Seperti yang saya ceritakan di sini, cerpen Sepasang Mata
Rindu dimuat di Majalah Gadis. Tepatnya di Majalah Gadis No. 21 di bulan
Oktober 2016. Ini cerpen pertama saya di Majalah Gadis, tapi merupakan tulisan
kedua saya di majalah tersebut. Sebelumnya ada tulisan saya yang berjudul Nama Pena yang dimuat di rubrik Percikan.
Pada Majalah Gadis terdapat informasi terkait pengiriman
tulisan ke majalah tersebut. Berikut informasinya :
GADIS menerima PERCIKAN (2 halaman folio) atau CERPEN (6-7 halaman folio). Ketik rapi dan kirim melalui email ke GADIS.Redaksi@feminagroup.com. Tuliskan identitas lengkap kamu, nomor rekening dan fotokopi halaman depan buku tabungan (yang mencantumkan nama dan nomor rekening) serta nomor telepon yang bisa dihubungi.
Itu info yang saya salin dari Majalah Gadis. Perihal emailnya
mental mulu, saya pun tak tahu. Hehehe… Berikut adalah cerpen saya yang dimuat
di sana. Happy Reading ^_^
Sepasang Mata Rindu
Oleh : Hairi Yanti
"Kamu phobia rasa rindu, Alina."
Perkataan Dinar sukses membuat aku tersedak. Dinar mengatakan
hal tersebut tepat di saat aku menelan satu suapan dari sepiring makan siang
kami. Dinar menyodorkan segelasa air putih untukku. Segera kuambil dan
meneguknya pelan.
"Kamu melakukan banyak hal agar tak merindukan rumah,
kan, Alina?" Tanya Dinar lagi.
Tatapannya menyelidik ke mataku. Gegas aku mengalihkan
pandang. Kemudian kembali berkonsentrasi dengan buku di tanganku, di sela
suapan makan siang. Aku tak menyanggah apa yang dikatakan Dinar karena mungkin
sebagian apa yang dikatakannya adalah kebenaran, atau bisa jadi sepenuhnya
benar.
Aku masuk ke sekolah ini sembilan bulan yang lalu. Semester
awal kehadiranku di sekolah, aku sukses merebut perhatian semua warga sekolah
dengan prestasi. Memiliki nilai rata-rata tertinggi, juara beberapa event, anggota aktif beberapa ekskul
yang kuikuti. Mereka bilang aku jenius, aku bilang pada mereka kalau aku hanya
berusaha di atas rata-rata. Mungkin hanya Dinar yang tahu, ada alasan lain di
balik semua itu. Aku sedang membunuh rindu.
Berpisahlah dengan orang yang kamu cintai, maka akan kamu
lakukan apa saja untuk membunuh waktu yang ditikam kerinduan. Itulah yang
kulakukan selama ini. Kuhabiskan waktu dengan belajar, belajar, dan belajar.
Bergerak aktif dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain. Aku berusaha keras
agar tak ada waktu yang membuat aku melamun, merindukan sesuatu yang tak ingin
kurindukan. Semua bermula dari
dua tahun yang lalu. Semenjak papa meninggalkanku untuk selamanya.
***
"Kamu tidak ke mana-mana, Alina?" Dinar bertanya
sembari tangannya menutup koper warna magenta miliknya.
"Ya." Aku menjawab singkat.
Boarding School tempat aku berada adalah sekolah berasrama.
Setiap bulan sekali, murid-murid diberikan waktu libur dua hingga tiga hari.
Para orangtua satu per satu menjemput anak-anak mereka. Mobil-mobil berjejer di
parkiran, menanti satu sosok dari asrama yang akan muncul dan kemudian masuk ke
mobil mereka.
Sementara teman-temanku antusias menghadapi kebebasan mereka
di luar asrama, aku akan meminjam empat sampai lima buku di perpustakaan. Buku
matematika, fisika, kimia, dan apa saja. Mengerjakan semua soal-soal latihan di
buku itu ketika waktu libur. Semenjak kedatanganku di sekolah ini, tak sekali
pun aku beranjak dari kamar ini saat libur tiba.
