“Kacamata sudah
tidak nyaman,” kata saya ketika bersama suami berjalan-jalan di
mall di Banjarbaru. Ujung mata saya melirik ke arah optik yang ada di mall
tersebut.
“Ayo bikin
kacamata baru.” Suami menawarkan. Namun, saya balas dengan gelengan kepala.
“Nanti saja kalau
cerpen ke-20 dimuat di Bobo atau ada satu cerpen yang dimuat di Gadis,” ujar
saya ke suami. Saat itu cerpen yang dimuat di Bobo ada 14, sementara di Gadis
memang belum satu pun cerpen saya dimuat di sana. Tapi, ada satu cerpen yang
tengah berjuang di meja redaksi Majalah Gadis.
Ada dua
ketidaknyamanan yang saya rasakan terkait kacamata yang saya pakai saat itu. Pertama, saya merasa minusnya
bertambah. Untuk membaca tulisan atau melihat objek yang jauh sudah tidak
terlalu jelas. Paling terasa saat menonton Indonesia GPG di Balikpapan, saya
tidak terlalu jelas melihat raut wajah atlet di tengah lapangan. Hehehe…
Yang kedua,
kacamata ini kacanya mudah sekali berembun dan embunnya itu akan lama
hilangnya. Misalkan saat saya keluar dari udara lembab ke udara normal, maka
kacamata akan berembun seperti baru keluar dari ruang ATM yang berAC atau dari
mobil yang ber-AC.
Tadinya saya pikir itu karena lensanya, namun
belakangan saya mengetahui salah satu penyebabnya karena jarak antara kaca dan
mata saya begitu sempit. Kacamata saya itu tipikal kacamata yang penahan
hidungnya itu menjadi satu bagian dari frame.
Sehingga jarak antara mata dan lensa begitu dekat. Kalau kata suami sih, lensa
berpengaruh juga. Ketika melihat ketidaknyamanan saya memakai kacamata, suami
selalu menawarkan untuk mengganti. Namun, saya tetap bertahan pada keputusan
saya kalau dua keadaan di atas yang akan membuat saya setuju melangkah ke
optik.
Pada akhirnya, cerpen saya dimuat di Majalah Gadis pada pertengahan Oktober. Jadi, saatnya kacamata baru. Horeeeee…..
Kacamata dan Gadis |
Diantar suami, saya menuju optik di
Balikpapan. Seperti kebiasaan pada umumnya yang pertama kali dilakukan adalah
mengukur minus mata saya. Oh ya, sebelumnya pihak optik mencari tahu minus mata
di kacamata sebelumnya. Kata mereka, kacamata minus saya keduanya berukuran 1,75.
Saya angguk-angguk saja karena memang lupa berapa minus mata saya. Seingat saya
minus mata saya memang tak pernah lebih dari angka 2. Biasanya ada perbedaan di
mata kiri dan kanan, juga ada silinder. Tapi, kata petugas optik, keduanya sama
1,75 dan tanpa silinder.
Selanjutnya mata saya yang diukur. Di sebuah
mesin otomatis gitu, dan saya kaget ketika disebutkan minus mata saya lebih
dari angka 3. Oh… Masa sih sebegitu drastis kenaikannya? Jadinya, diperiksa
lagi dengan cara manual. Di mana saya diminta membaca objek huruf dan juga ada
tes mata silinder. Dan ternyata memang minus mata saya menyentuh angka 3,25
untuk sebelah mata saya, dan 2,75 untuk mata sebelahnya lagi. Huhuhu…. Saya
kaget mendengarnya.
Apa hendak dikata kalau kata Bung Bruto yang
sering menjadi komentator di pertandingan bulutangkis. Saya harus menerima
kenyataan itu dan selanjutnya memilih frame
yang cocok. Lumayan lama untuk urusan memilih frame ini. Menyeimbangkan antara kenyamanan, kecocokan di wajah,
dan budget. Hahaha… Setelah memilih
lumayan lama, akhirnya saya mendapatkan yang terpilih. Kacamata tidak langsung
jadi karena ada request khusus di
lensa tersebut. Saya harus menunggu seminggu untuk mendapatkan kacamata baru.
Kamis kemarin, bertepatan dengan hari
blogger, kacamata baru saya ambil dan langsung mengenakannya saat itu juga.
Begitu mencobanya, kembali saya menemukan sensasi saat pertama memakai kacamata
baru. Dunia menjadi lebih terang. Biru terlihat lebih biru dari biasanya, hijau
terlihat lebih hijau dari biasanya. Sensasi yang hanya bisa dirasakan oleh mereka
yang berkacamata.
Sejauh ini, kacamata baru saya ini enak
dipakai. Tidak bikin sakit di bagian telinga karena memang ringan sekali.
Kacamata berembun yang menjadi keluhan saya juga tidak terjadi lagi.
Alhamdulillah…..
Namun, minus mata yang melonjak naik ini juga
menjadi peringatan buat saya untuk menjaga kesehatan mata. Jangan sampai
minusnya bertambah lagi. Huhuhu…. Yuk, mari kita jaga kesehatan mata.
Berhubung kacamata ini saya dapatkan saat
cerpen saya dimuat di majalah Gadis, maka kita kasih nama saja kacamata
tersebut dengan nama Gadis. Hahaha…..
Aku juga pake kacamata mba minusnya melejit terus tapi karena dulu sering pake softlense makanya saya coba mengecilkan minusnya hahaha menolak minus tinggi :p
BalasHapusSaya belum pernah nyoba pakai softlense, Mbak. Takut masangnya. Padahal kedua kakak saya keduanya pernah pakai softlense. Saya satu2nya yang enggak pernah. Kami 3 bersaudara mata minus semua :D
HapusWelcome gadis.. :))
BalasHapusGadis dan Opal ya ;-)
HapusRejeki gak kemana ya Mbak, pas butuh kacamata baru pas ada rejeki.
BalasHapusIya, Mbak. Alhamdulillah :D
HapusYeayyy... terbit di Gadis. Mantap, mba. Saya udah agak lama juga nggak nulis fiksi :D Kacamata untuk tukang nulis mah emang penting banget ya. Kalau udah nggak nyaman mesti diganti biar nggak ganggu baca tulisan lama2. Selamat, mba :)
BalasHapusIya, Mbak. Penting banget. Lebih penting lagi kalau keluar rumah. Berasa ada yang kurang kalau ga pakai kacamata. Hehehe....
HapusDari pengalaman pribadi, kacamata yang selalu dipakai selama beraktivitas bisa mempertahankan minusnya alias ga cepet nambah. :-)
BalasHapusMbak Sugiii... Sepertinya gituu. Saya suka lepas pasang. Di rumah jarang pakai kacamata. Ihiks. Harus dipakai terus ya..
HapusLuar biasa mbak, cerpennya sdh langganan tayang di bobo. Dan sdh antri di Gadis pula.
BalasHapusEh, tinggalnya di Banjarbaru ya. Saya pernah kesana, suka dengan pasar permata atau apa itu ya, yg banyak jual2 bross dan batu.
Ga langganan, Mbak. Ini lama ga dimuat di Bobo tulisan saya. Hehehe... Tapi saya aminkan aja. Moga beneran langganan dimuat di sana.
HapusEnggak, Mbak. Saya ga tinggal di Banjarbaru. Ke Banjarbaru jalan-jalan aja. Kakak saya yang tinggal di sana. Pasar permata sepertinya Cahaya Bumi Selamat ya, Mbak. Itu di Martapura. Tapi Martapura sama Banjarbaru dekat banget. Sepelemparan batu aja :D