Menyambung cerita di sini. Cerita
pasca musibah kebakaran yang dialami keluarga saya.
Usia saya masih 13 tahun saat itu
dan yang saya pikirkan adalah bagaimana saya tidak menjadi beban keluarga
karena saya tau keluarga saya tengah diuji. Makanya, saya merasa bersyukur
sekali baju-baju seragam saya selamat dan baju-baju harian yang biasa saya
pakai juga selamat. Dengan begitu, saya tidak perlu membuat orangtua saya
mengeluarkan uang untuk membeli baju-baju yang saya pakai sehari-hari.
Memang
baju-baju bagus yang biasa saya gunakan untuk jalan-jalan ludes tak bersisa,
tapi belakangan saya juga mensyukuri hal itu karena niat saya untuk berjilbab
menjadi tak setengah-setengah lagi. Sebelumnya, untuk jalan-jalan saya selalu
melepas jilbab karena baju-baju saya kebanyakan adalah baju yang tidak cocok
untuk mengenakan jilbab.
Masalah sandang saya anggap tak
begitu masalah, dan kemudian muncul masalah baru lagi pasca kebakaran. Sepeda saya hilang.
Seperti yang
saya ceritakan sebelumnya, setelah mendengar kalau kebakaran dekat dengan
rumah, saya langsung bergegas menyelamatkan sepeda saya. Membawanya keluar
rumah dan menaruhnya begitu saja di depan toko paman saya. Di mana saat itu,
paman dan acil saya pun sedang sibuk mengemasi barang-barang di toko beliau.
Esok harinya
sepeda itu raib. Sepeda itu memang saya kunci, namun, seberapa berat sih
mengangkat sebuah sepeda? Saya pun merasa kalau keputusan saya membawa sepeda
begitu saja saat diminta abah untuk berkemas adalah keputusan yang ceroboh.
Seharusnya
saya tidak membiarkan barang keluar tanpa penjagaan, seharusnya saya menunggu
paman saya datang yang menyemalatkan motor agar bisa juga mengamankan sepeda
saya. Seharusnya saya menunggu instruksi bukan bertindak gegabah. Seharusnya-seharusnya
yang membuat saya menyesal. Namun, nasi telah menjadi bubur. Sepeda itu tidak
ada.
“Kalau tidak
ketemu sampai hari masuk sekolah. Kita beli yang baru.” Abah berkata kepada
saya.
Saya sedih
sekali mendengarnya. Bagaimana pun saya tetap tidak ingin membebani orangtua
saya. Membelikan sepeda baru tentu lebih mahal dari membelikan seragam baru.
Seharusnya saya menjaga sesuatu yang saya anggap paling mahal yang saya punya
saat itu. Sekolah saya lumayan jauh dan saya pulang pergi ke sekolah memakai
sepeda. Ke mana-mana pun saya sering menggunakan sepeda.
Bersama
abah, pasca kebakaran, kami mulai mencari sepeda. Sepeda saya itu bisa dibilang
sepeda yang limited edition. Jadi,
agak mudah menanyai orang-orang tentang sepeda tersebut. Kepada pembeli sepeda
bekas, abah pun titip pesan jika menemui orang yang menjual sepeda tersebut.
Lewat pembeli sepeda bekas itu juga abah menerima informasi kalau banyak sepeda
yang tergeletak di halaman sebuah mesjid.
“Coba cari,
siapa tahu ada sepedanya di sana,” kata si pembeli sepeda bekas. Saya dan abah
pun bergegas ke mesjid tersebut, mengamati satu demi satu sepeda, dan hasilnya
nihil. Sepeda saya tak diketemukan di sana.
“Kalau masih
ada rezekinya, nanti ketemu aja.” Abah menghibur saya. Dan saya merasakan
pesimis sekali sepeda itu bisa ketemu. Tentang sepeda yang hilang ini kemudian
menyebar di kalangan tetangga. Bagaimana pun, sepeda itu telah keluar dari
rumah. Tidak hangus menjadi besi terbakar. Jadi, ada setitik harap sepeda itu
masih bisa ditemukan.
