Tidak ada yang
menginginkan rumahnya terbakar. Tidak ada. Tapi, ada hal yang tak bisa kita
tolak kehadirannya termasuk musibah rumah terbakar. Saya mengalaminya. Dulu.
Saat masih berseragam putih biru. Di suatu malam yang tiba-tiba berubah menjadi
sendu.
Malam itu biasa,
seperti malam-malam sebelumnya. Yang menjadikannya tak biasa hanyalah saya
ingin bersantai dengan menonton TV sepuasnya di malam itu. Malam itu malam
liburan sehabis pembagian raport. Saya tentu saja bebas dari yang namanya
belajar. Maka, selepas makan malam saya secepat kilat melaksanakan tugas
mencuci piring agar niatan untuk santai menonton TV segera terlaksana.
Namun, manusia
hanya bisa berencana. Malam itu saya dikejutkan dengan suara tiang listrik yang
dipukul dengan batu. Suaranya mampu membuat jantung berdetak lebih cepat dari
biasanya karena tahu itu pertanda ada bencana kebakaran. Seisi rumah yang
langsung menyeruak keluar. Dimulai dari abah, kemudian kakak saya. Saya hanya
terpaku di ambang pintu. Entah kenapa, perasaan tak nyaman langsung menyerbu
hati saya detik itu juga.
“Parak. Lakasi kita basisimpun,” ujar
abah saat masuk ke dalam rumah. Mengabarkan kepada kami kalau lokasi kebakaran
dekat dengan rumah kami dan meminta seisi rumah bersegera mengemas
barang-barang untuk diselamatkan. Saya gemetar mendengarnya namun gegas memaksa
diri untuk bergerak. Mengemasi barang-barang, berpacu dengan kecepatan datangnya si jago
merah. Walaupun dalam hati dan mulut saya terus berdoa agar api tak menjalar ke
rumah kami.
Sebenarnya lokasi
awal kebakaran cukup jauh dari rumah kami. Sekitar 150 atau 200 meter. Namun,
kondisi rumah yang saling berdempetan dan terbuat dari kayu membuat kemungkinan
api sampai ke rumah kami cukup besar. Saya pun menyambar tas sekolah saya,
memasang sepatu sekolah, kemudian mengambil sepeda serta membawanya lari begitu
saja. Sepeda saya letakkan di depan toko paman saya dan setelahnya saya kembali
berlari ke rumah.
“Pakai ini.
Jangan dilepas,” perintah mama saya begitu saya sampai di rumah. Sebuah ransel
diserahkan kepada saya, saya tau isinya merupakan surat-surat penting yang sangat
urgent untuk diselamatkan. Listrik
sudah padam saat itu, ada beberapa senter dan nyala lilin yang membantu
penerangan. Seprai dibentangkan di tengah ruangan. Kami semua bergegas
melemparkan barang-barang ke atas seprai. Setelah penuh, seprai diikat dan
dibentangkan lagi seprai berikutnya.
“Selamatkan
barang-barang dagangan. Selamatkan yang bisa jadi duit.” Abah memberikan
komando.
Rumah saya memang
rumah toko. Di mana, di depan rumah adalah toko tempat usaha keluarga berjalan.
Di beberapa ruas rumah juga banyak barang-barang jualan. Abah dan kakak yang
memang mengurus toko langsung berbagi tugas. Yang satu menuju gudang tempat
penyimpanan ban-ban jualan toko kami. Yang lain mengemasi barang-barang di toko,
diutamakan yang paling mahal yang lebih dulu dikemasi.
Tak lama beberapa
bantuan datang. Paman saya datang untuk membantu menyelamatkan motor. Ada juga
pelanggan setia toko kami yang datang ke rumah buat membantu mengamasi
barang-barang. Suara riuh terdengar dari luar. Tetangga-tetangga yang ribut
menyelamatkan harta masing-masing.
“Anti, jaga
barang.” Mama memberikan perintah kepada saya. Saya tak bisa berbuat apa-apa
selain mengangguk setuju. Maka, saya pun keluar rumah menuju tempat yang agak
jauh di mana barang-barang yang sudah dikemas diletakkan. Saat menjauh saya
memandang rumah tempat saya dilahirkan itu dengan perasaan yang entah. Saya
sedih, tapi juga berharap bahwa esok hari saya masih bisa tidur di rumah
tersebut. Berharap sangat besar agar rumah saya selamat dari amukan si jago
merah.
