Tulisan ini dimuat dalam buku Dreams2Reality yang diterbitkan oleh Leutika Prio. Kalau tidak salah ingat terbit tahun 2012
Perjalanan
Menuju RumahMu
Oleh : Hairi Yanti
Apa kenangan terlama
yang masih bisa kalian ingat? Kalau hal itu ditanyakan pada saya, saya masih
ingat kejadian tahun 1989, saat belum genap berusia empat tahun, tepatnya saat
kakek saya wafat. Masih teringat jelas kesedihan mama kemudian saya yang
sebegitu senangnya bisa ketemu sepupu-sepupu dan tak peduli di tengah suasana
duka saya malah asyik bermain. Oleh karena itulah, saya masih mengingat apa
yang saya alami pada tanggal 29 Juni 1992, pada waktu ulang tahun saya yang ke
tujuh.
Pada saat itulah saya
bertanya pada tetangga yang masih ada hubungan keluarga, saya memanggil beliau
acil (Tante dalam bahasa Banjar). “Cil,
bila ulun menabung seribu sehari, berapa tahun lagi ulun bisa naik haji?”
Saya lupa hitungannya,
yang saya ingat saat itu acil saya itu menyebutkan usia duapuluhan lebih
sebagai usia yang akan membawa saya bisa pergi haji jika menabung seribu
sehari. Dan begitu mendengar bahwa jika menabung seribu sehari saya akan
berangkat haji umur dua puluhan, nyali saya langsung ciut, rasanya waktu itu
lama sekali sedangkan saat itu umur saya baru tujuh tahun. Yang saya ingat saya memang sempat menabung,
tapi hanya bertahan sebentar. Selanjutnya entah saya gunakan untuk apa tabungan
saya itu kemudian dan sampai jumlah berapa saya tak berhasil mengingatnya lagi.
Tapi, yang saya tahu
dan sadari sejak saat itu saya akhirnya punya satu mimpi. Saya ingin naik haji
di saat masih muda. Kalau kata mbak Asma Nadia, pegang erat mimpimu dan jangan
biarkan satu orang pun merebutnya darimu. Mimpi itu terus menggelora sepanjang
kehidupan saya dan rindu akan tanah suci pun terus menyala dalam hati saya.
Kerinduan itu, mimpi
itu sering juga saya sampaikan pada mama dan mama hanya meminta saya untuk tak
pernah lepas dari doa. Mama selalu meyakinkan saya kalau Allah senantiasa
mendengarkan doa-doa hambaNya. Saya menuruti pesan mama berdoa tanpa henti.
Maka dalam setiap kesempatan, saya pun memintanya dengan redaksi doa yang saya
rangkai sendiri. “Ya Allah, bukankah setiap yang pergi ke sana karena panggilan
dariMu? Maka di sini, hamba mohon padaMu Rabbi, panggil hamba untuk bisa pergi
ke sana.”
Saya juga punya
kebiasaan menuliskan mimpi-mimpi saya baik di saat Ulang Tahun ataupun tahun
baru, belakangan saya tau itu namanya resolusi dan yang selalu menempati baris
teratas resolusi saya adalah Naik Haji.
Pada suatu ketika
sekali lagi saya memberanikan diri bertanya pada mama, kapan kira-kira saya
bisa pergi ke Tanah Suci? Waktu itu di daerah saya ramai sekali orang yang
berangkat umrah. Saya pikir umrah pun tak mengapa yang penting bisa ke sana
dulu. Menatap Baitullah, Thawaf mengelilingi Ka’bah, bersujud di Masjidil Haram
juga mesjid Nabawi dan ziarah ke makam Rasulullah. Tapi mama memberi jawaban
yang di luar harapan saya, beliau menegaskan tak akan memberangkatkan saya ke
sana untuk umrah, tapi langsung haji saja.