Dinar
sudah lama berlalu. Senyap yang sedari tadi menemani terusik saat ketukan pada pintu terdengar. Tak lama, pintu terbuka
setelah aku menyahut sebuah sapaan di luar kamar. Wajah Miss Mirna muncul dari balik pintu. Ia tersenyum dengan ramah
kemudian berjalan ke arah meja belajarku. Miss
Mirna memegang pundakku, memijitnya perlahan. Miss Mirna adalah ibu asrama,
ia dicintai seluruh penghuni asrama.
"Kau tidak lelah, Alina?" Aku menggeleng.
"Ada yang mencarimu." Miss Mirna berkata pelan.
"Miss tahu aku
tidak ingin bertemu..."
"Namanya Elma. Dia bilang, dia tante kamu." Miss
Mirna memotong perkataanku.
Mataku terbeliak. Kemudian mengerjap dan tak lama kemudian
aku telah bangkit dari duduk dan berjalan menuju ruang tamu asrama. Aku menolak
setiap orang yang datang, tapi tidak untuk kedatangan Tante Elma.
"Tante..." Panggilku.
Wanita usia pertengahan tiga puluhan di depanku membalikkan
tubuhnya. Aku terpaku sejenak melihat wajahnya. Tante Elma tinggal di
Australia, aku tak pernah bertemu dengannya lagi semenjak pemakaman papa. Namun, semenjak kecil, aku sangat dekat
dengan Tante Elma sebelum kepindahannya ke negeri orang. Tante Elma sudah
seperti ibu kedua bagiku.
Pada wajah Tante Elma, Aku seperti melihat wajah papa. Dari
ketiga adik Papa, Tante Elma adalah yang paling mirip dengan papa. Konon
katanya, Tante Elma juga adik yang paling dekat dan paling disayang Papa. Tante
Elma kemudian merentangkan tangannya yang membuat aku segera menghambur ke
pelukannya.
Aku tersedu di rengkuhan Tante Elma. Membiarkan tangisku
tumpah di sana. Aku merindukan papa. Kali ini aku menyerah untuk terus
berpura-pura kuat. Saat ini, aku tak bisa membunuh rinduku.
Saat tangisku mereda, Tante Elma mengajakku duduk. Kami
berbincang tentang banyak hal.
"Kabarnya keponakan Tante adalah murid yang cemerlang di
sekolah ini," kata Tante Elma yang membuat aku tersenyum masygul. Obrolan terus mengalir antara aku dan Tante
Elma sampai…
"Lelaki itu..." Perkataan Tante Elma selanjutnya langsung
membuatku menutup telinga. Hanya mendengar frase lelaki itu aku sudah tahu ke
mana pembicaraan ini akan mengarah. Dengan lembut Tante Elma meraih tanganku
dan menurunkannya.
"Dengarkan Tante kali ini, Alina, " tawar Tante
Elma.
"Tidak, Tante. Tidak akan ada pembicaraan
tentangnya," tolakku.
Tante Elma menatapku dengan pandangan memohon. Aku
menggelengkan kepala, tapi Tante Elma tak menghentikan tatapannya. Sesak di
dadaku semakin terasa, saat air mataku kembali mengalir, aku mengangguk dengan
lemah. Pada satu wajah yang sangat mirip dengan papa, aku tak bisa berkata
tidak.
"Dia sahabat papamu." Tante Elma mengawali cerita
yang membuat mataku terbelalak. Aku hanya tahu kalau lelaki itu adalah cinta
lama bunda. Begitu bisikan orang-orang kepadaku saat itu. Tapi kenyataan kalau
ia adalah juga sahabat papa sungguh membuat hatiku tidak lebih baik.
"Mereka dulu disebut tiga serangkai. Sangat akrab.
Persahabatan antara dua orang lelaki dan satu orang perempuan. Dua lelaki itu
mencintai perempuan yang sama." Alisku mengernyit. Tante Elma mengangguk
seolah bisa membaca apa yang kupikirkan.
"Perempuan yang dicintai dua lelaki itu adalah bunda
kamu," ujar Tante Elma lagi.
Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar penuturan
Tante Elma. Tante Elma meneruskan
ceritanya, tentang lelaki patah hati yang meninggalkan negerinya saat perempuan
yang ia cintai menikah dengan sahabatnya sendiri. Lelaki itu masih sendiri,
hingga sahabatnya wafat. Kembali ke tanah air dan siapa yang menyangka, tiga
bulan sebelum kepergian papa, papa mengirimkan surat untuk sahabatnya itu.
Meminta sahabatnya menjaga istri dan anaknya jika sesuatu terjadi pada papa.