“Ada sepeda di rumah Pak Haji F. Sepeda
seperti milik Anti.” Suatu hari mendekati hari kembali ke sekolah tiba, informasi itu
kami terima. Bersama abah, saya pun menuju ke rumah Pak Haji F yang dimaksud.
Letak rumahnya memang cukup jauh dari titik di mana sepeda saya letakkan
sebelumnya.
“Ada banyak
yang menaruh barang di depan rumah. Sebagian sudah diambil. Tapi, sepeda itu
belum ada yang mengakui miliknya. Jadi, saya amankan saja di dalam rumah,” kata
Pak Haji F setelah kami datang. Beliau pun kemudian masuk ke dalam rumah dan
mengeluarkan sepeda berwarna hitam.
“Betul ini
sepedanya?” Tanya beliau. Saya mengamati sepeda tersebut. Warnanya hitam,
persis milik saya. Namun, masih ragu. Saya meneliti lagi, ada goresan di
stangnya. Itu goresan yang didapat saat saya jatuh dari sepeda. Juga ada stiker
di belakang sepeda. Saya bernapas lega, ini memang sepeda saya.
“Coba
kuncinya,” kata abah. Gegas saya mengeluarkan kunci. Sepeda itu memang saya
kunci dan kuncinya masih saya simpan. Begitu dicoba, dua anak kunci yang saya
pegang langsung membuka kunci di sepeda. Alhamdulillah, sudah dipastikan itu
memang sepeda saya.
“Terima
kasih, Pak Haji. Terima kasih.” Saya dan abah berkali-kali mengucapkan terima
kasih ke Pak Haji F yang telah mengamankan sepeda saya. Seiring napas lega
karena dengan begitu saya tak akan membebani orangtua saya untuk membelikan
sepeda baru buat saya sekolah.
Arti Rumah
Seperti yang
saya ceritakan sebelumnya pada tulisan Amukan si Jago Merah, setelah si jago
merah menghanguskan rumah saya, kami tinggal di rumah paman saya di mana paman
saya itu adalah kakak dari mama saya, dan istri dari paman adalah adik dari
abah saya. 4 hari tinggal di sana saya sudah merasa betah, mungkin karena ada
saudara sepupu yang sepantaran dengan saya dan saya akrab dengannya. Tapi, di
malam keempat, mama memberitahukan sesuatu kepada saya.
“Besok kita
pindah,” kata mama. Saya terperanjat.
“Pindah ke
mana?” Saya bertanya dan mama menyebutkan lokasinya yang tak jauh dari rumah
saya yang terbakar.
“Saya enggak
pengin pindah. Pengin tetap di sini saja.” Saya mulai terisak memberitahukan
keinginan saya. Mama bilang kalau kami sekeluarga tidak mungkin lama-lama
merepotkan paman dengan tinggal di rumah paman. Lagipula, usaha dagang keluarga
kami harus segera dilanjutkan karena kami membutuhkan uang yang banyak. Jadi,
perputaran uang harus segera dilanjutkan. Saya masih terisak, rasanya berat
sekali meninggalkan sesuatu yang sudah saya merasa nyaman sebelumnya.
“Apa yang kau risaukan, Ti? Bukankah di sana,
di rumah sewaan nanti, ada mama, abah, juga kakakmu. Apa yang kau risaukan?” Mama
bertanya dengan nada tegas kepada saya yang membuat saya tertegun.
Yah, saya
akui mama benar. Di malam itu saya menyadari, kalau arti rumah buat saya saat
itu bukan lagi berpatokan pada bangunan fisik. Rumah adalah di mana tempat keluarga saya ada dan ke sana saya akan
pulang. Saya pun mengusahakan riang gembira ada di hati atas rencana
kepindahan kami. Hidup harus terus dilanjutkan.
Musibah adalah musibah. Pinjaman tetap
pinjaman.
Itulah satu
pelajaran yang saya dapat dari musibah kebakaran tersebut. Walaupun kita
ditimpa musibah, namun apa yang menjadi hutang tetap harus diselesaikan. Apa
yang menjadi pinjaman pun harus tetap dikembalikan. Orangtua dan kakak sulung
saya mengurus beberapa hutang dan pinjaman terkait barang-barang di toko, saya
pun punya urusan yang berbeda namun sama berhubungan dengan pinjaman.
