Sekitar
setahun yang lalu, saya mendapat berita itu. Gerhana Matahari Total (GMT) yang
akan melewati Indonesia. Ada 11 kota yang akan mendapatkan GMT 100%, salah
satunya Balikpapan. Mendapati kabar tersebut tentu saya senang sekali.
Balikpapan adalah kota yang dekat dengan saya. Dekat dalam artian sebenarnya
secara geografis, tapi juga dekat di hati karena suami berasal dari sana dan
mertua saya juga tinggal di sana.
"Kita
ke Balikpapan nanti tanggal 9 Maret 2016, ya," ujar saya kepada suami.
Namun, ia tak mengiyakan, juga tidak mengatakan tidak. Ketidakpastian, itulah
tepatnya. Dengan pekerjaannya yang bisa ada di daratan dan lautan membuat suami
tak bisa menjanjikan apa-apa.
Beberapa
bulan setelahnya, titik terang itu ada. 9 Maret 2016 menurut perhitungan adalah
jadwal suami bekerja di tengah lautan.
"Yaaah...
Enggak bisa ke Balikpapan dong?" Tanya saya kecewa. Suami menggeleng.
Beberapa kali dalam percakapan dengan suami saya bilang ke dia kalau saya
sangat berharap 9 Maret 2016 kami berada di Balikpapan. Tapiii.... Ya
begitulah. Suami tidak bisa mengubah jadwal sesuai kemauannya.
"Kita
ke Balikpapan saja. Naik pesawat. Nginap semalam," usul nekad kakak saya
pada suatu hari. "Kejadian langka, lho," sambung kakak saya.
"Ayo."
Saya menanggapi dengan antusias. Kemudian menghitung budget, paling tidak satu juta yang harus dikeluarkan untuk satu
orang. Namun, rencana itu batal. Sayang duit. Hihihihi....
Namun,
manusia hanya bisa berencana, Allah yang menentukan. Awal
februari, suami mendapat kabar di malam hari. Ia harus segera ke tempat
kerjanya di tengah lautan. Rekan kerja suami yang bergantian bertugas dengannya
baru mendapat kabar duka. Sang ibu berpulang, rekan kerja harus segera mudik,
suami harus menggantikan.
Saya?
Sediiih. Baru kumpul dengan suami dua minggu tapi harus berpisah lagi.
"Ambil
hikmahnya, dengan begini jadinya tanggal 9 Maret 2016 kita bisa di
Balikpapan," hibur suami pada saya. Saya pun mengangguk setuju dan
terhibur. Maka jadilah 9 Maret kami ada di Balikpapan. Menyaksikan sebuah
fenomena alam luar biasa bernama Gerhana Matahari Total.
***
Awalnya
saya dan suami merencanakan berangkat ke Balikpapan pada hari selasa. Namun,
karena suami masih kerja di harivtersebut, rencana kami berubah. Rabu subuh
baru akan berangkat ke Balikpapan. Perjalanan memakan waktu kurang lebih dua
jam. Berharap bisa tetap ikut melaksanakan shalat gerhana di Balikpapan.
Dalam
perjalanan, tidak ada yang istimewa. Hanya ketika mendekati Balikpapan, ada
suasana sedikit berbeda. Beberapa orang terlihat menggunakan baju koko dan para
wanita menggunakan mukena menuju mesjid. Ketika sampai di Balikpapan, beberapa
ruas jalan terasa lenggang, tetapi ada beberapa titik justru terjadi kemacetan.
Titik yang ada mesjidnya. Banyak mobil yang parkir di pinggir jalan. Shalat
gerhana dilaksanakan nyaris di semua mesjid yang saya lewati. Suasana mesjid
pun ramai dan tampak meriah.
Suasana selepas shalat gerhana di mesjid At-Taqwa Balikpapan |
Target
saya dan suami adalah Mesjid At Taqwa atau Mesjid Istiqomah di wilayah
Klandasan. Namun, jalanan maceeet. Beberapa ruas jalan juga ditutup. Jadilah
kemudian terlambat datang ke mesjid At-Taqwa. Tapi, Alhamdulillah, masih
bisa shalat gerhana. Karena saya sedang berhalangan, jadi saya hanya menunggu
di depan. Bisa mendengarkan khutbah dari khatib. Beberapa saat kemudian,
prosesi shalat gerhana selesai, jamaah bubar, langit mulai kelam.
Langit mulai kelam |
Menit-menit
waktu mulai menuju pukul setengah sembilan terasa menegangkan. Pukul 08.34 WITA
adalah perhitungan puncak gerhana akan terjadi. Setiap detik menuju waktu itu,
langit mulai berubah. Kelam, bertambah kelam. Matahari pun menunjukkan
perubahannya. Mulai berbentuk sabit. Perubahan warna langit semakin kentara.
Pagi Pukul 08.34 di Balikpapan, 9 Maret 2016 |
Ketika
tiba di detik 08.34, ada seruan takjub terdengar. Di langit, matahari berbentuk
cincin. Indah. Indah sekali. Suasana berubah senyap. Semua orang seperti
terhipnotis dengan suguhan alam yang luar biasa. Terpana. Menahan napas. Degup
jantung menjadi tak biasa. Menakjubkan. Menggetarkan. Suasana hati sungguh tak
bisa terlukiskan dengan kata-kata. Pun dengan keindahan yang terjadi tak bisa
digantikan dengan lensa.