"Kita semua kaget, Alina. Mungkin papamu sudah punya
firasat.” Tante Elma menarik napas. “Berpikirlah dari sudut pandang orang lain,
Alina. Dari ibumu, dari papamu. Papamu pasti bahagia ada seorang lelaki yang ia
kenal baik bisa menjaga bunda dan kamu. Ibumu juga butuh penopang baru selepas
kepergian papamu,” lanjut Tante Elma sembari menggenggam tanganku.
Air mataku kembali merebak. Ingatan pada hari kematian papa
menyerbu masuk begitu saja. Papa meninggal mendadak. Sebelum kejadian itu, papa
hanya terlihat lelah, tapi ia tak kelihatan seperti orang sakit. Kepergian papa
mengejutkan semua orang. Papa hanya mengeluh sakit pada dadanya, kemudian tak
sadarkan diri.
Bunda menjerit memanggilku. Kami memapah papa yang tak
sadarkan diri dibantu para tetangga. Melarikan mobil menuju rumah sakit. Sampai
di rumah sakit, dokter menggelengkan kepalanya setelah memeriksa tubuh papa.
Kemudian lelaki setengah baya berjas putih itu menutup tubuh papa dengan kain
putih. Aku dan bunda histeris melihatnya. Kami meraung, menangis
sejadi-jadinya.
Saat aku sudah bisa menahan isak, bunda belum bisa meredakan
tangisnya. Bunda terus menangis keras saat pemakaman papa. Aku mendelik saat mendengar ocehan wanita muda di
dekatku berdiri.
"Biasanya kalau menangis keras seperti itu, tak lama
juga kawin lagi." Bagitu kata wanita muda itu.
Aku menatapnya dengan tajam. Tak terima bunda disebut begitu.
Ia yang tak menyangka aku mendengar perkataannya hanya berlalu dari hadapanku.
Tapi setelah satu tahun kepergian papa, aku sadar wanita muda itu benar. Bunda
mengajakku bicara. Berkata bahwa ia akan menikah lagi.
"Bunda tidak bekerja, Alina. Kita harus terus hidup.
Bunda tidak mungkin menguras tabungan pendidikanmu yang sudah disiapkan papa
kamu. Bunda... "
Selanjutnya aku tak mendengar lagi apa kata Bunda. Aku tahu
kami kehilangan pegangan saat papa tiada. Tapi untuk alasan itu bunda menikah
lagi, sungguh aku tak bisa terima. Apalagi setelah aku menyelesaikan pendidikan
SMP, Bunda memintaku masuk Boarding
School. Sesuai amanat papa katanya. Sesuai keinginanku juga, tapi dulu.
Selanjutnya aku memaknainya lain. Aku merasa terbuang karena
bunda ingin menjalani kehidupan barunya dengan lelaki itu. Tanpa aku. Semenjak
itu aku menolak untuk pulang, menolak untuk bertemu bunda dan membunuh semua
kerinduan dengan aktifitas padat yang kulakukan.
Tepukan lembut di punggung tanganku mengembalikanku pada
kenyataan. Tante Elma di menyodorkan selembar foto. Aku meliriknya sekilas,
kemudian mendorong foto itu lagi ke depan Tante Elma. Tak perlu dijelaskan, aku
tahu siapa yang ada di foto itu. Bola
mata bayi yang ada di foto itu berwarna cokelat, persis sama dengan kedua bola
mataku, juga bola mata bunda.
"Bundamu sudah melahirkan. Adikmu gendut dan cantik
sekali." Tapi Tante Elma menjelaskan juga siapa yang ada di foto tersebut.
"Pulanglah, Alina. Belajarlah menerima," ujar Tante
Elma di tengah pelukannya saat aku mengantarkan ia ke gerbang asrama. Saat
mobil Tante Elma melaju, ada sesuatu yang terlihat dari balik kaca mobil yang
terbuka sedikit. sepasang mata yang menatapku. Aku tak mungkin salah mengenali
pemilik sepasang mata itu. Tubuhku melunglai saat aku tiba di kamar. Kuabaikan
buku-buku latihan soal, liburan kali itu kuhabiskan waktu dalam tangisan.
***
"Mnemophobia,
Alina. Fobia terhadap kenangan. Mungkin kamu mengalami hal itu." Ocehan
Dinar kali ini.
