Hai… hai….
Akhir tahun banyak film baru diputar di TV. Sekarang saya sedang menyaksikan
film Sabtu Bersama Bapak. Kemudian ada teman nanya tentang ceritanya dan saya
lupa. Hahaha…. Ingatnya sih garis besar cerita saja. Untunglah ada resensi yang
membuat apa yang terlupa bisa teringat lagi.
Novel Sabtu Bersama Bapak sudah saya
baca pada tahun 2014. Resensinya saya kirim ke Tribun Kaltim dan dimuat di sana
pada tanggal 12 Oktober 2014. Ternyata resensinya belum saya posting di blog
ini. Ya udah deh, mumpung lagi ingat saya posting saja. Happy Reading ^_^
Resensi Sabtu Bersama Bapak di Tribun Kaltim Judul diubah redaksi dari yang saya kirim |
***
Membersamai Anak Saat Telah
Wafat
Setiap orangtua pasti menginginkan untuk
terus mendampingi kehidupan anak-anaknya. Dari mereka masih dalam kandungan
sampai ke dalam tahap-tahap kehidupan yang mereka lewati. Masuk sekolah hingga
menikah. Namun, kehidupan tidak selamanya berjalan sesuai rencana dan
keinginan. Ada kalanya orangtua berpulang saat anak-anaknya masih kecil dan
belum tumbuh dewasa.
Gunawan Garnida, seorang ayah
dari dua orang anak Satya dan Cakra menyadari kalau waktunya untuk mendampingi
anak-anaknya tinggal sedikit karena penyakit yang dideritanya. Namun, Gunawan
masih ingin terus mendampingi anak-anaknya. Ingin anak-anaknya tumbuh di
sampingnya. Ingin tetap bercerita pada anak-anaknya dan mengajarkan
anak-anaknya tentang banyak hal. (Halaman 5).
Dengan bantuan sebuah handy cam, Gunawan
merekam dirinya sendiri dan bercerita tentang beragam hal. Setelah Gunawan
wafat, video itu diputarkan oleh istrinya untuk dua anaknya. Video akan diputar
setiap hari sabtu sore, sesudah adzan ashar. Bagi Satya dan Cakra itu adalah
waktu terbaik mereka setiap minggu. Sabtu bersama Bapak (Halaman 6)
Video rekaman dari sang Bapak
tidak diputar secara sekaligus. Gunawan sebagai Bapak dari Satya dan Cakra
sudah mempersiapkan video rekaman dirinya secara berkala. Ada yang diputar saat
usia sang anak 14 tahun, 17 tahun dan seterusnya hingga mereka akan mengarungi
kehidupan baru bernama pernikahan.
Satya dan Cakra kemudian tumbuh
dewasa dan dihadapkan dengan konflik kehidupan masing-masing. Satya bekerja
sebagai geophysicist di
sebuah kilang minyak di proyek lepas pantai. Satya kemudian menjadi seorang
bapak yang terasa menakutkan bagi anak-anaknya. Satya menjelma menjadi ayah
yang pemarah. Satya marah karena anak sulungnya tidak bisa menjawab soal
matematika yang dia lontarkan, anak tengahnya belum bisa berenang dan anak
bungsunya masih mengompol.
Satu email dari sang istri
menyadarkannya. Sang istri mengatakan anak sulungnya tidak bisa menjawab soal
matematika karena kemampuan sensor visualnya lebih baik dari sensor audio
sehingga anaknya lebih suka menjawab pertanyaan tertulis. Anak tengahnya tidak
bisa berenang karena menunggu bapaknya yang mengajarinya berenang. Sedangnya
anak bungsung masig mengompol karena terlalu senang saat berkumpul bersama
bapaknya. (Halaman 27) Alasan-alasan yang dikemukakan sang istri membuat Satya
tersadar. Satya pun kembali teringat video-video rekaman dari bapak. Dia
pun bertekad untuk menjadi suami dan bapak yang baik.
Sedangkan Cakra besar menjadi
seorang Deputy Directur di sebuah bank asing. Sebuah
pencapaian karier yang tidak biasa jika melihat usianya yang masih muda. Namun,
kecemerlangan kariernya tidak sama dengan kisah cintanya. Di usianya yang
matang dengan kehidupan ekonomi yang mapan, Cakra masih bertahan dengan status
single.
Cakra sudah punya rumah sendiri
tapi belum ada nyonya rumah yang mengurusnya. Terkait hal tersebut Cakra
teringat pesan bapaknya tentang seorang suami yang harus ‘siap melindungi’ dan
itu diwujud kesiapan dari ‘siap melindungi’ adalah punya atap yang dapat
melindungi istri dan anak-anak dari panas, hujan dan bahaya. Tidak perlu megah.
