Cerpen ‘Mandai, si Kulit Cempedak’ saya tulis sekitar bulan Januari atau
Februari tahun kemarin. Saat itu, di daerah saya sedang musim cempedak.
Kemudian cerpen ini dimuat setahun kemudian pada bulan Februari juga. Tepat di
saat musim buah cempedak kembali hadir ke bumi.
Mandai, si Kulit Cempedak |
Cerpen ini sendiri
hadir karena membaca tips di Klinik Cerita di Majalah Bobo. Tipsnya berbunyi : "Untuk membuat cerita yang
tak biasa, cobalah untuk berpikir sebagai seorang pembaca. Jangan hanya
berperan sebagai penulis saja. Cerita tentang lingkunganmu mungkin akan kau
anggap biasa-biasa saja. Misalnya, kalau kamu tinggal di Jakarta, cerita tentang
kerak telor mungkin tidak menarik lagi. Tetapi, bagi pembacamu yang berasal
dari luar Jakarta, cerita kerak telor bisa menjadi hal yang baru dan menarik.
Selain cerita yang bertema kedaerahan, cerita tentang kebiasaan-kebiasaan
unikmu bersama teman-teman dan keluarga juga bisa menjadi unik dan menarik."
Dari tips itu saya kemudian mencari
hal-hal yang unik di daerah saya sendiri. Salah satunya ya mandai. Cerita
tentang mandai pernah saya ceritakan di sini.
Cerpen ini dimuat di Majalah Bobo Edisi 47, Terbit 25 Februari 2016. Happy Reading ^_^
Mandai, si Kulit
Cempedak
Oleh : Hairi Yanti
“Enak sekali.” Aini berkata sambil mencomot lagi
satu biji cempedak. Aida, kakak Aini, mengangguk setuju. Tante Riska membelikan
mereka buah cempedak. Buah cempedak mirip dengan nangka. Buahnya lebih kecil
dari nangka. Bentuk buah cempedak biasanya lonjong dan panjang.
Aroma
cempedak itu khas sekali. Cempedak disimpan Tante Riska di dalam lemari. Waktu pulang sekolah, Aini dan Aida mencium
aroma cempedak. Mereka mengendus di mana sumber wangi itu. Mereka menemukannya
di lemari.
Tante Riska mengupas cempedak buat Aini dan Aida.
Mereka malas mengupasnya sendiri karena getah cempedak sangat banyak.
“Sudah habis ya, Kak.” Aini mengorek ke bagian
dalam cempedak. Tidak ada lagi buah cempedak di sana.
“Sudah habis, Ai. Buang kulitnya,” kata Aida.
“Lho? Kok Aini yang buang kulitnya? Kakak kan juga
makan tadi?” Protes Aini dengan wajah cemberut.
“Kamu makan yang paling banyak.” Aini nyengir
mendengar jawaban kakaknya. Dia pun mengambil kertas koran dan memegang kulit
cempedak dengan kertas koran. Aini tidak mau tangannya kena getah cempedak.
Aini sudah sampai di depan keranjang sampah.
“Aini, jangan dibuang.” Sebuah suara membuat tangan
Aini terhenti. Kulit cempedak masih di tangannya.
“Kulit cempedak jangan dibuang. Itu enak dijadikan
lauk.” Tante Riska mengambil kulit cempedak dari tangan Riska.
“Lauk?” Aini dan Aida berseru bersamaan. Kulit
cempedak dijadikan lauk. Bagaimana bisa? Mereka berpandangan dengan wajah
heran.
“Tante tunjukin caranya,” kata Tante Aida sambil
melangkah ke dapur. Aini dan Aida mengikuti Tante Riska.
Di dapur, Tante Riska membentangkan Koran yang tadi
digunakan Aini buat memegang kulit cempedak dan menaruh kulit cempedak di atas
Koran tersebut.
“Pertama, kupas dulu kulit luarnya.” Tante Riska
mulai mengupas kulit luar dari kulit cempedak. Aini dan Aida memperhatikan.
Aini melihat banyak getah yang menempel di tangan Tante Riska.
“Getahnya nempel tuh di tangan Tante.” Aini
menunjuk tangan Tante Riska.
“Kan bisa dihilangkan dengan minyak goreng nanti,”
ujar Tante Riska sambil terus mengupas.
“Nah, sudah selesai.” Tante Riska menunjukkan
hasilnya. Kulit cempedak bagian luar sudah dikupas. Tinggal bagian yang putih
saja. Tante Riska kemudian mengoles minyak ke tangannya. Juga ke pisau yang
tadi digunakan. Setelah itu Tante Riska membasuhnya dengan air. Kemudian Tante
Riska memakai sabun tangan. Dan membilas tangannya dengan air lagi.
“Sudah bersih dan enggak ada getah kan?” Tante
Riska menunjukkan tangannya. Aini dan Aida mengusap tangan tante Riska. Tidak
ada lagi getah di sana.
“Selanjutnya apa, Tante?” Tante Riska membawa
baskom berisi kulit cempedak yang putih. Sementara kulit luarnya sudah dibuang
ke keranjang sampah.
“Ini dicuci bersih dulu,” ujar Tante Riska.
Tangannya lincah mencuci kulit cempedak di bawah air mengalir.
“Setelah selesai, kulit cempedak dikasih garam
sedikit.” Tante Riska menaburkan garam pada kulit cempedak.