Entah sejak kapan, teman sekamarku itu seperti tergila-gila
akan jenis fobia. Ia bisa melontarkan jenis fobia yang asing, kemudian
menganalisa siapa di antara teman-teman kami yang menderita fobia tersebut.
"Tapi fobia itu ketika tubuhmu bereaksi dengan serius
saat menemui hal yang membuat kamu phobia. Kamu bisa menggigil, gemetar, dan
ketakutan setengah mati. Apa kamu merasakan hal tersebut, Alina?" Tanganku
terhenti. Mataku menerawang, memikirkan apa yang dikatakan Dinar.
"Kalau tidak seperti itu mungkin yang kamu alami bukan fobia.
Kamu hanya perlu berdamai dengan keadaan," ujar Dinar lagi.
Kemudian Dinar berlalu dari hadapanku. Tapi apa yang
dikatakan Dinar tetap tinggal di sini. Berbaur dengan apa yang disampaikan
Tante Elma, tentang berpikir dengan sudut pandang orang lain, mencoba memahami
keputusan bunda, hingga berdamai dengan keadaan.
Hari-hari
yang kulalui menjadi tak karuan. Sepasang mata dari balik kaca mobil Tante Elma
terus hadir membayangiku. Semua hal yang kulewati di hari-hariku seolah terus
mengingatkan pada pemilik sepasang mata itu. Bunga mawar putih yang tumbuh
mekar di taman asrama, sup iga sapi yang tersaji sangat sering di kantin, juga
pada hujan yang kerap datang di bulan ini. Semua hal yang disukai pemilik
sepasang mata itu dan juga aku sukai.
Pada saat libur bulanan tiba, aku menyaksikan Dinar yang
berkemas. Memasukkan beberapa potong baju dan buku dalam koper berwarna magenta
miliknya. Untuk pertama kalinya dalam libur bulanan, aku tak meminjam satu buku
pun di perpustakaan.
"Kamu tidak ke mana-mana, Alina?"
Pertanyaan rutin Dinar sejak berbulan-bulan yang lalu dan
selalu kujawab dengan jawaban yang sama. Tapi, tidak untuk kali ini.
"Kamu mau mengantarku pulang, Dinar?"
Tangan Dinar yang sedang menutup koper miliknya terhenti.
Refleks pandangannya menatap ke arahku. Melempar pertanyaan dalam tatapannya.
Aku mengangguk. Dinar langsung melompat ke arahku dan memeluk tubuhku dengan
erat.
"Tentu, Alina. Tentu. Aku akan mengantarmu walau ke
ujung dunia sekali pun," ujar Dinar di sela pelukannya. Aku tersenyum.
Ikut mengemasi beberapa barang yang kuperlukan kemudian menyusul Dinar yang
menungguku di depan pintu asrama.
Miss Mirna tercengang melihat kemunculanku di pintu asrama. Dinar
membisikkan sesuatu pada Miss Mirna.
Membuat Miss Mirna kemudian
menyongsong ke arahku dan merengkuhku dalam pelukan hangat.
"Selamat pulang, Alina. Selamat pulang."
Miss Mirna menepuk pundakku dengan lembut. Aku tersenyum dan
mengangguk padanya. Aku akan pulang. Berdamai dengan kenyataan juga tak lagi
berusaha membunuh rindu. Rindu pada pemilik sepasang mata yang menatapku dengan
penuh pengharapan di balik kaca mobil Tante Elma sebulan yang lalu. Sepasang
mata milik bunda.
*end*
ih, bagus, merinding aku. selamat ya hairi :)
BalasHapusAlhamdulillah.. Makasiiih, Mbak Nafi :*
HapusMba Yanti, I adore you hahaha keren banget mba idenya ko dapet ceritanya mengalir tembus selalu media *langsung sungkem* :p
BalasHapusGa selalu tembus, Mbak. Cuma yang enggak tembusnya belum diceritain aja. Hehehe.... Makasih ya, Mbak Herva :D
HapusKeren... saya pengen belajar nulis cerpen, tapi bentrok sama males xixixi
BalasHapusSaya pun sering malas, Mbak Ida. Hehehe... Ini satu cerpen juga dari minggu kemarin belum jadi2 :D
Hapushiks sediiih
BalasHapusPuk puk, Ka :D
HapusMantap deh Yanti, endingnya bisa ketebak sih tapi so sweet
BalasHapusXixixixi... Ketebak ya, Mbak Naqiy. Alhamdulillah, Makasiih, Mbak :-)
HapusDuuuh, mak nyesss bacanya :)
BalasHapusbukanbocahbiasa(dot)com
Makasiiiih Mbak Nurul :-)
HapusJadi mendadak rindu seseorang :( andai kisahku endingnya gitu.