Tidak perlu kaya. Yang jelas, ada atap untuk melindungin dan dibayar dari
kantong sendiri. (Halaman 19)
Satya dan Cakra memang punya
karier cemerlang di bidangnya masing-masing. Hal ini juga berdasarkan nasehat
dari bapaknya yang mereka dengarkan di hari sabtu. Sebuah video tentang
mengejar mimpi masing-masing. Mimpi hanya baik jika kita melakukan planning untuk merealisasikan mimpi itu. Jika
tidak hanya akan membuang waktu. Bapaknya meminta Satya dan Cakra untuk bermimpi
setinggi mungkin. Dengan syarat, rajin dan tidak menyerah. Mimpi tanpa rencana
dan action hanya akan membuat anak istri kalian lapar. Kejar mimpi kalian.
Rencanakan. Kerjakan. Kasih deadline, kata si Bapak dalam
video rekamannya. (Halaman 151)
Bapak dari Satya dan Cakra memang
telah tiada sejak mereka masih kecil. Sang bapak tidak bisa lagi menemani
mereka bermain dan ada di samping mereka. Tapi kedua anak itu tidak pernah
kehilangan sosok bapaknya lewat video-video rekaman itu. Lewat video itu sang bapak
membantu anak-anaknya menjalani apapun yang mereka jalani. Meskipun disajikan
dalam bentuk novel, namun Sabtu bersama Bapak terdapat banyak pelajaran tentang
menjalani kehidupan juga ilmu tentang mendidik anak di dalamnya.
***
Data Buku :
Judul
: Sabtu Bersama Bapak
Penulis
: Adhitya
Mulya
Penyunting
: Resita Wakyu Febiratri
Penerbit
: Gagas Media
Tebal
Buku : 278 + x Halaman
ISBN
: 979-780-721-5
Tahun Terbit :
2014
***
Aku belum baca bukunya dan kelewatan re-run film nya di TV.. Hiks.. Ini katanya keren banget ya? Semoga ada re-run lagi di stasiun TV lain deh.. *ngarep* Btw, mbaknya juga keren banget nih resensi bukunya sampe dimuat di koran.. Thanks for sharing ya Mbak.. Salam kenal.. :")
BalasHapusSalam kenal juga, Mbak. Kalau udah sekali tayang di TV biasanya bakalan sering tayang ya, Mbak. Nanti ada lagi deh filmnya di re-run ya :D
Hapusbarusan liat di tv.. tapi yakin deh..pasti seru baca buku ketimbang filmnya yang kisahnya banyak dipotong-potong...
BalasHapusIya, Mbak Nova. Kalau kita yang suka baca buku lebih asyik bukunya ya. Tapi filmnya juga bikin baper. hehehe
HapusWah ceritanya ternyata bagus, pengen nonton ini tapi langsung anak2 bilang "Jangaaaan..." ternyata ceritanya katanya menyedihkan hehe...
BalasHapusAda sedihnya, ada kocaknya juga sih, Mbak. Tapi lumayan bagus sih filmnya. Ada yang baper saat nonton. Hehehe...
HapusIni novel favoritku mba, mau ditulis di blog keburu kesalip filmnya ahhaha...ruar biasa Bang Adithya Mulya *sok kenal* bisa nulis cerita ini padahal cerita sebelumnya JOmblo jauh banget kereenn :D
BalasHapusSuami istri penulis ya, Mbak Herva. Ayo mbak ditulis aja. Gpp udah kesalip filmnya. Novelnya masih banyak yang memburu :D
HapusSemalam nonton namun loncat-loncat jadi kurang faham, malah lebih memilih Pangako Sa'yo di MNC TV haha.
BalasHapusHahaha... Kak Lina, kalau nonton di TV saya juga kurang konsen. beda sama di bioskop. Duduk diem. Hehehe...
HapusBagus mb ceritanya...beberapa hr yll juga diputar di tv ya.
BalasHapusIya, Mbak. Kemarin malam tayang di TV. Akhir tahun banyak film yang tayang di TV :D
HapusMau baca novelnya dari dulu belum kesampaian.
BalasHapusBuat pecinta buku lebih asyik novelnya sih, Mbak :D
Hapusidenya unik ya, Mak. Duh masih dalam antrian bacaan nih. Banyak buku belum kebaca. *sok sibuk :D
BalasHapusIya, Mbak. Unik. Saya pun banyak timbunan buku nih #duh :D
HapusPenasaran sekali. Bikin mewek nangis nggak ya Mbak?
BalasHapusBerkaca-kaca aja, Mbak. Ga sampai mewek gitu. Hihihi... Tapi lumayan bikin baper nontonnya :D
HapusOh kalau di buku anaknya 3 ya, mba. Di filmnya jadi cuma 2 😁
BalasHapusIya. Kalau 3 kebanyakan bayar pemain ya, Mbak. hihihi...
HapusKemarin tayang di Tv ya padahal film baru hehheu saya jd tertarik baca novelnya deh pasti lebih seru
BalasHapusNggak Pnya bukunya belum nonton filmnya cukuap membahagiakan, aku mo ajk suamilah nonton ini
BalasHapus