Kemudian yang
saya lakukan hanya menunggu. Barang-barang sesekali datang dan diletakkan di
dekat saya. Lalu yang meletakkan bergegas kembali ke rumah untuk membawa barang
berikutnya. Saya melihat amukan si jago merah kian membesar, menguasai langit
dengan warna merahnya yang mengerikan.
“Kita pindah, api
semakin mendekat.” Kakak saya tiba-tiba muncul. Memerintahkan kalau tumpukan
barang-barang akan segera dipindahkan. Saya pun hanya bisa menurut. Tapi saya
melihat ada banyak sekali bantuan. Rupanya bala bantuan telah datang.
Kakak kedua saya adalah santri di salah satu
pondok pesantren. Begitu pun dengan abah saya yang punya hubungan sangat baik
dengan pemimpin pondok pesantren tersebut. Jadi, di malam itu dikerahkan
santri-santri dewasa untuk membantu mengemasi barang-barang di beberapa rumah,
salah satunya rumah saya. Dengan dibantu para santri tersebut, tumpukan
barang-barang dipindahkan.
Saya semakin jauh dari rumah. Hanya melihat
kobaran api yang tidak saya tahu sudah sampai di mana. Tak lama, mama pun
datang menemani saya. Lidah saya kelu untuk bertanya apa rumah sudah dilahap si
jago merah atau sudah selamat. Saya dan mama hanya terdiam menyaksikan kobaran
api dari kejauhan.
Kemudian kakak
saya datang menghampiri saya dan mama. “Rumah kita sudah habis,” kata kakak
saya lemah. Air mata pun langsung menderas keluar dari mata saya. Mama
menepuk-nepuk pundah saya. “Ikhlaskan,” kata mama. “Banyak barang yang bisa
diangkut kok,” ujar beliau lagi. Saya hanya mengangguk dengan lemah walau
rasanya sediiiih sekali.
“Kita pindah
lagi. Takutnya api semakin dekat,” kata kakak saya. Masih dibantu oleh para
santri, kami pun memindahkan barang-barang menuju halaman sebuah SD. Malam
semakin larut, bahkan saat itu sudah lewat tengah malam.
“Ma, kita tidur
di mana?” Saya bertanya. Mama menggeleng. Kami kehilangan rumah tempat kami
bernaung dari panas dan hujan. Untuk pertama dalam hidup saya, saya merasakan bagaimana
perasaan tak memiliki rumah sebagai tempat bernaung dan pulang. Tak lama datang
abah dan kedua kakak saya juga beberapa anggota keluarga lainnya. Saya dan mama
diajak ke rumah paman saya dan barang-barang juga diangkut ke sana. Malam kian
mendekati fajar.
Pagi harinya saya
dan mama beranjak menuju jalan rumah kami. Mendapati keadaan yang tak seperti
pemandangan biasanya. Semuanya hancur lebur menjadi abu dan beberapa beton yang
masih tersisa nampak menghitam. Sampai di depan rumah yang sudah tinggal
puing-puing, saya hanya melihat sisa kamar mandi yang memang terbuat dari
beton. Selebihnya semuanya musnah tak bersisa.
Kebakaran yang
terjadi saat itu memang sangat besar di kota saya. Menghabiskan beberapa ruas
jalan, ratusan rumah, juga ratusan toko. Si jago merah memang melahap habis
salah satu pasar di kota saya. Selain saya dan para tetangga, ada beberapa
teman sekolah juga yang rumahnya terbakar atau pun toko tempat keluarganya
berusaha yang terbakar. Ketika bertemu dengan teman sekolah yang bernasib sama,
kami pun berpelukan kemudian berbagi tangis bersama. Begitu pun ketika bertemu
tetangga, kami saling menguatkan satu sama lain.
Hari itu keluarga
saya pun berdatangan. Paman acil saya dari berbagai kota datang menengok dan
berkumpul. Memberikan baju-baju buat pakaian sehari-hari. Seperti komando yang
diberikan abah di malam kebakaran itu, memang yang diutamakan diselamatkan
adalah barang-barang di toko. Jadilah pakaian kami banyak yang tak terselamatkan.
