Saya menonton
drama Korea berlatar sejarah yang lagi nge-hits itu. Akibatnya saya jadi
mencari tahu tentang Sejarah Kerajaan Goryeo di Korea sana. Kemudian
ngebayangin, coba gitu ya kalau sejarah
negeri sendiri dikemas dengan apik layaknya drama Korea. Jadi, kita bisa
mengetahui plus mempelajari sejarah dengan cara yang menyenangkan.
Ngomong-ngomong
tentang sejarah, saya memang penyuka yang namanya sejarah. Jadi, ingat dengan
salah satu novel yang juga dikemas dengan apik dan mengambil tema sejarah yaitu
Perang Bubat. Perang Bubat terjadi saat
sekeluarga penguasa Tanah Sunda dibantai pasukan Gajah Mada.
Judul
novelnya Citra Rashmi karya Tasaro GK. Novelnya sih dibilang
dwilogi, tapi baru satu buku yang terbit. Buku keduanya kapan terbit? Entahlah,
saya sampai menyerah untuk bertanya. Hehehe… Resensi saya untuk buku ini pernah
dimuat di Koran Jakarta pada bulan Februari 2014. Baru ingat kalau resensinya belum saya taruh di blog
ini. Berikut resensi Citra Rashmi.
Happy
Reading ^_^
Cerita Putri
Mahkota dari Tanah Sunda
Oleh : Hairi Yanti
Salah
satu cara untuk membuat belajar sejarah menjadi menarik adalah menghadirkannya
dalam bentuk bacaan atau tontonan. Seperti film Soekarno yang dilayarlebarkan
beberapa waktu yang lalu membuat masyarakat kembali melihat sekaligus
mengetahui perjuangan menjelang kemerdekaan Indonesia. Beragam novelisasi dari
para tokoh berpengaruh di nusantara juga mulai bermunculan dan dapat ditemukan
dengan mudah di toko buku.
Fiksi sejarah
juga meramaikan dunia perbukuan tanah air salah satunya yang berjudul Citra
Rashmi. Citra Rashmi menghadirkan cerita silat kolosal dengan latar sejarah
Nusantara. Latar sejarah yang diambil adalah Perang Bubat. Perang Bubat terjadi
saat sekeluarga penguasa Tanah Sunda dibantai pasukan Gajah Mada. (Halaman 7)
Citra Rashmi
adalah putri mahkota kerajaan Sunda yang menyamar dengan nama Sannaha ketika
dikirim ke luar istana pada saat dia masih kecil. Sannaha diutus menjadi
mata-mata pada sebuah padepokan yang dimiliki dan dipimpin oleh Candrabhaga.
Raja curiga kalau dalam padepokan itu menjadi cikal bakal pemberontakan yang
akan membahayakan istana.
Setelah empat
tahun berguru pada Chandrabhaga, Sannaha dijemput keluar dari padepokan
Chandrabaga. Saat Sannaha tidak ada di padepokan itu, padepokan itu diserang
oleh ratusan prajurit kerajaan. Alasannya, padepokan itu tak hanya melatih para
pemuda yang berpotensi menjadi pemberontak, namun juga menjadi pusat koordinasi
para pemberontak yang menyiapkan maker terhadap raja. (Halaman 69)
Chandrabhaga
dihukum dengan tidak boleh lagi tinggal di kota raja. Dia dan keluarganya pun
menyingkir ke barat dan lantas menetap di lereng Pangrango. Chandrabhaga pun
sadar kalau gadis kecil yang sangat berbakat yang dilatihnya yaitu Sannaha
adalah alat orang-orang istana untuk menyelidiki dan mencari titik paling tepat
untuk menerkamnya. (Halaman 70)
Sannaha juga
pernah diculik pada saat dia masih kecil. Penculikan yang dilakukan oleh
Yaksapurusa, pemberontak kerajaan paling berbahaya di Kerajaan Sunda.
Yaksapurusa memiliki empat orang kepercayaan yang dia latih sejak masih belia :
Elang Merah, Merak Hitam, Harimau Emas dan Kuda Putih. Sannaha dibantu
meloloskan diri oleh Elang Merah. Elang Merah adalah tangan kanan Yaksapurusa
yang dikenal paling hebat dan satu-satunya orang yang memiliki hubungan darah
dengan Yaksapurusa. Elang Merah adalah anak tunggal Yaksapurusa.