Saat Gerhana |
Suara
takbir menggema dari seseorang di dekat saya. Allahu Akbar. Sungguh Maha Besar
Ia menciptakan langit, bumi, dan seantero alam. Mengatur peredaran tata surya
dengan kuasaNya.
Hanya
beberapa detik. Terasa sekejap mata. Matahari kemudian tak lagi berbentuk
cincin. Bulan yang tadinya menghalangi sinar sang mentari perlahan mulai
beranjak meninggalkan titik garis yang sama dengan sang surya. Suasana perlahan
berubah terang.
Saya dan suami berpandangan kemudian sama-sama tersenyum bahagia. Beberapa kali menyaksikan detik-detik gerhana di youtube, tapi menyaksikan dan mengalaminya secara langsung sungguh berbeda.
Saya dan suami berpandangan kemudian sama-sama tersenyum bahagia. Beberapa kali menyaksikan detik-detik gerhana di youtube, tapi menyaksikan dan mengalaminya secara langsung sungguh berbeda.
Tadinya
saya pikir suasana akan berubah seperti malam, gelap pekat. Tapi ternyata
suasananya hanya seperti petang. Tak terlalu gelap, masih agak terang. Namun,
memang jelas sekali perubahannya. Saat sebelum gerhana dan pada saat gerhana
matahari total terjadi. Ketika mentari mulai kembali bersinar, ponsel saya
bergantian berdering. Mama dan Kakak bergantian menanyakan kabar dan suasana di
Balikpapan.
Perbedaan langit sebelum dan saat gerhana |
Seperti
yang saya bilang sebelumnya, Balikpapan menjadi salah satu kota yang dilintasi
dan mendapat GMT 100%. Maka, bentuk matahari seperti cincin bisa disaksikan di
kota minyak itu. Alhamdulillah, langit cerah sehingga perubahan matahari
bisa terlihat. Sungguh, pengalaman yang luar biasa. Menakjubkan dan
menggetarkan.
Matahari seperti ini terlihat di langit Balikpapan. Foto dari FB Portal Balikpapan. Foto dari Peter Tan |
Beruntung sekali bisa menyaksikan fenomena langka tsb mbak. Padahal banyak yang bilang, jangan lihay GMT di balikpapan, lo... ha..ha... di balikpapan nggak kelihatan ...
BalasHapushahahaha... Iya, Mbak. Kalau di balik papan enggak kelihatan. Tapi di Balikpapan kelihatan. Hihihi...
HapusMasya Allah ya, gemetar melihatnya. Merindiiing, alhamdulillah ya bisa ikut menyaksikan dan semoga kita makin mempertebal keimanan. Amin
BalasHapusAamiin ya Rabb. Iya, Mbak. Merinding dan gemetar...
HapusBeruntung ya Mbak, menjadi saksi fenomena alam. Keajaiban Allah akan kuasaNya. Aku pikir juga akan gelap gulita seperti malam hari
BalasHapusDi beberapa tempat memang seperti malam,Mbak. Mungkin karena Balikpapan cerah jadi spt petang saja.
HapusAllahuakbar, meski di Bekasi hanya beberapa persen saja, tapi perubahan yang mendadak mendung meski terik saja membuat kami di Bekasi ikut merasakan haru sambil tetap menetap di mesjid selama gerhana berlangsung dan baru keluar mesjid setelah selesai.
BalasHapusIya, Mbak. Perubahannya terasa banget apalagi awalnya Balikpapan cerah.
HapusSelamat ya Mbak Yanti, sdh jadi saksi sejarah GMT :D
BalasHapusHehehe... Iya, Mbak April. Alhamdulillah :-)
HapusAku gak sempat liat. Sibuk di dapur sih. Karena matahariku sedang kelaparan. :D
BalasHapusHihihihi... Keluarga sy juga ada yg ketiduran, Mbak, karena malamnya habis datang dari perjalanan jauh.
HapusWah di balikpapan sampai gelap begitu ya, tapi alhamdulillah di tasikmalaya gak sampai begitu.
BalasHapusGa terlalu gelapnkalau dibandingkan daerah lain, Mbak :-) hanya spt petang saja nih. Tidak spt malam :-)!
Hapusfenomena 300tahunan sekali, sayang sekali di bandung gak bisa lihat lgsung, cuma bisa streaming :D
BalasHapusTahun 83 udah lewat Pulau Jawa kan ya. Kali ini giliran Kalimantan :-)
HapusAlhamdulillaah aku bisa lihat, mbaa. LIhatnya dari lantai 6 di kantor. Luar biasa menakjubkan :)
BalasHapusIya, Mbak. Takjub ya. Sy berasa berada di dunia lain melihat matahari bentuk cincin :-)
HapusPerasaannya emang beda antara liat langsung dan liat di tv, ikut terbawa suasana.. :)
BalasHapusSyahdu gitu ya, Yang. Alhamdulillah akhirnya bisa ke Balikpapan ya kita tanggal 9 maret :-)
HapusWaaa keren, di JOgja belum dapat rejeki liat GMT, cuma lewat tivi aja mbak. hehehe
BalasHapusDi Yogya sudah tahun 83 kan?
Hapus