan setiap hari schedule
itu akan terus di update sampai project selesai. Belum lagi jika Killa harus
membantu membikin schedule project buat tender baru yang akan dihadapi
perusahaannya. Itulah pekerjaan yang harus ditanganinya sebagai seorang site planner. Semua pekerjaan yang
dilakukan Killa memang selalu berjalan dengan baik, tapi tak cukup membuat dia
bahagia. Killa merasa itu bukan dunianya.
Kemudian ibu jatuh sakit. Usia menggerus tenaganya menangani
berbagai orderan catering dari banyak pihak. Usaha catering ibu memang melaju pesat. Orderan catering mereka bahkan sudah penuh pada saat weekend hingga enam bulan ke depan. Sebagian besar adalah catering untuk pesta pernikahan.
Dibutuhkan seseorang buat menggantikan posisi ibu. Killa adalah satu-satunya
pilihan.
Selepas kuliah saat Killa memutuskan bekerja di Jakarta, ibu
sempat memperkerjakan salah satu keponakannya. Dengan harapan keponakannya itu
lah yang akan meneruskan usahanya. Namun, kualitas produksi catering mereka menurun. Ada banyak hal
yang ditekan sepupu Killa itu agar harga produksi menjadi turun dan keuntungan
yang diraih menjadi lebih banyak. Hal itu membuat ibu berang. Ibu membutuhkan
seseorang yang benar-benar mencintai usaha cateringnya dan menjalankannya dengan
penuh cinta. Bukan semata mengejar keuntungan.
Killa tahu persis bagaimana ibu merintis usahanya hingga menjadi
besar seperti sekarang. Ibu memulainya dari nol. Dari menerima pesanan-pesanan
kecil tetangga mereka juga menaruh kue-kue di kantin sekolah. Ibu melakukannya
seorang diri karena ayah mereka meninggal saat Killa masih kecil. Perlahan tapi
pasti usaha ibu terus berkembang. Satu karyawan direkrut untuk membantu ibu
sampai kemudian sekarang ada puluhan karyawan yang mencari nafkah lewat usaha catering mereka. Karena catering bukan hanya usaha memasak, tapi
juga menyuguhkan dan melayani para undangan, termasuk membereskan beragam hal
setelah acara selesai. Dan itu dibutuhkan banyak tenaga serta manajemes yang
baik.
Mereka lah yang dipikirkan ibu jika harus menutup usaha catering yang dimilikinya. Killa pun
tidak akan membiarkan usaha catering
ibu berakhir begitu saja. Bagaimana pun usaha itulah yang membuat kehidupan
ekonomi keluarganya menjadi lebih baik. Keputusan itulah yang membuat dia harus
kembali ke Balikpapan.
“Aku diterima kerja di Jepang, La.” Suara Ardi kembali membuat
pandangan Killa terpusat padanya.
“Apa?” Killa mendengar persis apa yang dikatakan Ardi. Tapi
pertanyaan apa itu keluar begitu saja dari mulutnya. Killa tahu persis kalau
sejak beberapa bulan lalu Ardi sedang berusaha keras bisa diterima bekerja di
Jepang. Ardi bahkan menghadiri acara pameran kerja di Singapura demi memuluskan
langkah mewujudkan impiannya itu.
“Tadi pagi keputusan dari perusahaan itu baru kuterima.” Killa
menghela napas. Seharusnya dia mengucapkan selamat buat Ardi. Tapi pikiran lain
justru memenuhi pikirannya saat ini. Jakarta-Balikpapan sudah terasa sangat
jauh baginya. Dan kini jarak itu semakin membentang yaitu antara
Jepang-Balikpapan. Entah di daerah mana Ardi akan bekerja.
“Lalu?” Kata itu lirih keluar dari mulut Killa.
“Hubungan kita…” Ardi menggantung kata-katanya. Killa juga tidak
ingin menebak oh bukan, Killa terlalu takut menebak apa yang akan Ardi katakana
setelahnya.
“Kita sudah 29 tahun, La. Aku ingin menikah sebelum usia 30. Apa
itu masih memungkinkan buat kita?” Killa merasakan dadanya sesak seketika. Ardi
yang dia kenal adalah seseorang yang selalu berpikir berdasarkan logika. Killa
tahu persis akan hal itu. Rasanya tidak mungkin kalau Killa sekarang berkata
pada Ardi kalau cinta akan mengatasi itu semua.
“La,” panggil Ardi lagi. Saat hanya kebisuan yang tercipta
antara mereka.
“Entahlah, Di. Aku juga bingung.” Hanya itu yang bisa Killa
katakan. Sebenarnya Killa tahu jalan keluarnya, di antara mereka berdua harus
ada yang mengalah.