Namun, saya tetap bersyukur karena baju seragam sekolah saya bisa diselamatkan
semuanya. Saya juga mensyukuri karena saat itu adalah saat liburan, jadinya
saya tidak perlu pergi ke sekolah saat kami menata kehidupan baru pasca
kebakaran.
Setelah empat
malam di rumah paman saya, selanjutnya abah dan mama memutuskan untuk
mengontrak sebuah ruko. Hidup harus terus berjalan. Begitu pun usaha keluarga
kami yang harus terus dilanjutkan. Di hari kelima pasca kebakaran, kami pun
menempati rumah toko kontrakan yang berada tak jauh dari rumah yang terbakar.
Abah dan kakak
saya mulai menata toko baru dan siap untuk dibuka. Alhamdulillah, banyak barang
dagangan di toko yang terangkut jadi bisa dijual untuk menyambung kehidupan
kami dan juga mengumpulkan uang buat membangun rumah kami lagi. Sembilan bulan
pasca kebakaran, rumah toko kami sudah bisa ditempati.
Kebakaran itu
memang sudah lama terjadi. Alhamdulillah, Allah menggantikan apa yang hilang di
malam itu dengan rezeki yang bertambah-tambah untuk keluarga kami. Kalau dulu
rumah tempat saya dilahirkan itu hanya terbuat dari kayu dan memang sudah
sangat rapuh, kemudian berganti dengan bangunan beton yang kokoh.
Ada beberapa hal
yang saya ambil pelajaran dari kejadian kebakaran yang menimpa keluarga kami
beberapa tahun silam, seperti :
1.
Surat
menyurat berada di satu tempat.
Dulu
mama saya menaruh surat menyurat baik itu akte, ijazah kelulusan, sertifikat,
buku nikah, dan surat-surat penting lainnya di dalam satu lemari kecil. Ketika
kebakaran terjadi, surat-surat tersebut langsung dimasukkan dalam tas ransel
kakak saya. Jadi, semua surat-surat tidak terbakar.
Kakak
saya menyimpan surat-surat pentingnya sendiri. Seperti ijazah dan lain-lain. Ia
simpan di kamarnya sendiri. Jadilah, surat-surat pentingnya ikut terbakar.
Jadi, untuk semua anggota keluarga, kumpulkan satu surat di dalam satu tempat.
Jangan dipisah-pisah.
2. Jangan panik
Kepanikan
justru akan mengacaukan segalanya. Saat kebakaran itu terjadi, abah saya
sebagai pemimpin keluarga memberikan komando. Maka, komando beliau yang
dilaksanakan seperti mengemasi barang-barang jualan lebih dulu. Hal itu memang
keputusan yang sangat tepat karena barang-barang jualan itulah yang kemudian
membuat asap dapur kami tetap mengebul.
3. Atur siapa yang bertugas.
Barang-barang
yang sudah dikemasi jangan ditinggalkan begitu saja. Walaupun kita sedang
tertimpa musibah, tapi sebagian ada yang memanfaatkan hal itu. Jadi, tetap
harus ada yang berjaga. Tapi yang paling penting selamatkan nyawa karena harta
bisa dicari, nyawa hilang itu tak terganti.
4. Allah tidak akan menguji kita, di luar kesanggupan kita.
Saya
sangat sedih saat musibah itu terjadi. Namun, mama terus meyakinkan saya kalau
saya harus ikhlas. Kalau Allah akan mengganti apa yang telah hilang dengan yang
lebih baik. Alhamdulillah, memang setelahnya perekonomian keluarga kami justru
membaik. Usaha keluarga semakin maju. Alhamdulillah…
Terakhir, semoga Allah selalu menjaga kita
dan menjauhkan kita dari kobaran si jago merah ya. Dan terutama selalu
berhati-hati terhadap apa pun yang menyebabkan kobaran api.
Di rumah kp baru sering banget nyaris kebakaran..untung aja cepat tanggap, karna begitu membesar yg akan terbakar kemungkinan banyak, posisi rumah kayu yg rapat serta tak punya akses buat pemadam buat masuk ke dalam gang
BalasHapusSemoga aman selalu ya yang di sana. Iya... rawan banget. Semoga selalu terjaga. Aamiin...
