Saya penyuka ayam penyet. Ayam yang dipenyet
kemudian ada sambal bawang putih yang melumuri ayam. Wuiih… Itu enak sekali.
Ayam penyet favorit saya itu ayam penyet Wong Solo. Wakakakaka… Sebut merek :p
Ayam penyet WS itu enaaak banget. Bumbunya
meresap, ada bagian krispinya juga dan sambal bawang putihnya itu, lho. Nendang
banget. Jadi, saat menulis cerpen dan menyebut ayam penyet, saya ngebayangin
ayam penyet WS.
Cerita dibalik layar cerpen Pisang Gapit ada
di sini. Cerpen ini dimuat di Majalah Bobo No. 41 Tahun XLIII Terbit 14 Januari
2016. Happy Reading ^_^
Pisang
Gapit
Oleh : Hairi Yanti
“Enak banget.” Ayah
mengacungkan jempolnya kepada Vika. Tangan ayah masih belepotan nasi dan
sambal. Sementara mulut ayah terus mengunyah.
“Ayah ini di Balikpapan atau
Surabaya makannya selalu ayam penyet.” Mama berkata. Vika mengangguk setuju. Setiap
mereka makan di luar ayah selalu memesan ayam penyet kalau ada menu ayam
penyet. Mama juga sering membikin ayam penyet di rumah.
Padahal ayam penyet itu
pedas. Vika pernah mencoba mencicipi ayam penyet kegemaran ayah. Mulut Vika
serasa terbakar karena pedas. Vika minum banyak air buat menghilangkan pedas di
mulutnya. Vika lebih suka makan ayam bakar dengan kecap. Manis dan enak.
Vika juga suka ayam goreng
seperti yang dimakan ayah. Tapi tidak dipenyet dan dikasih sambal di atasnya.
Ayam penyet ayah itu sama dengan ayam goreng yang dimakan Vika. Tapi, ayam
goreng ayah dipenyet dan dikasih sambal di atasnya. Rasanya pedas sekali.
“Ma, apa yang dipenyet itu
selalu pedas?” Vika bertanya. Vika ingin makan sesuatu yang dipenyet tapi
manis. Vika ingat mamanya juga pernah bikin tempe penyet. Rasanya sama, pedas
sekali. Untunglah mama memisahkan tempe tanpa dipenyet untuk Vika.
“Ada kok yang dipenyet tapi
enggak pedas. Malah manis sekali.” Mata Vika berbinar mendengar jawaban mama.
“Namanya pisang gapit, Vika. Vika mau nyoba?”
Vika mengangguk.
“Di mana Vika bisa makan
itu, Ma?” Mama mengedipkan mata ke Vika.
“Besok kita ke sana.” Vika
bersorak senang. Tak sabar menunggu hari esok tiba.
Esoknya, Vika dan mama naik
motor ke suatu tempat. Melewati jalanan Balikpapan yang bersih dan rapi.
Suasana juga terasa segar karena sehabis hujan. Di kiri kanan jalan raya
Balikpapan banyak pohon-pohon. Vika senang melihatnya.
Motor mama berhenti di satu
warung. Di depan warung ada nenek yang membakar sesuatu. Seperti bakaran ikan,
tapi bukan ikan yang dibakar. Yang dibakar adalah pisang. Vika turun dari motor
dan mendekat ke arah nenek itu.
Pisang berjejer di atas
tempat pembakaran. Pisang itu terlihat gepeng. Bukan bulat seperti pisang yang
biasa Vika makan.
“Kenapa pisangnya gepeng
gitu, Ma?” Vika bertanya. Matanya masih memandangi pisang yang sedang dibakar.
“Pisangnya digapit dulu, Vika. Jadi gepeng deh.”
Mama menjawab rasa penasara Vika.
“Digapit, Ma?” Vika bingung dengan arti gapit.
“Iya, Vika. Digapit itu artinya dijepit atau bisa
juga dipenyet. Tuh lihat alat buat menggapit pisang.” Mama menunjuk satu alat
di samping tempat bakaran. Alat itu terbuat dari kayu. Bentuknya persegi
panjang. Ada pegangan diujungnya.
Vika melihat nenek yang
membakar pisang tadi mengupas pisang. Alat penggapit pisang dibuka bagian
atasnya. Pisang ditaruh di bagian tengah.
Puk!
Pisang pun dijepit. Setelah
itu alat penjepit tadi dibuka. Vika melihat pisang sudah berbentuk gepeng.
Pisang kemudian ditaruh di atas alat pembakaran.
Pisang dibalik-balik agar
matangnya sempurna. Setelah selesai pisang ditaruh di atas piring. Kemudian
disiram dengan cairan berwarna coklat. Kata mama cairan itu dari gula merah dan
juga santan. Vika dan mama langsung duduk buat menikmati pisang gapit.
“Hemm, enak banget, Ma,”
kata Vika setelah meneguk suapan pertama pisang gapitnya.
“Mirip kolak enggak?” Mama
bertanya. Vika berpikir sebentar kemudian menggeleng.
“Rasa pisang yang dibakarnya
yang bikin beda dengan kolak, Ma,” jawab Vika.
“Benar, Vika. Apalagi
dibakar di atas arang. Rasanya jadi khas sekali.” Vika mengangguk membenarkan.
Kemudian kembali menikmati pisang gapitnya sampai habis.
Ternyata Pisang Gapit itu makanan khas
Balikpapan. Vika dan keluarga memang baru pindah ke Balikpapan satu bulan ini. Kata
mama, di Balikpapan memang banyak yang jual pisang gapit. Salah satunya di
Kebun Sayur tempat yang mereka datangi saat ini.
Mama juga membeli pisang gapit
untuk dibawa pulang ke rumah.
“Buat ayah,” ujar mama saat
Vika bertanya. Vika mengacungkan jempolnya. Ayah harus tahu kalau ada makanan
yang dipenyet tapi tidak pedas. Seperti pisang gapit ini.
Aku juga suka pisang bakarrr
BalasHapusToss, Mbak. Saya juga suka :D
HapusLama juga ya kita gak makan pisang gapit.. #kodekeras..;)
BalasHapusAhahaha.... kode diterima. Lama juga ya ga ke Haur Gading #kodekerasjuga ;-)
HapusLama juga ya kita gak makan pisang gapit.. #kodekeras..;)
BalasHapusunikunik idenya mba yanti, kereen. pantes dimuat wae ^^
BalasHapus*masih nyari ide muluk ini mau bikin hihi..
Sambil cari ide, sambil bikin, Mbak Tin :D
Hapussuka pisang gapit tapi males sih kalau dikasih santan :D
BalasHapus