“Uangku hilang,” bisik
Hanum pada Azka. Keterkejutan tidak bisa disembunyikan dari wajah Azka saat
mendengar berita dari Hanum.
“Hilang di mana?” Tanya
Azka. Azka melirik raut wajah Hanum yang masih terlihat tegang dan gelisah.
“Berapa banyak?” Azka
bertanya lagi. Wajah gelisah Hanum membuat ia penasaran.
“Lima puluh ribu,”
jawab Hanum. Azka terkejut. Menutup mulutnya dengan tangan.
Hanum kemudian
menceritakan tentang uangnya yang hilang. Uang itu ada di tas Hanum. Hanum
memang membawa uang karena sepulang sekolah ia berencana membeli buku cerita.
Buku cerita itu karya dari penulis favorit Hanum. Hanum sudah lama menyisihkan
uang jajannya untuk membeli buku tersebut.
Setelah pelajaran
olahraga, Hanum memeriksa kantong tasnya. Sudah tidak ada uang di sana. Hanum
panik. Menarik Azka keluar kelas dan bercerita pada Azka. Minggu lalu Azka
berhasil menyelidiki misteri pecahan kaca di ruang pameran sekolah. Sebelumnya
Azka juga menjawab rasa penasaran teman-temannya waktu taman sekolah rusak.
Detektif Azka, begitu teman-teman kemudian menjulukinya.
“Hemm… Kelas kosong
saat pelajaran olahraga. Kalau ada yang mencuri uang kamu, saat kelas kosong
waktu yang tepat. Waktu pelajaran olahraga ada yang masuk kelas tidak ya?” Tanya
Azka pada dirinya dan pada Hanum.
Kening Azka berkerut.
Pertanda ia sedang berpikir. Azka sedang mengingat-ingat kejadian waktu
pelajaran olahraga tadi.
“Aku melihat Risa ke
dalam kelas. Katanya botol minumnya ketinggalan. Kemudian ada Fadhil juga, Aku
mendengar Fadhil minta izin ke kelas karena handuknya ketinggalan. Setelah
itu…” Kalimat Hanum menggantung kemudian Hanum menggeleng. Azka mengangguk
mengerti tanda gelengan kepala Hanum. Hanum pasti tidak melihat lagi siapa yang
masuk kelas. Azka pun luput memerhatikan teman-temannya saat pelajaran
olahraga.
“Mereka ditemani siapa
ke kelas?” Tanya Hanum.
Ia teringat sesuatu. Bu
Novia, wali kelas mereka sudah memperingatkan kalau masuk kelas saat pelajaran
olahraga harus ada yang menemani.
“Risa sama Diana.
Fadhil sama…” Hanum terlihat berpikir. “Mungkin Dino,” lanjut Hanum lagi.
“Aku akan menanyai
mereka,” cetus Azka yang disetujui oleh Hanum.
***
Saat istirahat pertama,
Hanum mencegat Diana yang mau ke kantin. Mereka berbicara di ujung koridor sekolah.
“Aku tidak masuk ke
kelas, Azka. Hanya sampai di depan. Risa masuk ke kelas sendiri. Errr…. Tapi
jangan bilang siapa-siapa ya,” Diana melihat sekeliling. Seperti memastikan
kondisi aman. Jantung Azka jadi berdebar lebih cepat melihat reaksi Diana. Diana
seperti ingin menyampaikan sesuatu yang rahasia.
“Aku lupa menyiram
bunga-bunga di depan kelas. Jadi, aku menamani Risa biar bisa menyiramnya. Tadi
aku datang terlambat,” bisik Diana yang membuat Azka melengos kecewa. Informasi
Diana bukan yang ia harapkan.
“Jadi, kamu tidak ikut
masuk kelas dan tidak melihat apa yang dilakukan Risa?” Tanya Azka lagi.
“Risa mengambil botol
minumnya. Memangnya kenapa?” Diana balik bertanya.
“Hanya bertanya,” jawab
Hanum cepat sambil mengedipkan matanya. “Makasih ya,” ujar Hanum lagi kemudian
berlalu meninggalkan Diana.
***
Sepulang dari kantin,
Azka juga mendekati Dino untuk bertanya.
“Bukan aku yang
menemani Fadhil. Tapi Ridho,” jawab Dino.
Azka terkikik geli.
Rupanya Hanum salah memberikan informasi. Azka jadi ingat kalau Hanum memang
sedikit agak pelupa. Beberapa kali Azka melihat Hanum lupa sesuatu. Azka pamit
pada Dino dan segera mencari Ridho.
“Kami masuk kelas
berdua,” jawab Ridho. “Fadhil mengambil handuknya,” jelas Ridho.
