Memilih nama
tokoh dalam cerita kadang memang bikin mumet. Walau mengaku tidak terlalu
memikirkan nama dengan begitu detail, tapi kerap saya kehabisan ide juga
memberi nama untuk tokoh dalam cerita. Beberapa kali nama yang saya gunakan
berulang sehingga nama yang saya pakai itu-itu saja.
Salah satu sumber
ide nama saya adalah dari film yang saya tonton. Saya pernah menulis cerpen
remaja dengan tokohnya bernama Kai. Ketika ada seorang teman yang membacanya,
dia bilang nama yang saya pakai sama dengan nama tokoh pada novel karya Windry
Ramadhina. Padahal, saya memakai nama Kai karena merujuk pada film yang baru
saya tonton saat itu yaitu 47 Ronin. Tokohnya juga bernama Kai, kan?
Pada satu-satunya
cerpen yang dimuat di Kompas Anak ini juga saya memilih nama tokohnya berasal
dari film yang baru saya tonton yaitu Rush. Niki, kakak dari Rheina di
cerpen ini, ide namanya dari Niki Lauda. Cerpen ini dimuat di Kompas Anak pada
tanggal 29 Juni 2014 dan sampai Kompas Anak berhenti terbit cuma satu cerpen
ini yang berhasil dimuat. Hiks. Sekarang Kompas Anak sudah berhenti terbit. T_T
Lari,
Rheina!
Oleh : Hairi Yanti
“Kemarin aku mencetak dua gol,” Niki berkata
sambil melirik Rheina di sampingnya. Niki tersenyum senang melihat wajah Rheina
yang cemberut.
“Sepak bola itu menyenangkan, Rheina,”
ujarnya lagi. Niki memang paling tahu bagaimana membuat adiknya kesal. Rheina
selalu ingin ikut bermain sepak bola. Tapi Niki dan teman-temannya tidak pernah
mengizinkan dia bermain serta.
“Aku bisa berlari lebih cepat dari kakak,”
sungut Rheina yang membuat Niki tertawa. Rheina ingat ketika berlomba lari
dengan kakaknya, ayahnya selalu bilang kalau Rheina setinggi kakaknya pasti
akan bisa lari lebih baik dari Niki.
“Apa artinya berlari tanpa menggiring bola. Kalau
sepakbola itu perpaduan semuanya. Larinya ada, kerja samanya ada dan yang tak
tergantikan itu perasaan senang ketika gol,” jawab Niki. Rheina memasang wajah
kesal di depan kakaknya yang membuat kakaknya tersenyum puas.
***
Hari ini Rheina senang sekali karena ayah
akan mengajaknya main bola di halaman belakang rumah mereka. Ada dua buah batu
yang ditaruh di sisi kiri dan kanan sebagai penanda jarak antara dua buah batu
itu adalah gawang.
“Ayo, Rheina, tendang bolanya,” ayah memberi
semangat. Rheina pun menendang bola ke arah gawang, tapi tendangan Rheina
meleset. Sementara tendangan Niki selalu berhasil. Saat Rheina menggiring bola,
Niki juga bisa dengan mudah mengambil bola dari kaki Rheina. Rheina pun jadi
tak bersemangat lagi main bola.
“Ini karena aku nggak pernah main bola, jadi
kak Niki lebih jago main bolanya,” sungut Rheina dengan wajah kesal malam
harinya.
“Tapi Rheina kan larinya lebih bagus. Waktu
finish, jarak antara Rheina dan Kak Niki nggak jauh. Padahal kak Niki lebih
tinggi dari Rheina,” kata ayah menghibur Rheina. Sore tadi Rheina dan kak Niki
memang sempat lomba lari juga.
“Rheina nanti latihan lari aja, ya.” Ayah
menepuk pundak Rheina dengan lembut. Rheina menggeleng. Dia mau main bola.
Bukan lari.
