Namanya Shafiya. Fiya begitu ia biasa dipanggil. Fiya adalah
murid baru di kelas Hanna. Keluarga Fiya menempati rumah kosong di sebelah
rumah Hanna. Jadi, Fiya dan Hanna juga bertetangga.
Fiya anak yang supel, ia pandai bergaul. Baru beberapa hari
di sekolah, Fiya sudah punya banyak teman. Semua orang menyukai Fiya yang murah
senyum dan suka menyapa siapa saja.
Hanna sering mengamati Fiya dari rumahnya. Setiap hari, Fiya
sering bermain sepeda di kompleks perumahan mereka. Atau Fiya duduk membaca
buku cerita di halaman rumahnya. Fiya juga sering bergabung dengan teman-teman
kompleks untuk bermain bersama.
"Fiya tidak pernah kelihatan belajar," kata Hanna
kepada Billa.
Hari ini Hanna dan teman-teman sekelas kaget. Hasil ulangan matematika
minggu kemarin dibagikan. Fiya mendapatkan nilai sempurna. Biasanya Fatah sang
juara kelas yang selalu mendapatkan nilai tertinggi. Tapi kali ini, Fatah harus
mengakui kalau nilai Fiya lebih tinggi darinya. Ternyata selain ramah, Fiya
juga pintar.
"Mungkin kamu tidak melihatnya," kata Billa. Hanna
tertegun sebentar kemudian menggeleng.
"Kami bertetangga. Sering main bareng. Ia juga setiap
sore aku lihat selalu bermain di luar rumah. Kecuali kalau hujan turun,"
ujar Hanna.
"Kalau malam?" Pertanyaan Billa membuat alis Hanna
terangkat.
"Malam mungkin capek karena terlalu banyak
bermain," jawab Hanna. Billa tertawa mendengarnya.
"Hanna... Hanna... Kita kan tidak melihat kegiatan Fiya
dalam 24 jam. Jadi, jangan berprasangka deh. Kata Ibu Neida, prasangka itu
sebagian dari dosa," cetus Billa menirukan ucapan Ibu Neida saat mengajar
di depan kelas.
"Ayo masuk kelas. Bel masuk sebentar lagi
berbunyi," ajak Billa. Fiya pun mengikuti langkah Billa. Tapi keduanya
terkejut saat melihat Fiya duduk tak jauh dari mereka. Fiya melempar senyum.
Keduanya membalas senyum Fiya dengan kikuk.
Hanna dan Billa berpandangan. Isyarat mata mereka sama-sama
berbicara, semoga Fiya tidak mendengar obrolan mereka.
***
Hari-hari berikutnya Hanna masih sering mengamati Fiya. Fiya
masih sering bermain di halaman atau di sekitar kompleks perumahan mereka.
Pernah juga Hanna datang ke rumah Fiya. Mengantarkan makanan yang dimasak ibu.
Saat itu malam selepas maghrib. Hanna tidak melihat Fiya sedang belajar. Fiya
justru asyik menonton TV.
Tapi nilai-nilai ulangan Fiya di sekolah selalu bagus. Fatah
sekarang punya saingan yang hebat. Dulu Fatah adalah juara kelas yang tak
terkalahkan.
Bruk!
Hanna menabrak seseorang. Rupanya Hanna berjalan sambil
melamun memikirkan Fiya dan nilai-nilai ulangannya. Ia tak melihat jalan di
depannya. Dan yang ditabrak Hanna adalah Fiya. Orang yang menganggu pikirannya.
"Maaf," kata Hanna.
"Eh, Hanna. Tidak apa-apa," jawab Fiya dengan
ramah.
Fiya kemudian berlalu meninggalkan Hanna. Hanna juga akan
melangkah lagi, namun pandangannya tertuju pada sesuatu di lantai. Sebuah
gulungan kertas. Hanna mengambilnya dan membuka gulungan kertas tersebut. Mata
Hanna terbeliak melihat isi kertas di genggamannya.
"Ini kan..." Hanna masih kaget. Ia melirik ke arah
Fiya yang sudah berjalan jauh di belakangnya.
Fiya sepertinya tidak menyadari kalau telah menjatuhkan
sesuatu. Sesuatu yang mungkin menjadi rahasia nilai-nilai bagus Fiya selama
ini. Walau Fiya baru dua bulan satu kelas dengannya tapi Hanna kenal sekali
dengan tulisan tangan Fiya. Karena itulah Hanna yakin sekali kalau kertas di
tangannya adalah tulisan tangan Fiya. Isinya rangkuman pelajaran sekolah yang
ditulis kecil sekali di secarik kertas.
***
"Bisa jadi Fiya bikin ini buat belajar, Hanna. Bikin
rangkuman di kertas kecil bukan berarti membukanya saat ulangan kan?" kata
Billa. Hanna merengut sebal mendengarnya. Billa masih saja membela Fiya.