“Sudah selesai, Tante?” Aida bertanya saat Tante
Riska memasukkan kulit cempedak ke dalam wadah tertutup.
“Sudah. Besok baru bisa dimakan.” Aini dan Aida
mengangguk. Mereka tak sabar menunggu besok. Mereka ingin mencicipi kulit
cempedak itu.
Esoknya Tante Riska muncul di meja makan dengan
tersenyum riang. Membawa sepiring sesuatu yang baru dilihat Aini dan Aida. Ada
wangi cempedak yang masih tercium di sana.
“Ini kulit cempedak kemarin, Tante?” Tante Riska
mengangguk.
“Namanya mandai.
Tadi Tante oseng-oseng dengan bawang iris dan cabe. Enak banget.” Tante Riska
menelan ludahnya. Seperti sudah terbayang akan kelezatan mandai yang
dimasaknya. Aini dan Aida pun semangat mau mencoba.
“Wah, ada mandai.” Tiba-tiba mama datang dan bergabung
bersama mereka bertiga.
“Mandai ini makanan kesukaan mama. Dulu di rumah
nenek di Banjarmasin mama sering makan.” Mama menjelaskan. Tante Riska juga
bilang kalau mandai itu memang terkenal di Kalimantan Selatan, kampung halaman
mama dan tante Riska.
“Suka enggak?” Tante Riska bertanya setelah Aini
dan Aida mencicipi mandai. Sementara mama sudah makan dengan lahap. Aini dan
Aida berpandangan, kemudian serentak menggeleng. Tante Riska tertawa
melihatnya.
“Rasanya aneh, Tante.” Aini mengambil gelas minumnya
yang berisi air putih dan meminumnya.
“Kalau enggak suka, buat mama aja.” Mama mengambil
piring berisi mandai dan menaruh piring itu di depannya. Aini dan Aida kembali
berpandangan, kemudian tertawa bersama. Mereka senang melihat mama makan dengan
lahap.
“Mama malas membuat mandai. Getahnya itu susah dibersihin.”
Aini dan Aida mengangguk-angguk. Pantas mereka merasa asing dengan makanan itu.
Mama tidak pernah membuatnya.
“Terkadang
kita perlu bergetah-getah dulu untuk mendapatkan makanan yang lezat,” kata
Tante Riska.
“Ah, Tante Riska benar,” kata Mama sambil
menambahkan nasi lagi ke piringnya untuk kedua kali. Aini dan Aida berpandangan,
kemudian terkikik geli melihat mama melupakan dietnya.
***
Terima kasih tipsnya mbak. Cerita berunsur lingkungan dan kedaerahan, perlu dicoba nih. Jadi punya ide buat cerita juga nih. Hehe.
BalasHapusIya, Mbak Oka. Ga perlu keliling dunia, cukup lihat di sekililing kita buat jadi ide. Ayo dicoba :D
HapusBaca ini jadi penasaran dengan cempedak dan mandainya. :D Kalo kulit nangka bisa dimasak juga gak, ya? Soalnya gak pernah liat cempedak. :(
BalasHapusNangka di sini juga jadi lauk, Mbak Anisa. Beda sih rasanya. Duh, jadi bikin ngiler Bumil :( maaf ya, Mbak
HapusBetul banget itu tipsnyaa mbaa. Buat kita cerita biasa tapi orang luar bisa bilang luar biasa ^^
BalasHapusaku juga suka sama #TipsNenek di twitter majalah bobo qiqiqi
Betuuul, Mbak Shinta. Hal2 biasa buat kita bisa jadi luar biasa buat orang lain. Saya jugaa, Mbak. Suka pelototin atu2 tips nenek di twitter :D
HapusSaya suka cerpen..baca artikel ini jadi terkenang waktu zaman saya smp.
BalasHapusyang suka nulis cerpen tapi masih
sebatas untuk di baca sendiri.
Duuhh majalah bobo itu majalah kesayangan saya juga...heheh...jd benar2 terkenang mbak
Yuk, Mbak, nulis-nulis lagi. Majalah Bobo masih terbit, Mbak. Tiap hari Kamis. Yuk, Mbak Yuniar, beli majalah Bobo kamis ini. Ada satu cerpen saya di sana :D
Hapusmembaca tips mbak serasa kembali memecut keinginan saya yangsudah terkubur lama. Sudah berapa puluh tahun pasion saya menulis fiksi anak terkubur dalam2. Hehhee maklum saya nulis cernak/dongeng sejak kelas 4 SD. Bisa dibayangkan saya vakum setelah sekolah menengah atas. Hikss
BalasHapusMbak Putri.. Ayo dimulai lagi. Passionnya dihidupkan lagi, Mbak :D
HapusBaru tau kalau kulit bagian dalam cempedak bisa dimakan. :D terima kasih tips-nya, mbak. :)
BalasHapusBisa mbak Leli. Di daerah saya kulitnya laku dijual. Hihihi...
Hapuskeren mbaakk,
BalasHapusmakasih tipsnya yak, nnti aku praktekin deh,
Sama-sama, Mbak Inda. Selamat praktek ;-)
Hapusmakasih ya tipsnya, jadi menambah semangat untuk menulis
BalasHapusSama2, Mbak tira. Semoga bermanfaat ya :-)
Hapusmandai... kau bikin aku penasaran
BalasHapusSemoga bisa mencicipinya suatu saat nanti ya, Mbak Lia :-)
Hapus