Pernah
merasakan tinggal di rumah toko alias ruko? Saya, tentu saja pernah. Sebagian
besar kehidupan yang saya lewati adalah tinggal di ruko. Sampai sekarang pun
orangtua saya masih menetap di ruko.
Ada banyak alasan mengapa sebuah
keluarga tinggal di ruko. Mas Anang dan anak-anaknya dulu pernah tinggal di
ruko selepas Mimi KD dan Pipi Anang berpisah. Kalau untuk saya, alasannya
berbeda dengan alasan Aurel dan Azriel. Saya tinggal di ruko semenjak abah
beralih profesi. Yang semula sopir angkot menjadi pedagang.
Gambar dari Pixabay |
Waktu usia saya 4 tahun, abah memang
memulai usaha baru. Sebelumnya abah adalah sopir angkutan kota
Barabai-Banjarmasin, kemudian beliau memulai usaha dagang. Rumah yang keluarga
saya tinggali yang awalnya rumah biasa diubah menjadi toko. Bagian depan rumah
yang semula ruang tamu dijadikan toko. Rumah keluarga kami memang terletak di
kawasan dekat pasar sehingga memang kawasan strategis untuk berjualan.
Awal mula tinggal di ruko, kehidupan
kami sangat sederhana. Ruang tamu yang disulap menjadi toko, otomatis membuat
kondisi rumah berubah. Ruangan yang dulu dijadikan kamar tidur kemudian
dibongkar menjadi ruang tamu seadanya. Jika malam tiba dan sudah waktunya
istirahat, kursi tamu yang ada di ruang tamu digeser ke pinggir. Tempat kursi
itu kemudian digantikan tempat untuk kasur. Alhamdulillah, sekarang orangtua
saya sudah menempati ruko yang lebih besar dari sebelumnya. Jadi, tidak perlu
geser-geseran benda lagi jikalah ingin tidur karena sudah ada kamar tidur
masing-masing untuk penghuni rumah.
Tinggal di ruko ada bagian menyenangkan dan tidak terlalu
menyenangkan. Bagian menyenangkannya adalah untuk ke ‘tempat kerja’ orangtua saya tidak perlu mengeluarkan biaya
transportasi dan juga tidak perlu waktu buat bermacet ria. Kan tinggal
melangkah ke bagian depan rumah (padahal saya tinggal di kota kecil yang enggak
ada macet. Hehehe…). Selain itu saya kecil juga selalu mendapati orangtua yang
komplit di rumah setiap pulang sekolah, karena ‘tempat kerja’ abah di rumah itu
sendiri.
Untuk urusan makan siang dan
makan-makan yang lainnya pun tinggal masuk ke dalam rumah. Kalau butuh
istirahat, bisa gantian jaga toko dan bisa sekejap menikmati tidur siang.
Rumah pun selalu terbuka, jadi,
setiap ada teman yang mencari saya, mereka tidak perlu ketok-ketok pintu.
Tinggal nanya ke yang jaga toko, apa saya ada di rumah. Saya pun menjadi lebih
mudah memberitahu teman di mana saya tinggal karena ada nama toko di depan
rumah saya. Ketika musim belanja online seperti
sekarang, saya juga membubuhkan nama toko di alamat agar kurir mudah menemukan
rumah saya. Kurir pun tak perlu ketok-ketok pintu karena jika toko buka akan
ada yang jaga di depan rumah karena sekaligus jaga toko.
Tinggal di ruko dengan usaha
orangtua yang berjualan juga membuat akses saya terhadap uang bebas. Saya tidak
mengalami dikasih uang saku dengan jumlah tertentu sama orangtua. Yang ada saya
bebas mengambil uang di laci toko (sama aja sih ya dikasih juga namanya.
Hehehe… Maksudnya tidak dijatah dengan jumlah tertentu) Tapi, dasar anak baik,
saya hanya ambil seperlunya dan tidak berlebihan. Hahaha… Untuk masalah ini,
saya sudah mendapat pengajaran dari orangtua. Jadi, mereka percaya banget
anaknya tidak bakalan macam-macam dengan
uang yang bebas ambil.
Bagian
kurang menyenangkannya adalah privasi yang menjadi sedikit terganggu. Rumah
yang selalu terbuka membuat saya kerap merindukan rumah dalam keadaan tertutup.
Di mana saya bisa bersantai duduk manis di dalam rumah dengan pakaian ala
rumahan. Hal yang sulit saya lakukan kalau di siang hari karena karyawan di
toko bisa keluar masuk rumah.
Sebagian bagian rumah menjadi tempat
penyimpanan barang, jadi karyawan bisa masuk ke beberapa bagian rumah untuk
mengambil barang. Ketika sudah paham dengan yang namanya batasan aurat, saya
pun selalu berpakaian panjang dan tertutup jika berada di ruangan di mana
karyawan toko bisa masuk. Misalkan, di ruang tamu.
Tantangan
lebih berat ada saat Ramadan tiba. Yang namanya wanita ada masa di mana ia
libur berpuasa, kan? Tinggal di ruko dengan pintu yang terbuka lebar dan
pembeli yang berkerumun di toko membuat saya tidak leluasa memasak buat makan.
Pernah nih saya goreng ikan asin dan
langsung bikin heboh para karyawan dan juga para pembeli. Apalagi
sebagian besar pembeli adalah kaum Adam karena orangtua saya jualan spare part mobil yang dominasinya para
pria yang datang membeli. Lagian kenapa juga saya goreng ikan asin yang
wanginya semerbak itu? Hahaha…. Goreng telur pun udah bikin karyawan
misuh-misuh dengan aromanya. Perut yang lapar memang kerap membuat indra
penciuman jadi lebih tajam.
