Rasanya saya tidak bisa menunda menuliskan
ini. Menulis tentang kesan-kesan saya terhadap sebuah novel dari karya salah
satu penulis favorit saya, Orizuka. Judulnya Apa Pun Selain Hujan, terbitan Gagas Media di tahun 2016. Baru banget terbitnya. Orizuka nyaris tidak pernah mengecewakan
saya, setiap karyanya nyaris selalu saya suka. Memakai kata nyaris karena ada
satu, dua atau lebih karyanya yang saya rasa biasa saja. Tapi, sebagian besar
dari karya Orizuka yang saya baca, selalu menyedot perhatian saya dan menarik.
Apa Pun Selain Hujan |
Seperti yang saya bilang dulu dan yang
sudah-sudah, tingkat kebaperan saya saat membaca karya fiksi berbanding lurus
dengan tingkat kesukaan saya pada karya fiI ksi tersebut. Dan saya baper, baper
sebaper-bapernya semenjak prolog yang membuat emosi tersedot dalam ceritanya
sampai epilog yang membuat saya enggan berpisah dengan ceritanya. Novel ini
tipe novel yang bikin penasaran sama ceritanya hingga ingin segera menuju ending tapi setelah ending juga merasa tak ingin berpisah dengan ceritanya. Jadi,
gimana dong?
Prolog novel ini begitu menghentak. Tentang
pertandingan taekwondo yang mempertemukan dua sahabat, Wira dan Faiz. Di ujung
pertandingan, Wira menendang kepala Faiz, Wira merayakan kemenangannya, begitu
pun Nadine di bangku penonton. Hanya sesaat, karena setelahnya ada kejadian
yang mengubah hidup Wira dan menghentikan hidup Faiz. Faiz tak bergerak dan tak
pernah bergerak lagi dalam pertandingan terakhirnya melawan Wira. Ketika Wira
dan Nadine berlari mengantar tubuh Faiz memasuki ambulance, hujan turun dengan deras. Sejak saat itu, Wira tak lagi
menyukai hujan.
Wira pun merasa terhakimi oleh orang-orang di
sekitarnya. Merasa kalau orang-orang menuduhnya sebagai pembunuh. Terlebih ia
tak bisa melepaskan ingatan saat penuh emosi ibunya Faiz berkata padanya, “Kembalikan
Faiz.”
Wira lari, ia memutuskan menjauh dari dunia
yang selama ini menemaninya. Ia pindah ke Malang, tinggal bersama neneknya, kuliah
di Teknik Sipil Universitas Brawijaya, meninggalkan taekwondo, tidak membuka
diri terhadap teman-teman baru masuk ke hidupnya, dan membenci hujan.
Sampai pada suatu ketika, Wira menemukan
sebuah kardus yang bergerak-gerak, membukanya dan menemukan seekor kucing.
Langkah selanjutnya mempertemukannya dengan seorang mahasiswi Kedokteran Hewan
yang ternyata juga seorang taekwondoin bernama Kayla. Kucing yang kemudian dinamakan
Sarang, dan gadis manis bernama Kayla itu kemudian membuat hidup Wira tak lagi
sama.
***
Saya suka sekali novel ini, menyukainya
dengan sangat. Sama dengan Mbak Dhani, saya menyukai setiap hal yang hadir di
novel ini. Pada karakter yang menempel pada tokoh-tokohnya, pada alurnya, pada
dunia Teknik Sipil yang menjadi latarnya, pada cameo yang membuat jalan cerita
lebih berwarna, juga pada kebaperan yang saya rasakan teramat sangat menyengat
saat membacanya.
Karakter tokoh Orizuka selalu bukan karakter
yang sempurna. Kalau dulu, Orizuka kerap membuat karakter cewek yang
biasa-biasa saja, kali ini Orizuka membuat karakter cowok yang biasa saja. Wira
memang pemegang sabuk hitam di taekwondo. Tapi, Wira adalah cowok pasif, tidak
agresif, pemurung, penyendiri, dan penakut terhadap hantu. Walaupun begitu,
saat bertemu seseorang yang membuatnya nyaman, Wira bisa berubah juga. Bisa
mengobrol banyak dan bercanda.
Sementara karakter Kayla justru sebaliknya.
Kayla adalah seorang cewek yang agresif, yang kadang sering blak-blakan
menjawab pertanyaan-pertanyaan Wira. Namun, Kayla tetaplah cewek yang sentimental.
Saya gemes sendiri melihat Kayla yang ‘menyerang’ Wira dengan ‘kode-kode’ tapi
Wira selalu menganggap kode itu sebagai candaan. Ahahaha…
Selain kedua karakter utama, saya juga suka
karakter-karakter pendukung di novel ini. Karakter Uti, Attar yang akhirnya
mendapat simpati saya saat malam di Batu Night Spectacular, juga teman-teman
Wira di Teknik Sipil.
Ah ya, Wira kuliah di Teknik Sipil dan
interaksi Wira dengan teman-temannya seketika membuat ingatan saya melayang ke
kampus saya dulu. Anak-anak teknik sipil itu pertemanan mereka hangat dan
menyenangkan. Saat Wira memutuskan menyendiri dan menjauh dari teman-temannya,
teman-temannya tidak pernah memusuhi Wira. Mereka terus menganggap Wira sebagai
teman.
Celutukan-celutukan mereka kerap membuat saya
tergelak dan itu serasa nyata karena celutukan serupa memang kerap saya temukan
saat di kampus dulu. Seperti saat mereka meminta Ramdhan mengajak Wira untuk
shalat berjamaah dan ke pengajian. Ahaha… Yang paling membuat saya tergelak
adalah saat senior Wira menyodorkan kelingkingnya pada Wira dan berkata “Janji?”
