Selalu menyenangkan ketika melihat karya kita di satu
media untuk pertama kali. Seperti saat cerpen saya berjudul Jera dimuat di Minggu Pagi untuk pertama kali pada hari Jum’at minggu kemarin. Minggu
Pagi adalah sebuah tabloid yang terbit di Yogyakarta
setiap hari Jum’at, masih satu grup dengan harian Kedaulatan Rakyat.
Minggu Pagi menerima cerpen, cerma, puisi, opini, dan
juga esai. Saya mengirimkan Cerma atau Cerita Remaja ke sana pada tanggal 12
Oktober 2016 dan kabarnya dimuat di edisi tanggal 23 Oktober 2016.
Syarat Cerma 3-4 halaman, spasi 1,5 font TNR (Times New
Roman), kirim ke email ini: we_rock_we_rock@yahoo.co.id. Saya tidak mendapat
konfirmasi apa pun ketika cerpen ini dimuat. Penampakan cerma ini saya dapat
dari Mas Sutono Suto. Terima kasih sekali, Mas ^_^
Cerpen ini sendiri adalah hasil belajar saya di
kelas Penulis Tangguh II bersama Mbak Nurhayati Pujiastuti. Terima kasih buat
segala ilmunya, Mbak Nur J
Berikut adalah cerma saya yang dimuat di sana.
Happy Reading ^_^
Jera!
Oleh : Hairi Yanti
Kabut itu ada di
mata Agus. Sungguh, Keyna melihatnya. Pandangan Keyna masih tertuju pada
punggung Agus yang menjauh darinya. Perasaan bersalah menyusup pelan di hati
Keyna.
"Maaf ya, Gus, aku nggak bermaksud
bikin kamu sedih," Keyna berkata pelan. Tentu saja Agus tidak bisa
mendengarnya karena jarak mereka sudah jauh. Keyna berbalik, ada Nesha yang
sudah berdiri di belakangnya.
"Apa aku
jahat bikin Agus gitu, Sha?" Nesha terlihat berpikir sejenak, kemudian
menggeleng.
"Kamu nggak
salah kok, Key. Salah Agus yang bikin kamu menunggu sekian lama."
Keyna menghela
nafas mendengarnya. Iya, Nesha betul, Keyna sudah terlalu lama menunggu. Dan
penantian itu bukan penantian yang sebentar. Rumah di ujung jalan menjadi
saksi. Anak-anak kecil yang berlarian sambil memeluk Keyna juga jadi saksi.
Pohon, rumput dan dedaunan juga bisa menjadi saksi. Ah, sudahlah, Keyna
membatin, tak perlu dia menyebut saksi-saksi lain.
"Sekarang
apa rencana kamu, Key?" Keyna mengerutkan kening mendengar pertanyaan
Nesha.
"Melanjutkan
semua yang sudah kita rencanakan," jawab Keyna mantap beberapa saat
kemudian. Nesha tersenyum puas mendengarnya.
***
Kekhawatiran
Keyna terbukti. Sudah tiga hari ini mata Keyna selalu tertuju ke ujung jalan.
Berharap akan menemukan sosok Agus dalam pandangannya. Tapi selalu tidak ada Agus
di sana. Keyna sampai bosan menjawab pertanyaan anak-anak kecil yang selalu
berlarian ke arah Keyna kalau dia datang. Mereka selalu bertanya tentang
ketidakhadiran Agus di sana.
“Sha, seharusnya
aku relakan aja kali, ya. Jadi Agus bisa datang lagi seperti biasa,” bola mata
Nesha terbeliak mendengar perkataan Keyna.
“Ya Ampun, Key,
jangan lemah hati dong. Ini demi kebaikan kita bersama,” cetus Nesha. Keyna
hanya mengangguk pelan, mencoba menguatkan hatinya.
***
“Key,” Nesha
menarik tangan Keyna. Sontak Keyna menghentikan langkahnya.
“Coba lihat
itu,” Keyna mengikuti arah telunjuk Keyna. Ada keterkejutan di mata Keyna. Keyna
melihat Agus yang sedang melayani pembeli di sebuah toko.
“Duh, Sha. Ini
pasti gara-gara hal itu deh. Aku jadi nggak tega.” Air muka Keyna yang tadi
ceria berubah jadi murung. Ingatan Keyna melayang ke masa setahun yang lalu.
“Itu penipuan, Gus.” Nesha berkata yakin.
Agus mendengus, apa yang dikatakannya tidak dipercaya Nesha sedikit pun.
Pandangan Agus beralih pada Keyna yang hanya memandangnya ragu.
“Itu penipuan.
Cuekin aja kalau nggak kamu bisa nyesal,” cetus Nesha lagi seraya menjauh
meninggalkan Agus dan Keyna.
“Key,” Agus
menatap Keyna. “Coba kamu lihat, di sini ada namaku, formulir yang aku isi
sendiri juga ada surat keterangan dari notaris.” Agus menyodorkan lembaran
kertas yang ada di tangannya pada Keyna. Ada nama Agus di bawah nama pemenang
yang berhak mendapatkan mobil. Agus yakin itu bukan penipuan karena dia memang
pernah mengikuti undian berhadiah itu.