Solusi yang saya temukan kemudian
jika libur puasa adalah memasak sebelum toko buku atau makan seadanya dari sisa
sahur anggota keluarga lainnya. Atau masak saat toko sedang tutup, biasanya
toko orangtua saya tutup ketika waktu shalat tiba. Tutup sementara buat shalat
kemudian buka lagi.
Kalau
mau mengadakan acara yang mengundang orang banyak juga bakalan repot.
Barang-barang jualan sebagian ada ditaruh di kotak-kotak yang digeletakkan
begitu saja di lantai rumah karena rak-rak barang sudah penuh. Jika ada acara,
membereskan barang-barang itu menguras tenaga dan waktu. Proses jual beli pun
menjadi sedikit terganggu.
Ketika saya mau pun kakak saya
mengadakan resepsi pernikahan, sudah kesepakatan tanpa perundingan kalau acara
akan diadakan dengan menyewa gedung. Pernah ada yang bertanya kenapa tidak
mengadakan acara di rumah saja? Kakak saya pun menjawab, “Kalau di rumah, toko
libur seminggu. Kalau di gedung cukup libur di hari H aja. Sisanya bisa jualan
buat cari duit ngebiayain buat pesta.” Hehehe… Tentunya itu jawaban sambil
bercanda karena yang bertanya juga kenalan dekat. Tapi, ada benarnya juga sih
jawabannya.
Itulah sekelumit cerita tentang suka
duka tinggal di ruko. Bukan untuk dikeluhkan, tapi untuk disyukuri. Harus
bersyukur banget kan masih punya tempat untuk bernaung sekaligus berbisnis.
Kalau disuruh memilih, saya lebih memilih untuk tinggal di rumah biasa. Hal itu
memang terwujud setelah saya menikah dan mengikuti suami. Saya tidak tinggal di
rumah toko lagi.
Jawaban berbeda dilontarkan oleh
mama saya. Belum lama ini beliau bilang kalau disuruh memilih lebih milih
tinggal di rumah toko karena mama sudah merasa
nyaman tinggal di ruko. Orangtua saya juga menyarankan kalau mau beli rumah,
beli ruko saja. Kalau mau usaha, tempat sudah tersedia, begitu kata mereka.
Kalau pun belum ada usaha, ruang buat toko bisa dijadikan garasi mobil.
Hehehe…
Kalau teman-teman, apa punya
pengalaman tinggal di ruko atau rumah toko?
malah enak dong mbak, kalau ramadhan, banyak orang jualan :D *eh malah godaan banget ya :D
BalasHapusKalau di daerah sy banyak yang jualan dari siang, mbak. Kan sy perlu makan dari pagi. Hehehe... eh sebenarnya ada sih yang jualan dari pagi tapi saya ga mau beli :D
HapusWah bener2 ini Mbak. Memang asiknya bisa sambil leyeh2, makan minum sambil angkut jemuran ya kalo ruko nya jadi satu. Gada uang bensin juga. Ini penghematan super banyak. Kalo nyewa, wah, ngebayangin biaya sewana juga, tranport juga.
BalasHapuswarungku beda sama rumah Mbak, jadi ya nggak bisa disambi2 urusin rumah, sampai rumah udah rempong padahal. sering ngebayangin kalo warung jadi satu, pasti asik tuh...
Kebayang rumah buka terus. Dan pasti rame ya.
BalasHapussekarang saya kerjanya ngantor di rumah, jadi pengen ada ruko
BalasHapusNukar ruko jua kah? :))
BalasHapusBelum ada pengalaman tinggal di ruko. :D Tapi sempat juga rumah sekalian jadi kantor. :D Biasanya yang ribet anak2 kalau pas lagi ada klien. ^_^
BalasHapusRumah ortu dan tempat kerjanya hanya selisih satu rumah saja. Meski demikian, kalau ada karyawannya (laki-laki semua kecuali pelayan toko)butuh sesuatu maka langsung saja masuk ke rumah lewat pintu belakang. Kadang deg-degan kalau aku gak pakai jilbab.
BalasHapusaku belum pernah tinggal di ruko nih mbak, tapi sering ngeliatin tetangga usaha aku repot punya anak kecil tinggal di ruko, selain sirkulasi udara yang menurut aku nggak bagus, terus ya privasi jadi kurang... tapi memang yang memilih di ruko pasti punya pertimbangan masing2
BalasHapusDulu sempat berpikir seru juga kali ya tinggal di ruko. Tempat usaha dan tempat tinggal jadi satu, ga perlu ongkos. Tapi ngebayangin privasi agak terganggu kayanya jadi agak ga nyaman. Apalagi aku tipe yang kalau lagi pengen leyeh-leyeh suka sebel sama tamu.
BalasHapusAda plus minusnya ya Yan. Tapi kalau saya tetap mendambakan rumah normal seperti biasa. Mempunyai pagar dan halaman sendiri di depan belakang dan kanan kiri. Plus rumah tetangga yang juga punya halaman :D
BalasHapusSaya malah suka berimajinasi gimana ya rasanya tinggal di Ruko. Kebetulan konsep ruko dalam kepala saya yang bagian bawah untuk usaha dan bagian atas untuk tempat tinggal. Saya mikirnya paling ribet buat parkir hehe.
BalasHapus