Wkwkwkwk…. Ngakak deh :D
Cameo yang hadir di novel ini pun terasa pas
sekali kehadiran. Seperti sepeda mini berwarna pink milik Kayla, kucing kecil
yang bernama Sarang, juga Eko dan Handoko, penghuni tetap teras sekretariat bersama
UKM.
Konflik utamanya juga dibuat menggigit, bikin
baper tapi tetap menyenangkan buat membacanya. Orizuka kembali menulis cerita
yang bukan biasa-biasa saja. Orizuka menghadirkan lagi betapa peran keluarga
begitu penting bagi tumbuh kembang anak-anak remaja, segala penyelesaian tidak
disandarkan hanya pada sebuah perasaan yang tumbuh di sepasang anak remaja,
tapi ada pada keluarga. Dan saya suka sekali hal itu.
Hubungan Kayla dan Wira pun terasa santun
dibanding novel-novel sejenis. Tidak ada kontak fisik gituan seperti di film AADC 2. (((GITUAN))) Wakakaka…. Bahkan
antara Kayla dan Wira tidak ada terucap kata-kata cinta dan sayang, namun, saya
yakin pembaca bisa merasakan apa yang mereka berdua rasakan seperti orang-orang
di sekitarnya juga begitu. Ini seperti lagu-lagu Jikustik ya, tidak ada kata
cinta dalam liriknya tapi kita tau lah kalau itu lagu-lagu romantis.
Sekilas ini serupa dengan novel karya Orizuka
lainnya yang berjudul Summer Breeze. Ada tiga sahabat, peran orangtua, saling
menjauh, saling menyendiri, dan lain halnya. Tapi, saya lebih menyukai Apa pun
Selain Hujan. Menurut saya, Orizuka semakin matang dalam caranya bercerita.
Dalam kata pengantarnya, Orizuka mengemukakan ide-ide yang berserakan dari hal-hal yang disukainya yang kemudian membuat ia menulis novel ini. Tentang Batu dan Malang, kucing, taekwondo, chapter “Everything but The Rain”, yang kemudian dia gabungkan semuanya dalam satu novel yang menarik dan manis ini. Ah, sungguh saya iri. Saya pun punya banyak hal yang saya sukai yang ingin saya tayangkan dalam sebuah novel namun tak kunjung terealisasi. Heuheu… Baiklah, saya mellow dulu sambil terbaper-baper membaca ulang beberapa scene di novel ini sembari bertanya, ‘Kapan kamu nulis novel juga, Yantiiiii?’
Dalam kata pengantarnya, Orizuka mengemukakan ide-ide yang berserakan dari hal-hal yang disukainya yang kemudian membuat ia menulis novel ini. Tentang Batu dan Malang, kucing, taekwondo, chapter “Everything but The Rain”, yang kemudian dia gabungkan semuanya dalam satu novel yang menarik dan manis ini. Ah, sungguh saya iri. Saya pun punya banyak hal yang saya sukai yang ingin saya tayangkan dalam sebuah novel namun tak kunjung terealisasi. Heuheu… Baiklah, saya mellow dulu sambil terbaper-baper membaca ulang beberapa scene di novel ini sembari bertanya, ‘Kapan kamu nulis novel juga, Yantiiiii?’
Keren sekali mbak tulisannya, sepertinya okeh juga nih jadi penulis, hehehe.
BalasHapusAduh, belum, Mbak. Saya masih harus belajar buat jadi penulis. Hehehee....
Hapushuhuhu... jadi ingat cerita sabeum taekwondo(jaman smu dulu) ada yang tewas saat fight. Mirip sama kisah ini.
BalasHapusWah, ada kejadian gitu ya? Jangan2 ini terinspirasi dari kejadian nyata ya...
HapusAku selalu kagum sama mereka yang bisa bikin cerita fiksi :' karena sampai sekarang, aku belum begitu bisa nulis begitu :'
BalasHapusDuuuh, penasaran kan sama novelnya :'
Iya, saya pun kagum dengan mereka yang bisa nulis novel. Panjang tapi ga berantakan :D
HapusJadi penasaran nih Mbak. Kelihatannya memang bagus. Saya juga suka karakter yang biasa (tidak sempurna). Aneh rasanya mengetahui ada orang yg sempurna, kaya, baik, ganteng, tajir, pokoknya paket komplit deh.
BalasHapusKayla itu masih punya hubungan apa dengan Faiz? #eh?
Ga ada, Mbak. Faiz temannya Wira saat SMA. Kayla teman saat kuliah. Iya, MBak. Dan Orizuka ini selalu karakternya dibikin biasa2 aja. Cantiknya seadanya aja. Ga tajir. Juga ada kekurangannya.
HapusIya, kapan mulai nulis novel juga? :p
BalasHapusWakakakaa... Novel anak kan sudah, Ki :p
Hapuskarakter yg biasa2 aja justru jadi lebih dekat ke pembaca ya mba, menurutku...
BalasHapusIya, Mbak Kania. Merasa senasib. hehhee...
Hapusdan resensi mba yanti, membuat saya ingin membacanya.
BalasHapuspenasaraaan
Ahahaha.... Mbak Titiin... Ayo dibaca. Bagus lhoo :D
HapusBaca resensi buku itu jadi pengen ikut membacanya.
BalasHapusSemoga terwujud ya, novelnya mba Yanti.
Aamiiin... Makasiiih, Mbak Rochma :D
HapusAku juga baru baca novelnya mbak, ikutan baper juga deh... :D
BalasHapus