“Dan waktunya
sudah mepet, Key. Hanya sampai siang ini atau hadiah akan hangus. Please, Key. Aku janji akan segera
mengembalikan uang itu.” Agus memandang Keyna dengan tatapan memohon. Keyna meragu,
Agus meyakinkan lagi, Keyna mengangguk setuju.
Sejumlah rupiah
yang rencananya akan mereka belikan berkardus-kardus buku buat taman bacaan
untuk rumah di ujung jalan berpindah tangan. Agus tersenyum senang, berlari meninggalkan
Keyna. Sesaat setelah berlalunya Agus, Nesha datang dan menepuk jidatnya
menyadari sesuatu yang salah telah terjadi.
Sehari, dua
hari, seminggu, Agus menunggu hadiah itu dikirimkan tapi penantiannya sia-sia.
Nesha mengomel panjang pendek melihat kelakuan Agus. Memberitahu kalau dia
sudah menelpon pihak pemberi hadiah yang resmi dan mendapatkan informasi kalau
semua hadiah sudah diserahkan tanpa dipungut uang sepeserpun.
“Aku akan
kembalikan uang itu, Key. Aku janji,” kata Agus setelah sebulan berlalu saat
dia sudah meyakini kalau dia memang tertipu.
“Tak apa, Gus. Tidak usah diganti.
Ayah sudah bersedia menjadi donatur dengan mengganti sebesar uang kemarin kok.”
Keyna berkata sambil tersenyum. Memberi simpati ke arah Agus. Tapi, Nesha di
samping Keyna melotot.
“Nggak bisa.
Semua harus Agus ganti!” Tegas Nesha. Agus mendelik ke arah Nesha.
“Keyna yang
ngasih, kenapa kamu yang nggak rela?” Protes Agus.
“Walau uang itu
udah diganti tapi beda, Gus,
dengan uang yang melayang. Itu uang dari para donatur yang sudah menitipkan
uangnya pada kita. Kamu harus ganti.” Nesha bersikukuh diiringi tatapan tak
tega dari Keyna.
“Kamu lak-laki
kan, Gus? Kemarin bilang hanya
pinjam. Janji sebagai laki-laki kalau pinjam ya harus dikembalikan.” Ego Agus
tergores mendengar perkataan Nesha. Agus berlalu dari Nesha dan Keyna sambil
berkata akan segera mengembalikan uang itu.
Setahun berlalu,
uang itu belum juga kembali pada Nesha walau rumah baca yang mereka kelola
sudah dibuka. Dipenuhi anak-anak kecil yang selalu minta dibacakan dongeng
bergantian oleh mereka.
“Yuk,
ah. Agus bisa geer kalau tau dia kita perhatikan.” Nesha menepuk pundak Keyna.
Membuyarkan lamunan Keyna yang masih terpaku menatap Agus di sebuah toko. Keyna
berlalu mengikuti langkah Nesha.
“Agus
beberapa kali mencoba pinjam uang ke teman kita yang lain, Key. Karena dapat
hadiah ini lah, dapat telpon hadiah itu lah. Makanya kamu harus nagih terus
sama dia. Biar jera.” Keyna menghela nafas mendengarnya. Mencoba
mengesampingkan rasa tak tega karena Agus harus bekerja setelah pulang sekolah.
Selamat bekerja, Gus, bisik Keyna dalam
hati.
.:.Selesai.:.
Saya tahu orang beneran yang kayak si Agus inih. nyebelin dan emang harus dibikin kapok. Selamat ya Mbak Yanti! :D
BalasHapusIya, Mas Dani. Harus dibikin jera. Hehehe... Makasiiih, Mas :D
HapusEh lupa tadi udah kasih ucapan selamat apa belum, selamat ya Mbaaak Cermanya sudah dimuat. :D
BalasHapusUdaaaah ucapan selamatnya. Makasiih sekali lagi, Mas :D
HapusSelamat, Mba. Dari FLP mana? Salam kenal ya..
BalasHapusSempet terkecoh dengan masalah di antara Agus dan Key. Bagus
Oh, saya bukan anggota FLP. Itu ada logo FLP sekadar buat kepentingan lomba. Hehehe.... Terima kasih ya. Salam kenal :D
HapusHayo bikin lagii..:D
BalasHapusKasih ide dong :D
HapusWah pas banget nih Agus lagi populer hehe, Agus oh Agus... ayo semangat bekerja :)
BalasHapusAhahaha.... Iyaaa. Kan di grup sering ngomongin Agus. Xixixixi...
Hapusselamat mbaaak :) hehe
BalasHapuswaaah aku kapan yaa cerpennya bisa dimuat dimedia uhuhu
Terima kasih, Mbak. Ayo mbak nulis dan kirim juga :D
HapusWah selamat mbak, makasih infonya
BalasHapusAlhamdulillah, Terima kasih, Mbak Tia :-)
HapusKeren,Mbak. Jadi ingin coba mengirim tulisan juga. Terima kasih sudah berbagi :-)
BalasHapus