Priceless
Moment adalah salah satu novel terbaik yang saya baca di tahun 2014. Novel yang
bikin saya nangis Bombay. Saya sungguh suka bagaimana Prisca Primasari menulis
di novel ini. Novel ini bahkan sudah menarik perhatian saya pada kalimat awal
pembukanya.
Pada masa berkabung, hanya beberapa jam setelah Esther meninggal, Yanuar memahami bahwa akan ada saat dia harus memasak sendiri untuk Hafsha dan Feru.
Alhamdulillah,
resensi saya untuk novel ini dimuat di Koran Jakarta pada tanggal 8 September
2014. Berikut resensinya.
Happy Reading
^_^
Memanfaatkan
Waktu Yang Tak Akan Kembali
Oleh : Hairi Yanti
Seorang ayah selalu
ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya termasuk yang utama adalah mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Sebagai tulang punggung
keluarga, sering para ayah tidak menyadari, kalau kesibukannya mencari nafkah
sampai tidak mengenal waktu justru merenggut waktu mereka bersama keluarga. Hal
itulah yang dialami Yanuar. Ayah dari dua anak Hafsha dan Feru.
Di tengah masa
berkabung saat kehilangan istrinya, Esther, Yanuar harus bangkit untuk
menjalani kehidupan demi kedua anaknya. Sejak beberapa jam setelah istrinya
meninggal, Yanuar tahu kalau akan ada saatnya dia harus memasak untuk kedua
anaknya. Tapi, hingga dua minggu selepas kepergian istrinya, Yanuar belum juga
melakukannya.
Memasak ikan goreng
tepung itu bukan masalah besar buat Yanuar, dia tinggal mesontek dari buku
resep. Namun yang tak tertahankan adalah perasaan bahwa Yanuar harus mengakui
bahwa istrinya benar-benar telah pergi, bahwa masakan Esther tidak akan pernah
ada lagi, bahwa Yanuar kini seorang diri. Yanuar harus berhenti menganggap
Esther hanya berlibur ke tempat yang jauh. (Halaman 2)
Hal yang kemudian
membuat Yanuar bertambah sepi dan terluka saat dia menyadari kalau dia tidak terlalu
dekat dengan anak-anaknya. Seolah ada jarak yang jauh antara dia dengan Hafsha
dan Feru. Yanuar salah menggunakan tepung saat memasak salmon, Yanuar juga
tidak bisa membacakan dongeng sebelum tidur. Hafsha dan Feru malah merindukan
kehadiran Wira, adik Yanuar, untuk bermain bersama mereka.
Yanuar tidak ingin
menyerah. Dia ingin berjuang untuk menebus waktu yang pernah terlewat
membersamai anak-anaknya tumbuh besar. Yanuar berusaha menjadi ayah yang baik.
Pulang lebih awal dari biasanya dan ingin selalu ada bersama anak-anaknya.
Perubahan tidak serta merta terjadi. Seorang Yanuar tidak biasa untuk
meninggalkan pekerjaan kantor atau pun meminta izin kepada atasan untuk
menemani dan membersamai anak-anaknya. Waktu berjalan semakin cepat, dan Yanuar
tidak berani menduga-duga apa jadinya jika dia tidak terlibat dalam rentang
waktu antara anak-anaknya kecil dan anak-anaknya dewasa. (Halaman 88)
Di awal usahanya
mendekatkan diri dengan anak-anak Yanuar sering kebingungan. Bahkan untuk
memulai obrolan dengan anak-anaknya saja, Yanuar tidak tahu bagaimana cara
memulainya. Seiring berjalan waktu, Yanuar mulai memahami bahwa dia tidak harus
memulai, karena anak-anaklah yang sering kali mengangkat topik-topik menarik,
seperti, “Kenapa langit biru, Papa?”, “Apa ada awan yang warna pink, Papa?”,
“Kutub Utara itu di mana, Papa?” (Halaman 133)
Saat Yanuar sudah dekat
dan akrab dengan anak-anaknya, Yanuar diliputi perasaan bersalah, karena dia
baru dekat dengan anak-anaknya saat istrinya sudah tiada. Yanuar baru menyadari
betapa bahagianya berada di tengah keluarga. Yanuar berkata dalam hatinya,
“Mengapa selalu harus ada yang dikorbankan, atau berkorban, agar seseorang
menyadari betapa berharganya hal-hal yang mereka miliki? (Halaman 157)
Sebagai seorang pria
dewasa, Yanuar juga mulai memperhatikan sosok wanita lain. Karyawan baru di
kantornya, Lieselotte, menarik perhatiannya. Urusan mencintai bagi Yanuar kini
bukan sesuatu yang mudah. Kalaupun dia bisa bersama Lieselotte, Yanuar tidak
yakin bisa menyingkirkan bayang-bayang mendiang istrinya. Belum lagi kedua
anaknya harus beradaptasi dengan kehadiran orang baru, yang pasti membutuhkan
banyak waktu. (Halaman 186)
Saat Lieselotte resign dari kantornya, Yanuar pun merasa
gamang. Antara ingin mempertahankan gadis cantik itu atau tidak memedulikannya.
Yanuar merasa takut menghadapi yang namanya perpisahan, karena perpisahan
dengan istrinya sudah begitu membuat dia terluka. Begitupun saat putrinya,
Hafsha, diajak mertuanya untuk ke San Fransisco, menunaikan wasiat mendiang
istrinya agar Hafsha bisa bersekolah di San Fransisco.
Waktu adalah sesuatu
yang tidak bisa dikembalikan. Anak-anak tumbuh dewasa dan pada saatnya mereka
akan hidup mandiri tidak lagi tergantung dengan orangtuanya. Priceless Moment
mengajarkan pada kita bahwa uang bukan segalanya bagi seorang anak. Mereka
ingin besar dan tumbuh dengan perhatian juga keberadaan orang tua mereka.
Membangun kedekatan dan hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak di sela
kesibukan bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Dikemas dalam sebuah
cerita yang manis dan mengharukan, jalinan cerita di dalamnya tak hanya
menyuguhkan kisah yang romantis tapi juga penuh makna.
***
Data
Buku :
Judul :
Priceless Moment
Penulis :
Prisca Primasari
Penyunting : Yulliya Febria
Penerbit :
GagasMedia
Tebal Buku : 298 + vi Halaman
ISBN :
979-780-738-x
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2014
ceritanya menarik, tapi bakalan nangis membacanya
BalasHapusIyaaa.. Sy nangis bombay bacanya :(
HapusHuiiii.. Bagus premis bukunya Mbak. Makasih ya susha dishare resensinya.
BalasHapusSama2, Mas Dani. Ini karya Prisca yg paling saya suka :-)
HapusDimana posisi novelnya.. Nanya dulu aja sih.. :D
BalasHapusDi Handil. Mau baca? :p
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusUdah lama nggak kirim resensi ke Korjak. Kangen, kangen honornya,ups.
BalasHapusResensimu selalu keren Mbak.
Saya pun, Mbak. Kangeeen banget sama honornya. Hehehee.... Udah setahun lebih ga dimuat di Korjak lagi. Hiks.
HapusAih, Makasiih, Mbak :-)