Akhir tahun
2014, saya dibuat ternganga oleh prestasi Mas Bambang Irwanto. Saat itu, di
setiap edisi Bobo selalu ada nama beliau. Duh, saya juga kepengin. Apakah ini
bentuk iri yang positif? :D
Tapi saya
yakin, kalau untuk menjadi seperti Mas Bambang ada yang perlu diusahakan dan
diperjuangkan. Bagaimana bisa saya tidak menulis apa-apa dan berharap dimuat di
Majalah Bobo? Mimpi kali yee... Karena itulah saya kemudian mencanangkan satu
proyek yaitu proyek 40 hari menulis
cernak.
Alasan
lainnya kenapa program itu saya canangkan adalah BaW, komunitas yang saya ikuti
sedang mengadakan audisi naskah buat cernak, salah satu temanya adalah tema
misteri. Tema yang sangat sulit buat saya. Saya berpikir, siapa tahu dengan
menulis setiap hari bisa membuat saya mendapatkan ide untuk menulis cerpen
misteri tersebut.
Dimulailah
program itu... Satu hari, dua hari, tiga hari, berjalan sangat lancar. Ide-ide
yang saya dapatkan saya susun menjadi pointer. Setiap hari saya membuka buku
tulis yang berisi pointer tersebut, kemudian mengeksekusinya menjadi cerpen.
Jadi. Dan tidak langsung saya kirim. Merasa tak sempat karena pikiran saya
hanya menulis, menulis, dan menulis (Sok rajin :p).
Baca juga :
Menyusun Pointer dalam Menulis Cerpen Anak
Sampai hari
ke 11, semuanya berjalan lancar. Saya pun sudah menyelesaikan cerpen untuk
audisi naskah di BaW. Saya kirimkan cerpen untuk audisi itu saja karena deadline sudah di depan mata. Sementara
cerpen-cerpen lain tetap di folder.
Tapi,
program itu terhenti di hari ke 11. Ada satu kejadian yang membuat saya dan
suami harus bolak balik ke Balikpapan. Jarak Balikpapan dari tempat saya
tinggal 90 km, kurang lebih 2 jam perjalanan. Seharusnya sih tidak membuat saya
berhenti dari program tersebut, tapi itulah, kemalasan mulai muncul dan saya
menjadikan bolak balik ke Balikpapan itu sebagai dalih untuk menghentikan
program itu.
Yup. Program
itu terhenti. Di akhir Januari dan di awal Februari, saya mengedit satu-satu
cerpen yang saya tulis dan mengirimkannya ke beberapa media termasuk majalah
Bobo. Mulai bulan September, cerpen-cerpen yang saya kirimkan tersebut mulai
dimuat satu per satu. Alhamdulillah :-)
Melompat ke
tahun 2016. Sekitar bulan Maret atau April atau Mei (kok lupa ya) saya kembali
menjalani episode ke sekian LDM dengan suami. Entah kenapa, saat itu rasanya
beraaaaat sekali. Saat diantar suami ke bandara, rasanya saya butuh pasokan
oksigen. Sesaaak sekali untuk bernapas. Pengin mewek aja tapi malu karena di
tempat umum.
Saya dan
suami pun saling menguatkan. Suami bilang, sibukkan diri saja. Terus menulis.
Ia menantang saya untuk menulis cerpen minimal satu dalam seminggu. Setoran
setiap sabtu ke suami. Saya menyanggupi.
Sabtu
pertama, saya tergopoh-gopoh setor cerpen ke suami. Sabtu kedua, saya mulai
antisipasi walau tetap sih menulisnya jum'at malam. Sabtu ketiga saya tidak
ingin ketetaran lagi, sebelum sabtu saya menyiapkan amunisi. Mencari ide,
menuliskannya dalam bentuk pointer, kemudian mengeksekusinya menjadi cerpen.
Lama-lama
saya keasyikan sendiri. Kemudian ada saja setiap hari cerpen yang saya tulis.
Melihat hal tersebut, saya pun mencanangkan kembali setiap hari menulis cerpen
anak. Kali itu 30 hari saja.
Tapi
semuanya buyar hanya dalam beberapa hari. Waktu LDM saya berakhir untuk
sementara, saya bertemu suami lagi dan saya membiarkan program menulis setiap
hari itu terbengkalai. Setoran cerpen setiap sabtu pun berakhir begitu saja.
Xixixixi.. Dan saya tidak memulainya lagi hingga hari ini walaupun suami sudah
menawarkannya. Bawaannya malas aja.
Namun, dari
2 pengalaman program menulis setiap hari itu saya bisa mengambil beberapa hal. Pertama, kerinduan ternyata bisa
membuat orang lebih produktif. Saat LDM dengan suami, saya cendrung banyak
menulis. Walaupun begitu, enggak pengin juga sih LDM lagi. Xixixi... Berat, bo!
Kedua, menulis setiap hari juga membuat indera kita menjadi lebih peka
dalam menangkap ide. Saat itu, saya rasanya selalu mengaktifkan indera saya
buat menangkap hal-hal kecil di sekitar saya. Hal-hal kecil yang bisa saya jadikan
ide buat menulis cerpen. Kadang kalau tak ada, saya bisa mengomel sama diri
sendiri, "Masa tidak ada yang bisa dijadikan ide sih?" Saya pun mengingat
lagi apa yang saya alami seharian dan mulai.mencari apa yang bisa saya jadikan
ide tulisan.
Maka, ide-ide
itu bisa berasal dari suami yang minta dibikinin kue lempeng menjadi salah satu
penyulut ide Kue Lempeng Nenek. Saya membeli cempedak dan mengupasnya kemudian
tangan saya belepotan getah buah cempedak tersebut, menjadi ide dari Mandai, siKulit Cempedak. Gemes melihat orang begitu mudahnya membagi sesuatu yang belum
pasti kebenarannya di media sosial menjadi ide dari Rani Ditangkap Polisi.
Kejadian-kejadian
lain pun bisa menjadi ide seperti celotehan adik sepupu saya. Kalau biasanya
lewat begitu saja celotehannya, kala itu langsung 'cling' seperti ada yang
menyala dalam kepala saya mendengar celotehan tersebut kemudian merangkainya
menjadi alur cerita.
Dan
sekarang... Saya kangen pada semua itu. Kangen sama menulis setiap hari. Kangen
mendapatkan ide-ide ituuu... Pengin memulai lagi seperti dulu tapi rasanya
kemalasan ini menjerat begitu kuat. Apalagi dalam minggu-minggu ini, malasnya
tidak ketulungan. Bada maghrib tadi suami membuka blog saya dan matanya
menyipit menatap saya sambila bilanh, "Lama banget tidak update?"
Hahaha... Ampuuun... Baiklah... Makanya saya sempatkan update blog malam ini :p
Oh iya..
Saya juga berhasil sedikit melawan kemalasan dengan menulis resensi untuk buku
yang saya baca. Buku karya Putri Pak Amien Rais dan menantu Pak Amien Rais.
Yup, suami istri Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahmadi menulis sebuah buku
berjudul Malam-malam Terang. Buku kece. Resensi saya untuk buku tersebut dmuat
di Tribun Kaltim hari ini, 26 Juni 2016
Ayo dimulai lagiii..
BalasHapusIya, Yang. Mau mulai lagi naah...
Hapus