HapusSedih saya bacanya mba, pelajaran berharga sekali mba. Namun memang tidak ada skenario Alloh diluar kemampuan kita semuanya menjadi pengalaman dan pelajaran hidup :) *ruar biasa untuk ketabahan dan keikhlasan mba sekeluarga
BalasHapusIya betul, Mbak. Ada skenario Allah yang tidak bisa kita tolak. Waktu awal2 memang sediiih banget. Tapi waktu menyembuhkan luka. Hehehe... Nanti insyaAllah saya tulis proses move on-nya :D
HapusSebuah epik cerita yang memberikan inspirasi, nasihat sekaligus pelajaran yang berharga buat kita semua. Musibah datangnya sewaktu waktu dan datangnya tidak pernah memberi tahu. Terima kasih sudah berbagi
BalasHapusTerima kasih, Pak Asep. Betul... musibah bisa datang sewaktu2. Kita tak bisa menolak. Semoga Allah selalu menjaga kita dan diberikan keiikhlasan hati :-)
HapusDuh sedihnya kalau surat surat penting sampai terbakar mba :(. Pengalamanku juga sampai skarang surat surat penting gabung di satu tempat mba dan sudah masuk tas. SMoga kluarga diberikan kekuatan ya mba
BalasHapusIya, Mbak Lida. Kakak saya juga ngurus ke sana ke mari. Itu pun ada yang tidak bisa diganti. Hanya ada surat keterangan kehilangan dan surat apa gitu. Tidak sama lagi dengan yang sebelumnya.
Hapusserius mbak, ntah saya lagi baper...tapi mata saya berkaca-kaca bacanya."Allah tidak akan menguji kita, di luar kesanggupan kita" saya percaya.
BalasHapusSaya juga nulisnya sambil berkaca-kaca, Mbak. Padahal udah lama banget kejadiannya. Iya, betul, Mbak. Allah tidak akan menguji kita di luar kesanggupan kita. Alhamdulillah... Allah memberikan banyak rezeki pasca kebakaran itu kepada kami sekeluarga :D
HapusAllahu akbar. Aku sediiiih sekali membacanya mbak, walaupun nyatanya mbak bisa bertahan & sampai sekarang baik-baik saja. No. 4 terbukti. Aku juga menyatukan dokumen seperti ajaran ortuku. Abah cepat sekali mengambil keputusan & mengkoordinasikannya.
BalasHapusIya, Mbak. Alhamdulillah baik2 saja sampai sekarang. Yang terbakar digantikan dengan yang lebih baik. Benar, Mbak. Allah tidak akan menguji kita di luar kesanggupan kita. Banyak hikmah dari kejadian itu :D
HapusSedih ya Mba', rumah yang sudah ditempati seumur-umur, harus ludes terbakar api. Syukurnya tak ada korban jiwa. Thanks for sharing Mba'.. :)
BalasHapusIya, Mbak Julia. Sediiih banget. Tapi namanya juga musibah ya. Benar. Alhamdulillah sehat2 semua :D
HapusIya di Banjarmasin cerita ortu sering kebakaran. Kenapa ya mb...
BalasHapusSaya tidak tinggal di Banjarmasin, Mbak. Di Kalsel tapi bukan Banjarmasin. Hehehe...
HapusIya di Banjarmasin cerita ortu sering kebakaran. Kenapa ya mb...
BalasHapusRumah yang aku beelang semalam tu rumah hanyarnyakah yan?