Buku-buku
pelajaran saya ludes terbakar dan buku-buku itu sebagian besar adalah buku
pinjaman. Zaman dulu, buku tidak setiap tahun berubah. Buku yang saya pinjam,
itu lungsuran keempat. Dari kakak sepupu saya, ke adiknya, ke kakak sepupu saya
yang lain, dan kemudian berujung ke saya.
Ketika
bertemu dengan kakak sepupu saya, saya pun mengatakan kalau buku beliau habis
terbakar. Alhamdulillah, beliau mengatakan tidak apa-apa. Saya tidak perlu
mengganti apa yang telah menjadi abu. Saya lega sekali mendengarnya walau masih
ada beban yang menggelayuti pikiran saya.
Saat itu
adalah liburan sekolah. Rupanya sedari dulu saya sudah maniak dengan buku dan
gila membaca. Saat liburan sekolah, saya meminjam buku di perpustakaan kota
dengan jumlah paling maksimal. Saya lupa berapa jumlahnya. Tiga, empat, atau
lima. Dan semua buku itu juga tak terselamatkan.
Ketika tiba
masa kembali ke sekolah, ditemani seorang teman, saya ke perpustakaan kota.
Berkata dengan lirih ke ibu penjaga perpus.
“Ibu,
bagaimana saya mengganti buku-buku perpustakaan yang saya pinjam? Buku-buku itu
terbakar.”
“Rumah kamu
ikut terbakar di kebakaran kemarin itu?” Ibu Perpus bertanya dengan suara
lantang yang membuat para pengunjung perpustakaan menjadi tersedot perhatiannya
kepada saya dan ibu. Juga penjaga perpustakaan lainnya.
“Iya, Bu.”
Saya masih menjawabnya dengan lirih.
“Tidak usah
diganti, Sayang. Tidak apa-apa,” ujar Ibu Perpus dengan lembut. Beberapa
pengunjung perpus pun mendekati saya dan memandang saya dengan iba. Mendapat
perhatian begitu justru membuat air mata saya berlinangan kembali ketika ibu
perpus bertanya bagaimana kondisi keluarga saya sekarang dan beliau juga
menanyakan apakah banyak barang yang berhasil diselamatkan.
Begitulah,
apa yang menjadi pinjaman telah saya selesaikan. Alhamdulillah semuanya
merelakan sehingga saya tak perlu menggantinya.
Trauma
Adakah
trauma selepas kejadian tersebut? Jawabnya ya tentu ada, walau, waktu yang
menyembuhkan luka.
Enam bulan
pasca kebakaran tersebut, terjadi lagi kebakaran di kota kami. Jaraknya jauh
dari rumah sewaan tempat saya tinggal. Tapi, mama malah meminta kami mengemasi
barang-barang. Tidak semua barang sih, hanya barang yang penting yang
dikumpulkan di satu tempat.
Tetangga
saya lain lagi, beberapa bulan pasca kebakaran beliau tidak berani menaruh
baju-baju dalam lemari. Semuanya masih dalam buntalan siap angkat dengan asumsi
jika kebakaran terjadi lagi semuanya tinggal angkut.
Setiap ada
‘lonceng’ (tiang listrik yang dipukul dengan batu) berbunyi pertanda bahaya
itu, jantung saya seperti berdetak lebih cepat, gemetaran, dan kaki menjadi
dingin. Parasaan takut tentu saja ada dalam hati saya setiap melihat kobaran
api. Namun, saya merasa itu adalah sebuah reaksi yang wajar. Siapa yang tidak
ngeri dengan api yang berkobar menyeramkan di depan kita?
Semua telah
lama terjadi. Waktu menyembuhkan luka dan Allah mengganti banyak hal dari apa
yang telah hilang. Saya dan mama kerap berbincang tentang musibah tersebut,
tentang hikmah-hikmah dan kemudahan-kemudahan yang keluarga kami dapat pasca
musibah kebakaran tersebut.
Terakhir,
tetap sama dengan tulisan sebelumnya, semoga kita terhindar dan dihindarkan
dari bencana kebakaran dan selalu waspada terhadap hal-hal yang bisa
menyebabkan kebakaran.
Innalillahi .... pasti berat menjadi Mbak. Aku salut karena Mbak bisa bangkit.