Saya lemas
mendengarnya. Kenapa? Bukan kah itu sebuah kabar baik? Ya memang. Tapi daftar
tunggu haji di daerah saya sangatlah lama, sampai 7-8 tahun, selama itukah saya
harus menunggu? Padahal setoran awal pun belum saya punya, saya pun mencoba
berhitung, dengan dana yang ada berapa lama saya bisa membuka setoran awal,
kemudian mendapat jatah kursi dari Depag dan menunggu sampai berangkat. Duh,
lamanya. Bisa keburu tua dong saya. Dan gagallah mimpi saya naik haji waktu
muda. Tapi saya mencoba bangkit dan meyakinkan diri saya untuk tidak pernah
bosan berdoa.
Bayang-bayang
perwujudan mimpi itu ada di tahun 2007, bermula dari kegagalan kakak saya mendapat kursi haji tahun 2007,
kemudian seorang ustadz yang mengisi pengajian yang menerangkan tafsir surah
al-Hajj, saat itu beliau menyampaikan betapa wajibnya Haji bagi Umat Islam, dan
kata-kata “jika mampu” sering dijadikan alasan buat mengelak dari kewajiban
Haji. Waktu itu beliau juga menyampaikan
sebuah hadist : “Barangsiapa telah
memiliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menyampaikannya ke
Baitullah dan ia tidak menunaikannya, maka tidak ada bedanya ia mati dalam
keadaan yahudi atau nasrani.” (HR. Tirmidzi). Duh, saya merinding jadinya.
Bagaimana jika saya mati sebelum berangkat haji?
Rupanya ketakutan
setelah mendengar isi pengajian tadi tidak hanya dirasakan oleh saya, tapi juga
orangtua saya. Selepas dari pengajian itu, rapat keluarga pun digelar dan dalam
keputusan itu memasukkan nama saya untuk didaftarkan Haji bersama kakak
pertama. Kakak kedua tak masalah jika saya yang duluan pergi Haji, soalnya
dia ogah sama-sama saya berangkatnya.
Alhamdulillah, walaupun saya tetap merasa ini bagai mimpi.
Tapi semuanya juga ada
kendala ternyata. Ternyata dana menjadi masalah juga. Walaupun waktu dihitung
awalnya cukup, tapi ternyata kesulitan juga menyediakannya. Maka di saat
penyetoran dan dana yang diperlukan belum mencukupi saya pun berkata pada mama
kembali.
“Ma, kalau memang
dananya tidak cukup, tak apa saya berangkatnya nanti saja. Biar kakak aja dulu
yang berangkat tahun ini,” mendengar penuturan saya, mama hanya menatap saya
sembari tersenyum dan berkata, “Kamu berdoa saja. Kalau memang ada jalannya
buat berangkat Haji tahun ini, insyaAllah akan Allah mudahkan," mama
memang selalu bisa meredam perasaan cemas dalam hati saya.
Sejak saat itu saya
mengganti redaksi doa yang sering saya panjatkan. Saya masih tetap berharap
benar-benar mendapat undangan dariNya, tapi saya memohon satu hal lagi padaNya
kalau memang yang terbaik buat saya berangkat pada tahun itu, maka mudahkan segalanya.
Tapi kalau memang bukan tahun ini, saya meminta dilapangkan hati untuk
menerimanya. Lagipula saya berpikir gini, kalau gagal berangkat tahun ini
artinya saya punya kesempatan yang lebih banyak untuk mempelajari segala
sesuatu tentang Haji. Jadi tak masalah dong, tahun ini atau tahun depan sama
saja. Saya pasrah aja lah, apa yang diberikanNya buat saya.
Alhamdulillah akhirnya
masalah dana cukup, tapi ternyata semuanya belum selesai, berbagai berita
tentang gagalnya jamaah BPIH khusus mendapatkan porsi haji membuat saya
ketar-ketir juga. Masalahnya jamaah haji dari travel yang lain mendapatkan
bukti kalau mendapatkan kursi Haji, semacam surat kalau nomor kursi yang ada
sesuai dengan porsi haji yang disediakan pemerintah. Sementara travel yang kami
ikuti tak kunjung mengirimkan surat yang dimaksud. Ketika didesak tentang
kepastian, pihak travel konsisten dengan jawaban, “InsyaAllah berangkat,"
entah kenapa jawaban itu tak juga meyakinkan saya.