Pembebasan
Sannaha yang dilakukan Elang Merah itu merupakan cikal bakal berkembangnya
perasaan di hati Sannaha dan Elang Merah. Perasaan yang menjelma menjadi
sesuatu yang rumit di antara keduanya. Hal itulah yang membuat Elang Merah
selalu hadir di saat Sannaha dalam kondisi terdesak dan tidak pernah
meninggalkan Sannaha. Seperti yang diungkapkan Elang Merah pada Sannaha. “Kau
boleh meninggalkanku, tapi aku tak akan pernah meninggalkanmu.” (Hal 609)
Pada saat
Sannaha beranjak dewasa dia kembali ke padepokan Chandrabhaga yang berada di
lereng Gung Pangrango. Sannaha punya sebuah tujuan dalam rangka kembalinya dia
ke padepokan gurunya itu. Linggabhuana, ayahnya yang bertahta di Kerajaan
Sunda, ingin memerintahkan 1000 pasukan untuk membubarkan padepokan
Chandrabhaga.
Sannaha yang
sudah merasakan ikatan batin antara guru dan murid membuat dia tidak setuju
dengan pengiriman 1000 pasukan. Sannaha tidak ingin ada pertumpahan darah di
padepokan itu. “Paling tidak beri saya kesempatan. Jika saya gagal meyakinkan
Candrabhaga, Saya tak akan menghalangi kehendak Raja,” kata Sannaha memberikan
penawaran pada ayahnya.
Tapi di saat
Sannaha kembali dan ingin menyampaikan maksud ayahnya kepada Chandrabhaga,
ancaman serangan dari Yaksapurusa yang justru menghadang Sannaha. Orang-orang
kepercayaan Yaksapurusa menyusup masuk menjadi murid di padepokan Chandrabaga
yang membuat padepokan itu dalam kondisi terdesak.
Sannaha berada
di garis terdepan yang membantu menyelamatkan padepokan Chandrabaga. Peringatan
Elang Merah agar Sannaha pergi dari padepokan itu tak digubris Sannaha.
Chandrabaga, guru kesayangan Sannaha pun akhirnya tewas pada penyerangan yang
dilakukan orang kepercayaan Yaksapurusa.
Sepeninggal
gurunya, Sannaha bermaksud kembali ke istana untuk memimpin pasukan
menghancurkan Yaksapurusa. Saat dalam perjalanan, Sannaha dihadang oleh
Yaksapurusa dan membuat dia terluka parah. Elang Merah menyelamatkannya dan
membawanya ke satu perkampungan terpencil untuk mengobati racun yang bersarang
di tubuh Sannaha akibat serangan Yaksapurusa.
Saat Sannaha
sudah sembuh dan berhasil kembali ke istana, masalah lain pun kembali
menghadang sang putri mahkota. Masalah intern istana tentang siapa yang berhak
mewarisi tahta sampai pada lamaran dari Raja Wilwatikta yang ingin menjadikan
Sannaha sebagai permaisuri. Konflik dalam istana, lamaran Raja Wilwatikta dan
misi balas dendam yang masih menggebu dalam diri Sannaha yang akan berlanjut ke
buku keduanya.
Buku ini
adalah buku pertama dari dwilogi Citra Rashmi. Bukan cerita yang benar-benar
baru, kisah dalam buku ini pernah terbit secara bersambung di Harian Republika
serta novel berjudul Pitaloka (Cahaya) dan Takhta Nirwana.
***
Resensi Citra Rashmi di Koran Jakarta Februari 2014 |
Data Buku
Judul
: Citra Rashmi
Penulis
: Tasaro GK
Penyunting : Indradya SP
Penerbit
: Qanita
Tebal
Buku : 624 Halaman
Tahun
Terbit
: Cetakan I, September 2013
ISBN
: 9786029225990
Aku jarang membaca fiksi sejarah, mba. KAlau dokumenter begitu aku suka. Tapi jadi penasaran buat baca ini mba :)
BalasHapusSayangnya ini sambungannya entah kapan keluarnya, Mbak. Udah 2 tahun sejak saya baca belum keluar juga sekuelnya. Kan penasaran. hehehe....
Hapus