Ketika pelajaran
olahraga, Fadhil memang tak bisa lepas dari handuk. Kata Fadhil, keringatnya
banyak. Jadi, ia perlu handuk untuk menyeka keringatnya. Seluruh kelas tahu
akan hal itu. Baju Fadhil sering basah karena keringat.
“Ada apa, Azka? Kamu
menyelidiki apa?” Ridho bertanya dengan tatapan menyelidik. Azka menggeleng dan
kemudian berlalu diiringi tatap curiga dari Ridho.
Azka kemudian duduk di
tempat duduknya. Ia mencoret-coret sesuatu di kertas. Fadhil bersama Ridho
masuk ke kelas. Kemungkinan mereka menjadi tersangka tidak mungkin. Kecuali
kalau mereka bekerja sama. Diana tidak ikut masuk ke kelas. Hanya Risa yang
masuk ke kelas. Kecondongan tersangka lebih ke Risa.
Azka melihat ke arah
tempat duduk Risa dan Hanum. Mereka hanya dipisahkan satu gang kecil. Jadi,
bisa dibilang Risa dan Hanum bersebelahan duduk. Jika Risa ke kelas buat
mengambil botol minum, itu artinya jarak dari bangkunya ke bangku Risa dekat
sekali.
Huff… Azka menarik
napas. Saat mendengar nama Risa tadi ia teringat minggu kemarin Risa bilang ia
perlu uang. Apa Risa sedang kesulitan uang sehingga mengambil uang Hanum? Ah,
belum ada bukti dan saksi mata, kata Azka dalam hati. Ia berusaha tidak terlalu
mencurigai Risa.
***
Bel masuk kemudian
berbunyi. Teman-teman Azka pun satu per satu masuk ke dalam kelas. Langkah
mereka menuju bangku masing-masing.
“Diana, apa kamu sibuk
sore ini?” Suara Risa membuat Azka mendongak.
“Emm… Enggak sih, Sa.
Memangnya kenapa?” Jawab Diana.
“Temani aku ya? Aku mau
beli kado buat kakakku. Sebenarnya mau pulang sekolah sih. Uangnya aku bawa
nih. Tapi kalau harinya cerah gini, malas juga. Mending nanti sore saja,” kata
Risa panjang lebar.
Risa juga menunjukkan
uang yang dikeluarkannya dari dalam saku seragamnya. Satu lembar uang berwarna
biru. Sontak Azka dan Hanum berpandangan. Dari ujung matanya, Azka juga melihat
Risa melirik ke arah mereka berdua dengan sebuah senyum yang terlihat tak biasa
di wajahnya. Azka menoleh curiga pada Risa, namun tak lama kemudian Ustadzah
Nurin sudah masuk ke dalam kelas.
***
“Hari ini Ustadzah akan
bercerita tentang salah satu istri Rasulullah. Ada yang tau Ustadzah mau
bercerita tentang siapa?” Ustadzah Nurin bertanya di depan kelas. Ustadzah
Nurin mengajar pelajaran Sejarah Islam.
Teman-teman mencoba
menjawab pertanyaan Ustadzah Nurin. Ada yang menjawab Khadijah, ada yang
menjawab Aisyah. Ada juga yang menjawab Hafshah, dan jawaban-jawaban lainnya.
“Cerita tentang
Shafiyah binti Huyai saja, Ustadzah. Mirip dengan nama Sofia,” kata Sofia yang
duduk di depan Hanum. Ibu Guru tersenyum pada Sofia.
“Baiklah. Ibu akan
bercerita tentang istri Rasululullah yang bernama Shafiyah binti Huyai. Ada
yang tau ceritanya?” Seluruh kelas tidak ada yang menjawab.
“Suatu waktu Rasulullah
menggandeng istri beliau yang bernama Shafiyah keluar dari mesjid. Ketika
Rasulullah sampai di pintu mesjid, tiba-tiba ada dua orang ansar berjalan dan
memberi salam kepada Rasulullah. Kalian tahu apa artinya ansar?” Tanya
Ustadzah.
“Ansar adalah sebutan untuk kaum yang menerima hijrah Rasulullah
dari Makkah menuju Madinah,” Fadhil menjawab. Ustadzah membenarkan.
“Kembali ke cerita
Rasulullah bersama istri beliau Shafiyah binti Huyai. Saat bertemu dengan dua
orang Ansar itu, Rasulullah memanggil dua orang Ansar tersebut dan berkata
kalau yang beliau gandeng itu adalah istri beliau. Mendengar perkataan
Rasulullah, kedua orang Ansar itu pun berkata, ‘Wahai, Rasul. Kami tidak
mungkin berburuk sangka kepada engkau,’. Tetapi Rasulullah tetap menjelaskan
agar tidak ada prasangka dan semuanya jelas. Kalau yang digandeng Rasul adalah
istri beliau.