“Beri aku kesempatan tiga bulan di sana. Setelah itu aku bisa
membawa kamu ke sana. Tentu saja setelah kita…” Ardi terdiam sebentar.
“Menikah,” lanjutnya kemudian.
Killa memandang Ardi yang balas menatapnya dengan pandangan
serius. Seharusnya ini adalah momen yang sangat membahagiakan bagi Killa. Killa
telah lama menunggu Ardi melamarnya, mengajaknya menikah. Setelah perkataannya
dulu bahwa tidak ada wanita lain yang ingin dia nikahi selain Killa, Ardi tidak
pernah berkata apa pun lagi terkait hubungannya dengan Killa kecuali jika
mereka menikah suatu hari nanti, mereka harus tinggal satu atap. Ardi tidak
menginginkan adanya hubungan jarak jauh, Killa juga tahu persis akan hal itu.
Orangtua Ardi bercerai saat menjalani pernikahan jarak jauh. Saat papanya Ardi
bertugas di Papua, papanya menikah lagi dan hal itu tidak bisa diterima oleh
mamanya Ardi.
Killa setuju akan kesepakatan itu dan Killa pun betah menunggu.
Satu hal yang diyakini Killa, jika suatu saat dia menikah, itu dengan Ardi,
bukan yang lain. Namun sekarang? Killa merasa jalan di depannya buntu.
Sebenarnya hal ini bisa diatasi kalau salah satu dari mereka
bisa mengalah. Killa yang tidak jadi mengambil alih kendali usaha catering
ibunya atau Ardi yang mengalah tidak jadi ke Jepang dan bekerja di Balikpapan.
Ada banyak peluang pekerjaan yang bisa didapat Ardi di Balikpapan. Namun, Killa
juga tahu kalau Jepang telah menjadi mimpi Ardi sejak masa remaja dulu. Saat
impiannya di depan mata, Killa pesimis Ardi mau mengalah untuknya. Sementara
dalam benak Killa terbayang puluhan karyawan catering ibunya.
“La,” panggil Ardi. Killa mendongak. Ardi masih menatapnya
dengan pandangan serius. Kemudian mereka berbicara banyak hal. Tentang berbagai
kemungkinan yang bisa mereka ambil. Tentang siapa yang harus mengalah.
Melupakan sejenak pekerjaan mereka yang menanti setelah jam makan siang. Killa
tahu Ardi bukan seseorang yang membiarkan masalah berlarut-larut tanpa ada
jalan keluar. Semuanya harus mereka putuskan secepatnya. Dan setelah satu jam
berlalu keputusan akhirnya mereka ambil.
“Jaga diri.” Ardi hanya mengatakan itu kemudian berbalik
meninggalkan Killa. Killa pun berjalan berlawanan arah dengan Ardi. Killa
mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk bisa memenuhi paru-parunya yang
terasa sesak. Hari itu, di bawah langit Jakarta yang menggelap karena mendung,
Ardi dan Killa berjalan berlawanan arah. Begitu pun hari-hari yang akan mereka
lewati setelahnya.
"Ini bukan lagi tentang uang dan cinta. Tapi tentang
tanggung jawab dan impian yang sama-sama ingin kita raih dan tidak bisa kita
tinggalkan." Kata-kata Ardi masih terngiang di telinga Killa di tengah
isak dan airmata yang menyatu dengan hujan.
***
Balikpapan dari Udara |
wiih good luck yanti....
BalasHapusMakasiiih, Mbak Wik :D
Hapuskeputusannya masih menganntung ya? cinta dan uang. Duh ikut deg degan y
BalasHapusUdah diputuskan kok, Mak. Tapiii.... Masih galau. hehee...
HapusHiks hiks.. Sedih bacanya.. Ayo atuh ada yang mengalah
BalasHapusMaunya Killa, Ardi yang ngalah. Maunya Ardi, Killa yang ngalah. Gimana dunk, Mbak? hehehe...
Hapushandak umpat tapi kada sempat meulah :(
BalasHapusAda lagi yang hanyar tuh, Ka :D
HapusApapun keputusan mereka, semoga mak yanti menang lombanya heheee.. ceritanya bagus mak. Jadi laper ngomongin catering *eeeh....
BalasHapusAamiin... Makasiiih doanya, Mak. Udah sarapan kan? :D
HapusFoto Balikpapannya masih banyak asap.. :D
BalasHapusHai seseorang tak bernama yang saya tahu siapa Anda. Terima kasih sudah membaca.. Luv u :*
HapusFoto Balikpapannya masih banyak asap.. :D
BalasHapus