BalasHapusItu lain yang kebakaran, Ka. Rumah yang pian datangi sumalam hanyar ditukari abah pasca kebakaran. Pindahan pas ulun kuliah :D
HapusDuh serem banget bacanya. Ngebayangin kebakaran dengan cepat menyambar rumah. Traumanya blm hilang juga ya Yan
BalasHapusMasih suka gemetaran kalau ada kebakaran, Mbak. Tapi sepertinya semua orang juga gemetaran ya. Hehehe... Traumanya waktu awal2 itu. Nanti insyaAllah diceritakan lagi :D
HapusAku merinding bacanya Mbak. Nggak mungkin nggak panik, ya Allah. Makasih tipsna ya Mbak, memang Allah bener-bener nggak akan menguji diluar kemampuan kita
BalasHapusMbak aku follow, folbek ya :) oh ya salam kenal darikuh :)
Iya. Panik itu pasti, Mbak. Tapi harus dikendalikan paniknya biar bisa berpikir. Syukurlah abah cepat memberikan komando jadi kami bisa lebih tenang. Salam kenal juga, Mbak. Sudah saya folbek ya :D
Hapusjanagn panik ya , itu kuncinya atpi hebat juga klg mbak begitu terstuktur arpih shg banyak yg bisa diselamatkan
BalasHapusAlhamdulillah abah cepat memberikan komando saat itu, Mbak. Jadi, banyak barang selamat :D
HapusBacanya sambil deg-degan, alhamdulillah sudah berlalu ya Yan. Dan bener banget, surat2 penting hrs disimpan di satu tempat. Ya Allah jangan sampe kejadian lagi spt ini kepada siapapun, aamiin
BalasHapusAamiin... Aamiin... Aamiin... Iya, Teh. Alhamdulillah sudah lama lewat. Semoga tidak kejadian lagi pada siapa pun. Iya, itu juga jadi pelajaran buat yanti saat punya rumah sendiri. Surat2 disimpan di satu tempat. Ini surat2 lagi dititipin sama mertua. Hehehe...
HapusSambil baca dari atas sampai bawah sudah terbayang suasananya, alhamdulillah saya juga menyimpan surat penting di satu tempat berjaga-jaga lebih baik ya mba :)
BalasHapusIya, Mbak Rani. Penting banget surat penting di satu tempat dan harus jadi prioritas untuk diselamatkan tapi jangan sampai kejadian.
HapusGemetar saya membacanya. Mungkin panik adalah hal yang manusiawi. Tapi justru itu akan memperburuk suasana. Semoga tak pernah terjadi pada keluarga kami. Dan Allah memberi kekuatan lebih bagi yang mengalaminya...aamiin
BalasHapusAamiin... Aamiin... Aamiin... Semoga Allah selalu menjaga keluarga Mbak Enny. Iya, Mbak. Panik itu manusiawi tapi harus tetap terkontrol. Saya sih udah deg2an parah saat itu...
HapusKalau baca cerita kebakaran jadi deg-degan lagi soalnya dulu aku juga hampir membuat kebakaran di kamar kost gegara lupa matiin lilin di atas lemari kayu pas mati listrik. Untung di sebelah lilin ada botol air mineral yang masih ada isinya jadi deh apinya mati. Korbannya cuma lemari bagian atas sama kamar yang menghitam semuanya.
BalasHapusSaya sampai sekarang suka parno, Mbak, sama hal2 yang bisa bikin kebakaran. Terkadang kalau ada colokan yang belum saya pastikan dicabut bisa balik rumah dulu. Atau kompor, bisa bolak balik ngontrol. Hehehe... Kadang suka cemas apa setrikaan sudah dicabut atau ga. Waktu ngekost pernah minta teman kost kontrolin ke kamar karena ragu setrikaan udah dicabut atau belum. Untung aja kunci kost ditinggal.
HapusBaca tulisan ini, saya jadi merasakan posisi mba waktu itu seperti apa. Dalam hal seperti ini memang jangan panik ya mba, harus tetap tenang, supaya semua terkendali.
BalasHapusIya, Mbak. Panik boleh tapi harus dikendalikan. Semoga kita terhindar dari bahaya kebakaran ya, Mbak...
HapusNgebacanya nggak tega dan merinding gitu mba, Orang mana yang ngggak bakal panik kalo dapat musibah kayak gini. Dari pengalaman yang mba tulis kami bisa belajar dan berhati2 lagi, terimakasi mba yanti.
BalasHapusIyaa...
HapusDuh, sedih ik, klo terbakar gitu... apa rumahnya banyak sekali ornamen kayu dan property yang mudah terbakar ya
BalasHapusIya. Rumahnya memang terbuat dari kayu :-)
HapusDuuuhh ngeri banget tentunya ya Mba pas mengalaminya. Untung Abah bisa mengontrol keadaan dan mengatur segala sesuatunya sehingga pada nggak panik.
BalasHapusIya, Mbak. Alhamdulillah abah sebagai kepala keluarga cepat memberikan instruksi :D
HapusSatu lagi yang selama ini nggak terpikirkan sama saya: punya stok seprai beberapa.
BalasHapusAh iya, Mbak. Padahal waktu itu mama saya spontan saja menaruh seprai untuk membungkus barang2.
Hapus