“Jadi, anak-anakku
sekalian, kita memang diperintahkan untuk tidak berburuk sangka pada sesama.
Tapi, kita juga jangan membuat orang menjadi berburuk sangka kepada kita.
Masing-masing harus saling menjaga, agar tidak ada prasangka dalam kehidupan.
Paham?” Kata Ustadzah Nurin mengakhiri cerita. Seluruh kelas menyahut paham.
Azka mengangguk-angguk mendengarnya. Cerita tentang ini baru saja ia dengar.
Tak sengaja mata Azka
melirik Risa. Di saat bersamaan, Risa juga melirik kepada Azka. Gerakan tubuh
Risa terlihat gelisah. Azka menghela napas, ingat apa yang disampaikan Ustadzah
Nurin, harusnya ia tidak berburuk sangka pada Risa. Tapiii….
***
“Jadi, kamu curiga pada
Risa?” Tanya Hanum pada Azka saat istirahat kedua. Azka mengangguk.
“Kamu lihat kan uang
yang tadi ia tunjukin ke Diana?” Hanum mengangguk. “Sama persis dengan jumlah
uang kamu yang hilang, Num,” lanjut Azka.
“Tapi, Ka,” Hanum
nampak ragu. “Semua orang kan bisa punya uang sebesar itu,” sambung Hanum. Azka
nampak berpikir. Apa yang dikatakan Hanum betul juga.
“Lagipula… “ Hanum
nampak memikirkan sesuatu. Kening Azka berkerut, pertanda ia bertanya pada
Hanum. “Lagipula… Kalau Risa yang mengambil, mengapa Risa menunjukkan uang itu
di depan kita. Benarkan?” ujar Hanum. Azka mengangguk. Pendapat Risa benar
juga.
“Selain Risa, apa ada
lagi yang kamu curigai?” Tanya Hanum pada Azka.
“Jadi begini ceritanya,
Num. Uang kamu hilang sewaktu pelajaran olahraga. Di saat itu Risa ada masuk
kelas bersama dengan Diana. Tapi, Diana tidak masuk kelas. Ia menyiram bunga di
depan kelas. Sementara Risa masuk sendiri. Kemudian ada Ridho dan Fadhil yang
juga masuk kelas. Kata Ridho, ia masuk bersama Fadhil. Kemungkinannya kecil,
kecuali Ridho dan Fadhil bekerjasama. Tapi aku rasa kemungkinannya juga kecil,”
Azka membeberkan analisanya. Kening Hanum nampak berkerut.
“Ridho? Bukan Dino?”
Tanya Hanum. Azka tertawa.
“Bukan Dino, Num. Tapi
Ridho,” jawab Azka. Hanum menepuk keningnya. Kemudian ia tertawa.
“Aku sering lupa,” ujar
Hanum sambil nyengir. Melihat cengiran Hanum, Azka jadi terpikir sesuatu.
“Jangan bilang kalau
sebenarnya kamu lupa di mana kamu menaruh uangnya. Siapa tahu ternyata kamu
tidak membawa uangnya ke sekolah tapi ditinggal di rumah,” kata Azka. Matanya
memandang dengan tatapan menyelidik kepada Hanum. Kening Hanum nampak berkerut.
Kemudian ia menggeleng.
“Aku ingat persis kalau
memasukkan uang itu ke dalam kantong tas, Azka,” tegas Hanum.
“Baguslah. Penyelidikan
kita akan terus berlanjut,” cetus Azka.
“Tapi…” Azka menoleh
mendengar suara Hanum. Hanum nampak menggigit jarinya. Hanum kemudian memandang
Azka dengan pandangan bersalah.
“Tapi apa, Num?” Tanya
Azka. Hanum nyengir. Kemudian menarik tangan Azka.
Azka terus bertanya ada
apa, tapi Hanum tak juga menjawab. Hanum tetap menarik tangan Azka menuju
kelas. Kemudian menuju bangkunya. Azka berhenti bertanya, ia menunggu apa yang
dilakukan Hanum.
Hanum kemudian
mengeluarkan pakaian olahraga dari laci mejanya. Kemudian ia membuka lipatan
celana olahraganya. Merogoh saku celana dan menunjukkan sesuatu pada Azka. Azka
menepuk keningnya melihat satu lembar uang lima puluh ribuan yang ditunjukkan
Hanum.
“Maaf, Azka. Aku lupa.
