Salah
satu sumber datangnya ide adalah dari pengalaman. Malahan kalau pengalaman ini
ide yang datang adalah paket komplit. Sudah satu paket dengan penyelesaian dan
kita tinggal memodifikasinya saja sesuai dengan media yang dituju. Cerpen yang
berjudul Misteri Uang Niken ini contohnya.
Ide cerpen ini dari
pengalaman saya sendiri. Suatu hari Mama saya menemukan dompet beliau
tergeletak di ruang tamu dengan kondisi terbuka dan uang di dalamnya raib.
Beliau kemudian bercerita kepada saya, juga bercerita bahwa sebelumnya ada dua
orang yang masuk ke ruang tamu. Saya bilang ke Mama buat menanyakan dulu ke penghuni
rumah yang lain, siapa tahu abah atau kakak saya yang mengambil uang di dompet
Mama. Mama akhirnya bertanya pada abah dan ternyata memang abah ‘tersangka’nya.
Hehehe…. Abah mengambil uang di dompet mama untuk membeli sesuatu. Tidak
masalah tentunya karena itu adalah uang bersama. Masalah selesai dan saya
terpikir mendapatkan ide untuk menjadikannya cerpen anak, dengan modifikasi
tentunya.
Cerpen ini dimuat di
Majalah Girls No. 24 / Tahun X yang
beredar 1-15 Juli 2015. Oleh redaksi
Girls, cerpen ini diganti judulnya menjadi Uang Niken Hilang.
Majalah Girls adalah
majalah buat anak-anak pra remaja. Semacam kakaknya Majalah Bobo.
Update : Majalah Girls sudah berhenti terbit :'(
Update : Majalah Girls sudah berhenti terbit :'(
Berikut adalah cerpen saya yang dimuat di sana. Happy Reading ^_^
Misteri Uang Niken
Oleh : Hairi
Yanti
Uang
itu hilang. Niken menggeledah isi tasnya. Tak puas hanya menggeledah, Niken
menumpahkan semua isi tasnya. Merogoh tiap kantong dalam tas. Tapi hasilnya tetap
nihil. Niken terduduk dengan isi tas yang masih berserekan.
Sore
tadi Niken menemukan tasnya di sofa ruang tamu. Kantong depannya terbuka.
Melihat kantong depan yang terbuka perasaan Niken menjadi tidak enak.
Perasaannya bertambah galau saat tak menemukan selembar uang 50 ribu di sana.
Niken ingat sekali dia menaruh uang di sana.
Uang
itu hasil Niken membantu ibu membikin kue. Kalau Niken membantu ibu, ibu akan
memberikan Niken bonus uang saku. Niken menyimpan uang itu untuk membeli buku
yang sudah lama dia inginkan.
Niken
mengingat lagi kejadian siang tadi. Niken pulang sekolah bersama Laras. Laras
ingin meminjam buku cerita punya Niken. Laras diajak Niken masuk dan duduk di
ruang tamu. Tas sekolah Niken taruh begitu saja di atas sofa. Niken dua kali
meninggalkan Laras sendiri di ruang tamu, saat bikin minum dan mengambil buku. Setelah
Laras pulang, Niken mengunci pintu rumah. Makan siang dan kemudian tidur siang.
Dia lupa mengambil tasnya yang tergeletak di sofa.
***
“Ada
siapa saja di rumah saat itu, Ken?” Lena bertanya pada Niken. Setelah Niken
bercerita pada Lena esok harinya sepulang sekolah. Lena adalah tetangga Niken,
tapi tidak satu sekolah dengannya.
“Ada
ibu. Tapi ibu sedang bikin kue di dapur. Ayah juga sedang bekerja. Tapi tidak
mungkin ayah dan ibu yang mengambil uangku kan, Len?” Lena mengangguk. Setuju
dengan pendapat Niken.
“Atau
ada yang mengambil pesanan kue datang ke rumah?” Lena bertanya dengan nada
menyelidik. Niken menggeleng. Sore itu ibunya sendiri yang pergi mengantar kue
pesanan pada langganannya. Tidak ada yang datang ke rumah.
“Tidak
bertanya saja pada ibu atau ayah kamu?” Usul Lena langsung disambut gelengan
kepala Niken. Niken khawatir ibu marah karena Niken tidak berhati-hati
menyimpan uang.
***
“Pagi,
Niken.” Laras tampak ceria pagi itu. Dia menyapa Niken dengan senyum manis di
wajahnya.
“Tebak
aku punya apa?” Laras duduk di samping Niken. Niken menggeleng, antara tidak
tahu dan tidak minat ingin tahu.
“Tradaaaaa…”
Laras mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak pensil berwarna
pink. Niken ingat saat mereka ke toko buku beberapa waktu yang lalu Laras
bilang ingin sekali punya kotak pensil itu. Tapi Laras mengaku dia tidak punya
uang.
“Akhirnya
aku bisa beli kotak pensil ini, Ken,” kata Laras sembari tangannya mengelus
kotak pensil.
