Seorang ayah memeriksakan anak keduanya ke
dokter. Anak bungsunya itu sering jatuh mendadak. Berlari dan tiba-tiba jatuh.
Hal itu mengkhawatirkan ayahnya. Sementara anak pertamanya adalah sumber
kebahagiaan buat sang ayah karena selalu tertawa. Siapa sangka, selalu
tertawanya itu adalah sesuatu yang tidak beres dalam dunia medis. Ada tumor di
kepala sang anak yang menekan bagian hipotalamus. Hipotalamus mengontrol
segalanya, termasuk emosi. Jadi, saat tertawa tanpa alasan itu adalah bentuk
kejang yang disebut kejang gelastik. Kedua anak itu harus mendapatkan
penanganan medis.
Tentu saja,
setiap orangtua ingin mengusahakan yang terbaik buat buah hatinya. Namun,
masalah biaya menjadi kendala. Sang ayah hanya seseorang yang kerja ini itu dan
bergaji kecil. Mencoba meminjam sana sini pun tak ada yang berkenan. Sementara
sang ibu sudah berpulang. Minta jaminan kesehatan ke pemerintah juga tak
dikabulkan. Ada jaminan kesehatan buat anak-anak tapi untuk anak yatim piatu.
Sang ayah yang putus asa kemudian berpikir
untuk bunuh diri, dengan begitu anaknya akan menjadi yatim piatu dan bisa
menerima bantuan untuk dioperasi. Syukurlah bunuh diri sang ayah dapat dicegah.
Dengan dibantu seorang dokter di Rumah Sakit tersebut, ada jalan keluar untuk
permasalahan biaya kedua anak tersebut.
Cerita di atas
adalah salah satu cerita yang ada dalam drama Korea berjudul Doctors. Memang
terjadi di Korea, tapi itu menjadi cerminan kalau masalah kesehatan adalah
masalah pelik buat orang yang tak berpunya. Tak sedikit cerita dari negeri ini
yang mengalami hal serupa, atau bahkan lebih parah.
Dalam bentuk
tekanan yang lebih sederhana dari cerita di atas, saya pun pernah mengalaminya.
Saat salah satu keluarga inti sakit dan membutuhkan biaya yang lumayan besar.
Hati sudah sedih melihat yang sakit, pikiran pun menjadi bertambah karena uang
semakin menipis. Sementara setiap hari, ada saja rupiah yang harus dikeluarkan.
Memang ada jaminan kesehatan tapi tak semua biaya ter-cover dengan jaminan tersebut.
Di Apotek, di
mana setiap hari harus menebus obat, infus, dan sebagainya, saya pun melihat
wajah-wajah yang jauh dari keceriaan. Ketika dipanggil nama, dan disebutkan
berapa uang yang harus dikeluarkan, tak jarang saya mendengar helaan napas,
kening yang berkerut, kemudian terucap “Tebus separuh dulu ya, Bu.” Hal itu
dikarenakan mereka tak punya cukup uang buat menebus seluruh resep.
Huff… Nyesak ya?
Bicara tentang sektor kesehatan,
kita harus tahu kalau keberhasilan sektor kesehatan adalah tanggung jawab
bersama. Negara
berkewajiban menjamin kesehatan rakyatnya sesuai amanah UUD 1945 dan UU
Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Sedangkan permasalahan yang saya
ceritakan di awal tulisan, ini merupakan salah satu persoalan akut atau krisis
dalam bidang kesehatan dan pendidikan kedokteran di Indonesia yang dapat
menganggu sendi-sendi kehidupan bernegara, yaitu Krisis Pelayanan Kedokteran di Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Krisis Pelayanan Kedokteran di Era Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN)
Tentang JKN ini, IDI
a.k.a Ikatan Dokter Indonesia menyampaikan masukan terkait kebijakan sistem
pelayanan kesehatan yang masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah, di
antaranya :
Pertama : IDI menyatakan dukungan penuh
terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Menyadari bahwa Dokter
adalah garda terdepan pelayanan jaminan kesehatan nasional, IDI perlu
menyampaikan beberapa catatan :
1. Alokasi pembiayaan untuk obat bagi pasien yang terlalu kecil
2. Pelaksanaan JKN memerlukan harmonisasi kebijakan dan pengawasan
termasuk dalam kaitannya dengan otonomi daerah.