Bahkan ketidakyakinan
saya dalam berangkat masih saya rasakan waktu sudah berada di bandara Soekarno
Hatta, saat saya sudah bergabung dengan jamaah lain yang satu travel. Kenapa
tidak yakin? Saya melihat tumpukan buku berwarna hijau yang siap dibagikan ke
jamaah. Ingatan saya pun langsung ke berita yang beberapa hari yang lalu saya
dengar kalau banyak travel yang ternyata memberangkatkan jamaahnya dengan
paspor hijau. Wah, jangan-jangan travel ini juga pakai paspor hijau nih.
Kekhawatiran itu saya sampaikan ke keluarga yang mengantar sampai ke Jakarta,
beliau juga ikut khawatir tapi kemudian dengan santainya bilang ke saya. “Ya
udah Ti, jalani aja. Udah sampai Jakarta juga. Nanggung balik ke Barabai,”
betul juga pikir saya. Dan ternyata, buku hijau itu buku kesehatan. Dan paspor
yang saya terima beberapa waktu kemudian memang benar berwarna coklat. Huff..
legaaa.
Berakhirkah segala
ketidakyakinan saya? Belum. Saya yang sebelum berangkat rajin banget ngikutin
berita tentang Haji dilanda kekhawatiran selanjutnya. Ingatan saya langsung
melayang ke jamaah haji yang terdampar di Malaysia waktu transit. Nah, di
jadwal keberangkatan kami juga ada transit di Dubai, duh, jangan-jangan
terdampar di sana juga nih. Huff.. susah benar ya kalau saya suka khawatir.
Tapi ya itulah kembali ke kata-kata keluarga saya. Sudah sejauh ini, jalani
saja. Saya hanya bisa berdoa terus dalam hati. Mudahkan ya Allah. Ternyata
travel yang saya ikuti oke juga. Terbukti waktu transit di Dubai tepat waktu
banget, sesuai dengan jadwal yang saya pegang.
Gemuruh ketakutan itu
menggema lagi begitu kuatnya saat saya berada tepat di depan pintu masuk
masjidil Haram. Berbagai kemelut batin menyesaki alam pikir saya. Bagaimana
jika saya tak diizinkan melihat Baitullah? Bagaimana jika saya malah tak
menyadari kalau Baitullah kini ada di depan saya? Walaupun ketakutan
sesungguhnya adalah saya begitu takut Allah tidak mengampuni dosa saya yang tak
terhitung selalu menodai hari-hari saya. Gemetar saya mengucap istighfar dan
manghalau segala pikiran buruk. Menyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Maha
Pengampun. Di balik ketakutan ini sungguh saya menyimpan rasa harap yang juga
sedemikian besarnya bahkan lebih besar akan Dia Yang Maha Kasih dan Maha
Sayang.
Saya bersama jamaah
yang lain akhirnya memasuki masjidil Haram, setelah sebelumnya membaca doa
masuk mesjid. Dag dig dug, jantung saya berdetak tak karuan. Saya rasakan
tangan saya juga gemetar. Saya pun terus berjalan menyusuri Masjidil Haram.
Karena masuk lewat pintu King Fahd, yang artinya dari pintu itu lumayan jauh
sampai ke Baitullah, membuat degup jantung saya semakin kencang. Dan kemudian,
sebuah benda berbentuk kubus menyentuh pandangan saya. Itu dia.. itu dia.. hati
saya berseru. Gegas saya membaca sebuah doa. Ada yang membuncah dalam hati
saya. Luapan rasa syukur yang tak bisa saya lukiskan dengan kata-kata ketika
akhirnya saya benar-benar melihat Baitullah. Yang ternyata jauh lebih
mengagumkan dan menakjubkan dari yang saya bayangkan. Pada saat itu saya sukses
jatuh cinta pada pandangan pertama dan selalu rindu untuk kembali ke sana.
***
saya ingat kejadian th 1999, dimana ayah saya wafat, dan rumah saya kerampokan. Kejadian yg sudah lama, tapi masih membekas dlm ingatan.
BalasHapusDuh.. Turut berduka ya, Mbak :-(
HapusMerinding baca tulisan ini.. semoga bs berjumpa dg tanah suci :(
BalasHapusAamiin... Semoga dimudahkan ya, Mbak :-)
Hapus