BalasHapusJadi pegen nulis fiksi lagi :D
Kangen siapa nih, Mbak? Hehehee.... Ayo mbak. Nulis fiksi lagi :-)
HapusBagus, mbak cerpennya. Awalnya kupikir karena patah hati, ternyata enggak. Hihihi. :D
BalasHapusTerima kasih, Mbak. Hihihihi... Banyak sebenarnya masalah remaja selain urusan cinta2an ya, Mbak :-)
HapusTerima kasih, Mbak. Hihihihi... Banyak sebenarnya masalah remaja selain urusan cinta2an ya, Mbak :-)
HapusYa ampun, aku dah lama banget ngga baca percikan Gadis. Padahal dulu paling dinanti2. Makasih ya dah mengingatkan ttg ini :D
BalasHapusPercikan sudah aja sejak zaman dulu ya, Mbak. Saya juga suka baca percikan. Singkat :D
HapusKeren neh mba cerpennya.
BalasHapusAlhamdulillah. Makasih, Mbak :-)
Hapuskeren mb, saya pernah ngirim beberpa ke media , tapi gak pernah lolos. hehe...
BalasHapusAyo coba lagi, Mbak :-)
HapusSudah lama nggak buka-buka majalah gadis. Padahal dulu langganan dan suka baca-baca cerpennya.
BalasHapusHehehe... Iya. Sejak remaja udah baca2 cerpen di Majalah Gadis ya :D
HapusCerpennya bagus, ya? Twist nya sukses. :D
BalasHapusAlhamdulillah, Makasiiih, Mbak :-)
HapusSelamat yaaaa Mbak Yanti, emang kece, ajarin donk nulis cerpen :D
BalasHapusAlhamdulillah, Makasih, Mbak April. Ayok mbak. Belajar bareng :D
HapusHuaa opening nya keren banget
BalasHapusKalau emailnya mental, diulang? Atau gimana?
Makasih, Mbak Avi. Saya kirim ke editor Gadis juga, Mbak. :D
HapusWah kakak selamaat ya.. Pingin deh rasanya cerpennya bisa tembus media. Btw aku juga suka nulis kak, cuma belum sempat kirim ke media. Rencana mau kirim, cari referensi dan nyasar deh diblog kakak. Cerpennya keren, semangat lagi kakak
BalasHapusAyo semnagat ya. Dicoba terus. Terima kasih ya :D
HapusKeren kak, gak monoton juga ceritanya. Pengen bisa nulis tapi sering stuck di tengah jalan dan idenya sering ilang. Bagi tips dong kak hehe.
BalasHapusSaya juga sering seperti itu. Banyak2 baca dan teruskan perjuangan menulisnya :D
HapusSalam kenal Mbak, tulisan Mbak bagus-bagus banget. Dan selamatt yaa udah dimuat. Makasih banget udah share alamat email nya yaa.. Mau coba kirim-kirim juga akhh ^^
BalasHapusSalam kenal juga, Mbak Yayang. Terima kasih ya, Mbak. Semangat menulis :-)
HapusKeren sekali ceritanya, Mbak Hairi.
BalasHapusGaya khas majalah Gadis sangat terasa.
Besok, tolong masukin nama Butet atau Lilyana, Mbak.
Kan doi ratu bulutangkis kita juga hahaha....
cerpennya sesuatu bgt yaaa~ ku baru baca nih soalnya. Ohya kak, kalo emailnya terpental terus itu gimana?:( aku udah ngirim 2 kali tapi gagal terus:( itu gimana?
BalasHapusCerpennya keren banget kak...
BalasHapusAku juga pengen bisa nulis cerpen tapi selalu gagal karna tidak bisa menuangkan ide ke dalam cerita
Bagi tips dong kak
Bagus ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusCerpennya keren, mengena dihati de yanti. Cerita yang begini ini beneran ada lho, beberapa temanku mengalaminya *tears... Tetiba jadi ingat 😂😂
BalasHapusAyo donk nulis lagi, sekaligus latihan..
BalasHapusKonfliknya dapet
BalasHapus