3. Sinkronisasi aturan BPJS dengan standar profesi juga harus menjadi
perhatian bersama.
Kedua : IDI mendukung penuh program prioritas
program pemerintah untuk meningkatkan fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Terkait dengan hal tersebut IDI menyampaikan situasi bahwa sarana prasarana
pelayanan untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) masih minim terhadap
terutama ketersediaan obat, alat kesehatan,
dan sarana penunjang Iain.
Ketiga : Dukungan pembiayaan kesehatan yang
masih di bawah standar pembiayaan profesi.
Keempat : Pembebanan pajak alat kesehatan yang
sangat tinggi menyebabkan beban biaya di fasilitas kesehatan juga tinggi.
Kelima : Kebijakan masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) di sektor kesehatan perlu diikuti dengan uapaya untuk mempertahankan
kedaulatan dan kemandirian bangsa.
Semua permasalahan diatas berujung membengkaknya
biaya yang harus dikeluarkan BPJS, pelayanan substandar, tingginya angka
rujukan dan bahkan berpotensi besar meningkatkan hilangnya nyawa manusia yang
tidak ternilai harganya. Semoga bisa ditangani dengan baik sehingga situasinya
tidak karut marut lagi.
Krisis Pendidikan Kedokteran
Persoalan akut lainnya di sektor kesehatan adalah Krisis Pendidikan Kedokteran. Sudah
menjadi sesuatu yang kita tahu kalau pendidikan Kedokteran itu mahal. Dulu,
saya sempat terpikir untuk masuk Fakultas Kedokteran dan mengambil jurusan
profesi dokter. Tapi, kandas karena saya menghitung-hitung biaya yang
dikeluarkan orangtua saya pasti tak akan sedikit dan saya tidak tega
melihatnya. Karena itulah keinginan menjadi dokter saya pendam saja dalam hati
dan ikut arus masuk ke jurusan Teknik Sipil.
Menurut IDI, mahalnya biaya pendidikan Kedokteran
ini ujungnya akan berdampak pada mahalnya biaya kesehatan yang akan ditanggung
oleh masyarakat. Upaya pemerintah membuka program studi Dokter Layanan DLP
sesuai UU No. 20 Th 2013 tentang Pendidikan Kedokteran akan menambah panjang
perjalanan pendidikan seorang dokter setelah lulus dan menjalani internship
(magang). Selain pemborosan, program ini sangat tidak tepat sasaran jika memang
pemerintah berniat memperbaiki pelayanan primer untuk mendukung program JKN
(Jaminan Kesehatan Nasional). Pemaksaan program ini rentan menimbulkan konflik
horizontal antar dokter di layanan tingkat pertama.
Krisis Penyebaran Dokter yang Tidak Merata dan Kurangnya Dokter
Spesialis
Krisis bidang kesehatan lainnya adalah Krisis penyebaran dokter yang tidak merata
dan kurangnya dokter spesialis. Sebagai bagian masyarakat yang tinggal di
daerah, saya melihat sendiri tentang kekurangan dokter spesialis ini. Dulu, di
kampung halaman saya jarang sekali ada dokter spesialis. Sekarang sih udah agak
mendingan daripada dulu.
Mengapa Dokter Spesialis di Indonesia selalu
kurang? Ini karena Sistem pendidikan spesialis di lndonesia yang sifatnya
"University Based " mengakibatkan program pendidikan spesialis di
lndonesia menjadi mahal dan kursinya terbatas sesuai jumlah fakultas kedokteran
di lndonesia. Biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan kursi ini
mengakibatkan sangat sedikit dokter umum yang bisa meneruskan pendidikan
spesialisasi.
Kondisi ini berbeda jauh dengan negara lain di
dunia yang menerapkan sistem " Hospital based" dokter umum yang ingin
memperdalam spesialisasi tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, mereka
justru dibayar karena kerjanya selama proses pendidikan. Sistem pendidikan
dokter spesialis seperti ini semestinya menjadi alternatif solusi bagi
lndonesia untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis di lndonesia.