Sebelum pelajaran olahraga aku sudah menaruhnya di celana olahraga,” ujar Hanum
dengan nada bersalah. Azka menepuk keningnya. Mulutnya sudah siap mengeluarkan
omelan. Namun, senyum polos Hanum membuat Azka luluh. Azka tersenyum.
“Ya sudahlah, Num.
Untung kita masih tahap mencurigai. Bukan menuduh. Tidak terbayang kalau kita
sudah menuduh Risa secara langsung,” kata Azka. Hanum mengangguk. Menyetujui
apa yang dikatakan Hanum.
“Hanum… Azka…” Sebuah
suara yang memanggil nama mereka membuat Hanum dan Azka menoleh. Ada Risa dan
Diana yang mendekat ke arah mereka.
“Aku mau minta maaf,”
kata Risa pelan. “Sebenarnya aku mendengar saat Hanum bilang uangnya hilang.
Kemudian Diana juga memberitahu kalau kamu menanyai dia tentang aku masuk kelas
saat olahraga. Jadi, aku tahu kalau kamu mencurigai aku, Ka,” sambung Risa.
Azka terbelalak mendengarnya.
“MasyaAllah, Risa.
Seharusnya kan aku yang minta maaf karena sudah curiga. Bukan kamu. Ternyata
uang Hanum tidak hilang. Ia hanya lupa menaruhnya. Mengapa kamu yang minta
maaf?” Tanya Azka tak mengerti. Ia justru yang merasa bersalah pada Risa.
“Ingat tidak cerita
Ustadzah Nurin tadi? Harusnya kita kan tidak boleh membuat orang lain berburuk
sangka pada kita. Aku tahu kalau uang Hanum hilang dan kamu curiga sama aku.
Jadi, aku sengaja membuat kamu tambah curiga dengan menunjukkan uang yang
kupunya sejumlah uang Hanum yang hilang. Salahku di situ. Maaf ya,” ujar Risa
lagi. Azka kemudian paham maksud pembicaraan Risa. Azka kemudian merangkul
Risa.
“Aku juga minta maaf
ya, Risa,” bisik Azka. Risa tersenyum. Kemudian Diana dan Hanum ikut merangkul
mereka berdua. Semuanya kemudian tertawa.
“Senang ya belajar
sejarah Islam. Rasulullah memang keren sekali,” ujar Diana. Azka dan yang lain
setuju.
“Rasulullah idolaku,”
ujar Azka.
“Idolaku juga,” cetus
Hanum.
“Aku juga mengidolakan
Rasulullah.” Risa tak mau kalah. Mereka tertawa bersama. Azka menarik napas
lega. Hari ini ia banyak mendapat pelajaran dan lega karena uang Hanum tidak
hilang.
*end*
Cerpen
ini sebenarnya merupakan cerpen awal yang saya ingin ikutkan di sebuah lomba
menulis cerpen anak. Tapi setelah selesai menulis, saya merasa banyak kemiripan
dengan cerpen saya yang lainnya yang dimuat di Majalah Girls yang berjudul
Misteri Uang Niken. Setelah meminta pendapat dari Mbak Shabrina WS, akhirnya saya
batal mengirimkan cerpen ini dan menulis cerpen baru dengan ide yang sama. Maka
kemudian jadilah cerpen Rahasia Shafiya yang saya posting sebelum ini.
Seperti yang saya bilang sebelumnya,
Rahasia Shafiya gagal menang di lomba tersebut. Jadi unggulan pun tidak. Hahaha….
Apakah saya merasa perjuangan saya menulis sia-sia? Enggak juga sih. Karena
saya selalu percaya bahwa tulisan itu akan semakin terasah jika kita terus
mengasahnya. Mengasahnya ya salah satunya dengan banyak-banyak menulis.
Cerpen saya memang kalah lomba, tapi
proses menulisnya akan menambah ‘jam terbang’ saya dalam menulis. Walaupun
tulisan saya ya masih gitu-gitu aja.
Buahahaha…. Terima kasih yang sudah sudi membaca. Menyelipkan info sedikit, ada
cerpen saya yang berjudul Titipan Tante Arin yang dimuat di Majalah Bobo
terbaru edisi nomor 15 yang terbit Kamis tanggal 20 Juli 2017.
sayang zaman skrang para remaja lebih mengidolakan artis sinetron ketimbang banginda RAsulullah SAW
BalasHapuswah dibeli dulu majalaah nya baru bisa baca hhe
BalasHapusKak mau tau dong unsur instrinsik sama ekstrensik dari cerpen titipan tante arin dong
BalasHapussuka banget ceritanya terselip cerita Baginda Rasullah :) nice cerpen mba ^^ mba Yanti mang kereennnnnn
BalasHapus