BalasHapusWaktu itu memang berat, tapi waktu menyembuhkan luka. Alhamdulillah :-)
HapusTak terbayang kalau kejadian itu menimpa saya. Mungkin saya bisa frustasi
BalasHapusSemoga kita dihindarkan dari musibah kebakaran ya, Mbak...
HapusSelalu ada hikmah di tiap kejadian. Semoga derajat Mbak seeluarga dinaikkan oleh Allah. :(
BalasHapusAamiin... Iya, Mbak Liza. Ada hikmah di tiap kejadian :-)
Hapusceritanya :') sahabatku pernah cerita kalau dia pernah mengalami musibah kebakaran, dan selalu saja takjub sama teman - teman yang masih tegar saat diberi cobaan :')
BalasHapusIya, Mbak Sari. Saya juga suka sedih kalau ada yang tertimpa musibah kebakaran. Semoga selalu dikuatkan mereka yang pernah ditimpa musibah kebakaran dan kita dihindarkan dari musibah tersebut.
HapusSelalu ada hikmah atas setiap kejadian atau ketetapanNya , semoga mba nya sudah move on dan sudah bisa berbagi manfaat dengan memberi kisahnya di blog ini
BalasHapusIya, Mbak. Sudah move on karena sudah lama sekali kejadiannya. Alhamdulillah, Allah mengganti yang terbakar dengan rezekinya yang banyak sekali :D
Hapusbertubi2 banget ujiannya ya Mbak.
BalasHapusAku bacanya sampai nahan nafas, sepeda hilang, pinjaman2... ya Allah, berattt
Alhamdulillah berhasil melewati itu semua, Mbak :-)
HapusSemoga selalu diberikan rejeki & ketabahan atas semua ujian yg dialami ya mba :)
BalasHapusAamiin... Terima kasih, Mbak Nova.
HapusMusibah adalah musibah. Pinjaman tetap pinjaman.
BalasHapusDalam sekali maknanya kak, salut pada kakak dan keluarga yang sangat tegar dan tangguh menghadapi ujian. Sukses sealu ya kak...
Terima kasih, Mbak. Iya. Alhamdulillah kami juga beruntung banyak barang yang bisa diselamatkan jadi perputaran modal bisa segera berputar :D
HapusAda hikmah dibalik setiap musibah. Huhu pengalaman yg mungkin gak terlupakan seumur hidup ya mba. Ikutan terharu bacanya :"
BalasHapusIya, Mbak. Ga terlupakan dan semoga tidak terjadi lagi kepada siapa pun :-)
HapusMusibah kadang memang meninggalkan trauma. Sama dengan adik saya yang masih takut berada di ketinggian setelah ada gempa dahsyat di Sumatera Barat dulu. Dan hidup juga memang mesti berbenah ya, mba. Setelah kehilangan banyak hal plus ada hutang, orang-tua segera bangkit untuk hidup ke depannya.
BalasHapusIya, Mbak. Saya juga ada trauma tersendiri dengan naik pesawat. Moga nanti bisa saya ceritakan di sini. Tapi mau ga mau, saya naik pesawat juga :D
HapusSalam kenal mba Yanti. Baru saja topik ini juga menjadi bahasan di grup bersama sahabat2 saya, ada kakaknya yang mengalami musibah kebakaran. Semua hanya bisa diambil hikmahnya dan bersyukur orang rumah masih selamat.
BalasHapusTerima kasih sudah berbagi. Jadi pelajaran untuk saya juga.
Salam kenal juga, Mbak Susan. Semoga kakak sahabatnya bisa tabah menghadapi musibah ya. Semuanya pasti tidak ingin mendapat musibah kebakaran tapi ada takdirNya yang tidak bisa kita hindari.
HapusSedih bacanya saya ikut merasakannya meski lewat tulisan ini. Semuanya tlh berlalu y mba hikmahnya pasti bnyk dri smeua kejadiannya, dan perihal pinjaman ada pula yang malah memanfaatkan kejadian yang menimpanya mba :)
BalasHapusPeluk mba kenceng
Iya, Mbak. Banyaaak banget hikmahnya dan jadi pengalaman hidup yang berharga. Peluk mbak Herva juga :D
Hapus