Sedangkan untuk masalah penyebaran dokter di
Indonesia, di mana banyak dokter Dokter lndonesia lebih memilih untuk hidup di
daerah perkotaan dan minimnya yang ingin bertugas ke daerah. lkatan Dokter
lndonesia berpandangan diantara alasannya adalah minimnya infrastruktur dan dukungan
sarana prasarana untuk mencapai standar pelayanan sehingga berpotensi pada
rendahnya mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat lndonesia serta rendahnya penghargaan
/ insentif daerah yang diberikan.
Aksi Damai IDI
Aksi Damai IDI |
Melihat kondisi-kondisi diatas, Pengurus Besar IDI berdasarkan aspirasi dan dukungan seluruh komponen lDl di seluruh Indonesia melakukan Aksi Damai pada tanggal 24 Oktober 2016 dengan tujuan untuk memberi dukungan sekaligus masukan kepada pemerintah agar tercipta perbaikan sistem kesehatan dan sistem pendidikan kedokteran yang berujung kepada perbaikan kualitas kesehatan di masa depan. 24 Oktober dipilih karena merupakan ulang tahun IDI yang ke-66.
Dalam aksi damai itu, IDI menyampaikan beberapa
pernyataan sikap seperti di bidang pendidikan
Kedokteran, yaitu :
1. Program studi Dokter Layanan Primer (DLP) dengan segala bentuk
pelaksanaannya bertentangan dengan UU Praktik Kedokteran.
2. Program studi DLP mengingkari peran dokter dari hasil pendidikan
fakultas kedokteran se-lndonesia.
3. Pendidikan kedokteran saat ini semakin mahal, lama, dan tidak
pro-rakyat.
4. lnstitusi pendidikan kedokteran saat ini telah bergeser dari lembaga
pendidikan profesi yang luhur menjadi profit oriented.
Sementara di bidang
pelayanan kesehatan, pernyataan sikap IDI adalah :
1. Rakyat membutuhkan perbaikan sarana prasarana, obat dan alat
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer
2. Distribusi dokter saat ini belum proporsional
3. Diperlukan perbaikan sistem pembiayaan kesehatan
Untuk poin Menolak Program Studi Dokter Layanan Primer
(DLP ), IDI mengutarakan beberapa rekomendasi,
yaitu :
a) Meningkatkan kualitas dokter di pelayanan primer dengan program Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) terstruktur.
b) Perbaikan proses akreditasi pendidikan kedokteran akuntabel, adil dan
transparan.
c) Menghadirkan pendidikan kedokteran yang berkualitas dan terjangkau .
Sebagai masyarakat, tentu saja kita berharap ada
perbaikan dan peningkatan kuliatas di sektor kesehatan. Sehingga bisa
terwujudnya pelayanan kesehatan yang pro rakyat, murah, dan mudah diakses.
Jadinya, tidak ada lagi masyarakat yang merasa terbebani ketika harus berobat
ke dokter spesialis apalagi ke dokter umum atau pun saat dirawat di Rumah
Sakit.
Semoga aksi damai dgn mengusung perubahan ini, didengar dan diseriusi oleh pemerinrah ya Mba. Aamiin...
BalasHapusAamiin, Mbak. Moga sektor kesehatan membaik dari segi kualitas :-)
HapusKita sama2 berharap semoga kedepannya bisa semakin baik ya mbak.. Dan mungkin biaya berobat (khususnya praktek pribadi) lebih mahal karena biaya kuliah para calon dokter/sp memang mahal ya?
BalasHapusIya. Biayanya mahal, Mbak. Semoga semakin membaik untuk ke depannya. Aamiin...
HapusIya pendidikan kedokteran itu macam harga satu rumah mewah ya. Anyway semoga IDI makin membawa perubahan positif untuk kesehatan di Indonesia ya.
BalasHapusAamiin... Iya, Mbak. Harusnya bisa dijangkau siapa aja ya. Sayang kalau ada yg pintar dan mau jadi dokter tapi tidak didukung finansial yang kuat.
HapusTernyata Indonesia masih belum sehat ya ... semoga semua bekerja sama demi kesehatan Indonesia.
BalasHapusAamiin.. Semoga lebih baik ya, Cikgu :-)
Hapus