***
“Ayo, Rheina! Lari!” Niki bersorak di pinggir
lapangan. Memberikan semangat buat Rheina yang hari ini mengikuti lomba lari di
sekolah. Siapa yang menang akan mewakili sekolah buat perlombaan di tingkat kabupaten.
Niki sudah terpilih masuk menjadi tim inti sepakbola sekolah. Karena tidak ada
tim wanita, jadi wali kelas mereka menyarankan Rheina ikut lomba lari.
“Bersedia! Siap! Ya!” Rheina membawa tubuhnya
berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya memburu. Keringat pun mulai membasahi
tubuhnya. Tidak ada teman yang mendahuluinya, artinya Rheina masih memimpin.
Tapi beberapa detik kemudian, Rheina kaget. Ada sekelabat tubuh yang melewati
dirinya.
“Erggh… Ada yang mendahuluiku,” Rheina
membatin. Rheina berusaha mempercepat larinya. Tapi, garis finish sudah di
depan mata. Rheina terduduk di rerumputan begitu sampai di garis finish.
“Dan yang jadi pemenang lomba lari adalah… “
Pak Anto, Guru Olahraga mengumumkan. “Alda!” Kata Pak Anto dengan suara
lantang. Mata Rheina terlihat berkaca-kaca.
“Aduh.” Rheina memekik pelan. Rupanya ada
semut merah yang menggigit lengannya.
“Kenapa?” Niki sudah ada di depan Rheina..
“Ada semut, Kak. Aku digigitnya. Sakit.”
Rheina bercerita sambil terisak. Kekalahan di lomba lari dan sengatan semut
merah membuat Rheina tidak bisa menahan tangisnya.
“Kita ke UKS, ya. Cari minyak kayu putih buat
mengolesi yang disengat semut tadi,” ajak Niki. Rheina mengganguk. Dibantu
Niki, Rheina berdiri dari duduknya. Niki menggandeng tangan adiknya.
“Tadi Rheina larinya sudah bagus. Tapi
setelah start Rheina larinya terlalu
kencang. Jadi ngos-ngosan di tengah. Kecepatan Rheina jadi berkurang. Makanya
Alda bisa menyalip Rheina,” Niki berkata sambil menepuk-nepuk pundak Rheina
pelan. Rheina mengganguk setuju. Kakaknya mengatakan hal yang benar.
“Tapi Rheina jangan menyerah. Kan masih ada
tahun depan. Kak Niki juga baru tahun ini bisa ikut serta mewakili sekolah di
pertandingan bola.”
Rheina tersenyum ke arah kak Niki. Rheina
menyadari kalau ternyata kakaknya tidak terlalu menyebalkan, justru sangat
sayang padanya.
***
ah... mba Yanti kalo bikin cerpen anak, selalu bagus. Jadi ingat waktu anak saya tanding pencak silat, ternyata dia kalah dan menangis :)
BalasHapusMencari nama tokoh pun bisa terinspirasi dari mana aja ya, Mbak :)
BalasHapusDuuuh bisa jadi bahan koleksi nih. :D BTW di kompas feenya lumayan. :D
BalasHapusWah cerpen anaknya keren sekali mbak, tulisannnya asik di baca :)
BalasHapusHmm muantappp juga mbak alur ceritanya.
BalasHapusYantiii...seriusan itu kompas anak udah gak ada lagi?
BalasHapusKok syediiiiih :)
Akh, kalo bikin cerpen anak ternyata temanya emang harus yang sederhana, tapi mampu menceritakan isi hati anak tersebut yah...cateeeet!
Oooo kompas tuh pernah ada kompas anak ya? *barutau*
BalasHapusCiba nulis utk bobo mba..
Is Good Bro!!
BalasHapusHahaha...
Mba mau tanya, tema dari cerita itu apa ya?
BalasHapusLucu
BalasHapusLucu
BalasHapusCerpen itu bagus dan keren dan lucu
BalasHapusLucu
BalasHapus