Jurnalis adalah profesi yang menarik buat
saya, mungkin karena kesenangan saya di bidang menulis. Setiap membaca karya
fiksi atau menonton drama yang tokohnya adalah seorang jurnalis, saya merasa
bahwa apa yang diperankan oleh sang tokoh adalah salah satu impian saya yang
mungkin tak akan pernah terwujud. Hiks.
Saya akui kesenangan saya pada dunia menulis
berawal dari kegemaran saya pada membaca. Hal yang sama juga diakui oleh Rach
Alida Baheweres. Bedanya, jika menjadi jurnalis hanya sebuah impian buat saya,
sementara buat Mbak Alida, menjadi jurnalis telah menjadi profesi yang ia
geluti hingga sekarang.
Sesuai keinginannya, selepas menamatkan SMA,
Mbak Alida pun mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya
(STIKOSA-AWS) jurusan Jurnalistik. Pada
waktu masih menjadi mahasiswi, beliau pernah menjadi jurnalis
freelance di sebuah tabloid di Jawa Timur. Setelah tabloid tersebut tutup, Mbak
Alida bekerja sebagai kontributor Gatra di Jawa Timur. Setelah bekerja selama 8
tahun di Gatra, Mbak Alida kini bekerja di Kompas TV. Itu loh, TV yang
menyiarkan gelaran Piala Thomas kemarin. Selain sebagai jurnalis, Mbak Alida
juga aktif sebagai pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Mbak Alida |
Keabadian itu diperoleh dari menulis. Maka,
menulislah…
Itulah tagline yang saya dapatkan ketika berkunjung ke blog Mbak Alida.
Di blog tersebut, ada banyak hal yang bisa kita temukan. Keseharian Mbak Alida
sebagai seorang ibu dalam hal pengasuhan dan membersamai anak beliau banyak
diceritakan di blog itu. Begitu juga dengan tantangan setiap hari sebagai
seorang wanita pekerja di ibukota. Di blog Mbak Alida, kita bisa membaca
beberapa cerita tentang drama Commuter Line.
Commuter Line adalah salah satu pilihan transportasi buat warga ibukota.
Dan setiap hari ada banyak sekali warga Jakarta yang memilih pilihan
transportasi tersebut. Karena itulah suasana padat dan penuh sesak dalam Commuter
Line kerap (Atau selalu?) terjadi setiap harinya. Berdesakan, penuh sesak,
sampai-sampai ada yang memejamkan mata seperti terlihat tertidur tapi sambil
berdiri dan tidak terjatuh karena memang antara penumpang satu dan yang lain
tak berjarak.
Kesenangan membaca Mbak Alida juga
dituangkan beliau dalam bentuk resensi buku. Ada beberapa resensi buku yang
bisa ditemukan di blog Mbak Alida. Semenjak kecil Mbak Alida memang sangat
senang membaca, kesenangan yang terus ada hingga saat ini. Bahkan saat sudah
bekerja, kegemaran membaca itu didukung oleh tempat Mbak Alida bekerja karena
ada rubrik resensi buku dan biasanya buku yang diresensi boleh dimiliki. Dengan
begitu Mbak Alida bisa mendapatkan dua hal, memiliki buku tersebut juga
dibayar. Wah, siapa yang tak senang kalau begitu ya? Apalagi buat pecinta buku,
melakukan hal yang disenangi dan dibayar.
Berprofesi sebagai jurnalis juga
membuat Mbak Alida mempunyai banyak cerita terkait pekerjaannya, termasuk
cerita pertama kali menggunakan hijab. Suatu hari Mbak Alida mendapat tugas
liputan di pondok pesantren yang terdampak lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa
Timur pada tahun 2005. Ketika mengetahui akan meliput di kawasan pondok
pesantren, beliau mengenakan pakaian muslimah. Ketika tiba di lokasi, ternyata
pondok pesantren yang akan diliput tidak ada. Usai melakukan liputan, Mbak
Alida bergegas kembali ke kantor. Hijab masih terpasang di kepalanya. Mbak
Alida berpikir, tak mungkin melepasnya begitu saja. “Hijab ini akan selalu
terpasang di kepala saya,” kata Mbak Alida dalam hati. Sejak itulah, Mbak Alida
mantap mengenakan hijab.
Ada
banyak cerita lagi terkait keluarga, hobby, pekerjaan, dan keseharian Mbak
Alida yang bisa didapatkan di blog beliau. Ingin mengenal sosok jurnalis dan
juga blogger, teman-teman bisa mengunjungi http://www.lidbahaweres.com/ atau Twitter dan instagram
di @lidbahaweresr
Alhamdulillaa. Makaish telah mengubek-ngubel blog saya dan menuliskannya dalam tulisan yang apik :). Senang sekali membacanya. Sekali lagi, makasih ya mba :)
BalasHapusSama2, Mbak Alida. Senang mengenal Mbak Alida :D
Hapusnama mba Alida susah ya... hehehe... Saya baru tahu kalau mba ALida itu jurnalis
BalasHapusNama yang unik, Mbak Santi :D
HapusSalut buat mba alida yang bisa berperan sebagai ibu, istri, jurnalis, plus mahasiswa S2 sekaligus. Apalagi kesehariannya masih pakai transportasi umum. Benar-benar tak kenal lelah.
BalasHapusIya, Mbak. Apalagi di ibukota yang sibuk banget ya...
HapusItu dari samping... hidung suami mba alida mancung banget..hhahhaah salah fokus...
BalasHapusunik.. cerita memulai..hijab, hidayah selalu datang begitu saja...
Hihihi... Iya, Mbak. Mancung ya #eh...
HapusBetul, Mbak. Selalu ada jalan datangnya hidayah ya...
Tulisan yang inspiratif mengajak para perempuan untuk maju, bukan hanya melulu sebagai ibu rumah tangga namun harus mampu tampil dengan segala kemampuannya
BalasHapusBetul, Mbak Sri. Agar wanita Indonesia lebih kece. Hehehe....
Hapuswahhh saya juga kepengen jadi Jurnalis :D
BalasHapusPengalaman Mba Alida penuh perjuangan hingga sekarang bisa kerja di Kompas. Keren Kak. Ulasanmu apik Kak. Halus.
Idem, Nyi. Saya juga pengin jadi jurnalis. Hehehe... Makasiiih, Nyi :*
Hapussaya juga kaguumm banget dengan mba Alida setelah ubek2 blognya, banyak kejutan :)
BalasHapusIya, Mbak Ayu. Saya ngubek2 sampai bagian terdalam. Hehehe....
Hapuskeabadian diperoleh melalui menulis. iya banget ya mba Yanti, Soalnya kalau lisan suka lupa atau jadi berubah setelah berpindah dari satu mulut ke mulut lain.. Sedang tulisan tidak.
BalasHapusBetul sekali, Mbak Ira. Kalau tulisan kan bisa dilirik lagi tulisan sebenarnya gimana :D
Hapus