“Dapat
uang dari mana?” Niken bertanya curiga. Laras menatap Niken masih dengan senyum
di wajahnya.
“Ada
deh,” jawab Laras sambil mengedipkan mata ke Niken. Niken menatap Laras tak
senang.
***
“Aku
tambah curiga, Len.” Niken menceritakan pada Lena semuanya setelah pulang
sekolah. Tentang kotak pensil baru Laras, tentang Laras yang tidak mau
memberitahu dapat uang dari mana.
“Dulu
Laras bilang enggak punya uang.” Niken mengakhiri ceritanya.
“Dulu
kapan?” Pertanyaan Lena membuat Niken mengingat-ingat saat mereka ke toko buku.
Saat itu juga Niken melihat buku yang ingin dibelinya. Itu terjadi sebulan yang
lalu.
“Kalau
kamu udah dapat uang buat beli buku, mungkin Niken juga sudah punya uang buat
beli kotak pensil itu,” tukas Lena.
“Tapi
aku tidak mencuri,” cetus Niken.
“Laras
juga belum terbukti mencuri uang kamu.” Lena menyahut yang membuat Niken
terdiam. Tapi kecurigaannya belum juga hilang. Sejak kejadian itu Niken lebih
banyak mendiamkan Laras. Mereka tak lagi mengobrol akrab seperti biasa.
***
“Kemarin sudah beli bukunya, Ken?” Ibu
bertanya saat Niken membantu ibu membikin kue di dapur. Niken bingung harus
menjawab apa.
“Uangnya
kemarin kurang ya? Nanti ibu tambahin kalau kurang.” Kata Ibu lagi. Saat ibu
berkata itu, ayah yang baru pulang kerja masuk ke dapur.
“Atau
minta tambahan dari ayah. Ayah baru dapat bonus tuh dari kantor.” Ibu melirik
Ayah sambil tersenyum.
“Minta
tambahan apa nih? Ayah baru datang langsung ditodong,” seloroh Ayah sambil
nyengir.
“Itu
loh, Yah, Niken mungkin uangnya kurang buat beli buku.” Ibu menjelaskan.
Tiba-tiba ayah menepuk jidatnya sendiri.
“Astaga.
Ayah lupa,” seru ayah yang membuat Niken dan ibu menghentikan kegiatannya dan
melirik ayah.
“Beberapa
hari yang lalu Ayah mengambil berkas yang ketinggalan di rumah. Ayah naik taksi
tapi kelupaan bawa dompet. Ayah melihat ada uang menyembul dari tas Niken.
Jadi, Ayah ambil uang itu dulu buat bayar taksi karena Ayah balik kantornya
pakai mobil. Ayah lupa buat mengganti uang Niken.” Penjelasan ayah membuat
Niken tertegun. Berarti Laras tidak bersalah, bisik hati Niken.
“Maafin
Ayah ya, Niken. Nanti Ayah tambahin ya uangnya buat beli buku. Sebagai
permintaan maaf.” Niken menunduk sedih. Dia teringat mendiamkan Laras beberapa
hari ini. Perasaannya semakin tak nyaman saat menyadari kalau dia telah menuduh
Laras mencuri.
“Ibu,
boleh bikin kuenya lebih? Niken mau kasih kue buat Laras.” Ibu mengangguk. Ibu
selalu senang berbagi.
Niken
tersenyum senang. Dia akan mengajak Lena ke rumah Laras untuk mengantar kue.
Sekalian meminta maaf pada Laras. Lena benar, seharusnya dia bertanya dulu pada
orang rumah tentang uangnya yang hilang. Tidak serta merta langsung menuduh
tanpa bukti, hanya berdasarkan prasangka. Semoga Laras mau memaafkannya.
***
waah ceritanya bagus mba, ide memang bisa muncul kapan saja ya, malah kadang kita tdk menduganya
BalasHapusIya bener, Mbak. Kadang datang tak dijemput, kemudian hilang pun tanpa pamit si ide. Hehehe...
HapusBener.. bagus jadinya, ringan gak berbelit-belit tapi sarat makna. ^^
BalasHapusAlhamdulillah... Terima kasih, Mbak Irly :-)
HapusSederhana dan bagus ceritanya Mbak. Keren!
BalasHapusAlhamdulillah... Terima kasih, Mas Dani :-)
HapusYantiiii...aku skrg susah deh cari ide cerpen, apalagi cernak. Kenapa ya? *lho kok nanya aku, kata Yanti*
BalasHapusHuhuhu... Ini pun mau memulai langkah ngecernak lagi, Teh..setelah sekian waktu absen. Susah jg ternyata :(
Hapusaku belum bisa nulis cerpen / fiksi mak.. sampe sekarang..
BalasHapushmm.. belum usaha ding. hehe
Kalau usaha bisa tuh, Mak :D
Hapuskeren ceritanya, kadang kita suka pendek pikir ya, nuduh orang yang gak kita sukai...sukses ya Mbak
BalasHapusIya, Mbak. Ini juga pelajaran buat saya supaya ga nuduh orang sembarangan. Sukses juga buat Mbak Astin :D
Hapus