"Tapi ini kutemukan kemarin, Billa. Saat pulang sekolah
kami tak sengaja bertabrakan. Kemarin kan ada ulangan IPA. Isi kertas ini
rangkuman pelajaran IPA," ujar Hanna.
"Apa kamu melihat Fiya membukanya saat ulangan?"
Tanya Billa. Hanna menggeleng.
"Bagaimana aku sempat memperhatikan Fiya. Aku sudah
sibuk dengan kertas jawabanku sendiri," cetus Hanna.
"Kalau begitu belum terbukti kan Fiya mencontek?"
Tanya Billa lagi. Hanna hanya terdiam. Ia mendengus sebal mendengarnya. Billa
mungkin sudah termakan manisnya sikap Fiya. Selalu saja membela Fiya. Hanna
berjalan menjauh dari Billa.
***
"Selamat pagi, Anak-anak." Suara Ibu Linda
terdengar lantang dari depan kelas.
"Selamat pagi, Bu." Teman-teman menyahut sapaan Ibu
Linda.
Mereka semua tersenyum senang melihat Ibu Linda kembali
mengajar. Ibu Linda baru mengajar lagi setelah cuti melahirkan.
"Wah, ada anak baru ya. Siapa nama kamu, Nak?"
Tanya Ibu Linda kepada Shafiya. Ibu Linda memang baru pertama kali bertemu
Shafiya.
"Shafiya, Bu. Panggil saja Fiya," jawab Fiya dengan
senyum manis di wajahnya.
"Wah, nama yang bagus. Mengingatkan ibu pada nama Istri
Rasulullah, Shafiyah Binti Huyai. Ada yang tau cerita tentang Shafiyah binti
Huyai?" Ibu Linda bertanya ke seantero kelas. Hanna menggeleng, Billa
juga. Beberapa teman menjawab tidak tahu.
"Baik. Sebelum pelajaran dimulai, ibu mau cerita tentang
Shafiyah binti Huyai. Cerita beliau bersama Rasulullah." Hanna dan
teman-teman serius mendengarkan. Inilah yang mereka rindukan dari Ibu Linda.
Ibu Linda senang bercerita tentang Nabi-nabi, sahabat Nabi, juga anak dan istri
Nabi.
“Suatu waktu Rasulullah menggandeng istri beliau yang bernama
Shafiyah keluar dari mesjid. Ketika Rasulullah sampai di pintu mesjid,
tiba-tiba ada dua orang Ansar berjalan dan memberi salam kepada Rasulullah.
Kalian tahu apa artinya Ansar?” Tanya Bu Linda.
“Ansar adalah kaum yang menerima hijrah Rasulullah dari
Makkah menuju Madinah,” Fiya menjawab. Ibu Linda membenarkan.
“Kembali ke cerita Rasulullah bersama istri beliau Shafiyah
binti Huyai. Saat bertemu dengan dua orang Ansar itu, Rasulullah memanggil
keduanya dan berkata kalau yang beliau gandeng itu adalah istri beliau.
Mendengar perkataan Rasulullah, kedua orang Ansar itu pun berkata, ‘Wahai,
Rasul. Kami tidak mungkin berburuk sangka kepada engkau,’. Tetapi Rasulullah
tetap menjelaskan agar tidak ada prasangka dan semuanya jelas. Kalau yang
digandeng Rasul adalah istri beliau.
“Jadi, anak-anakku sekalian, kita memang diperintahkan untuk
tidak berburuk sangka pada sesama. Tapi, kita juga jangan membuat orang menjadi
berburuk sangka kepada kita. Masing-masing harus saling menjaga, agar tidak ada
prasangka dalam kehidupan. Paham?” Kata Bu Linda mengakhiri cerita.
Seluruh kelas menyahut paham. Hanna mengangguk-angguk
mendengarnya. Cerita tentang ini baru saja ia dengar. Kemudian ia merasa
bersalah karena telah berburuk sangka pada Fiya. Hanna melirik Fiya yang
ternyata juga tengah melirik dirinya. Namun ada yang ganjil dari Fiya saat itu.
Gerak tubuh Fiya terlihat gelisah, tidak seperti biasa yang penuh percaya
diri.
***
"Masih curiga dengan Fiya?" Tanya Billa saat
istirahat pertama. Mereka berdua ada di kantin sekolah. Hanna tak langsung
menjawab pertanyaan Billa. Sebenarnya ia mau bilang tak lagi curiga. Tapi,
hatinya tak sepenuhnya yakin.
"Tapi buat apa coba rangkuman pelajaran gitu ditulis
kecil-kecil di secarik kertas," ujar Hanna. Ia tak bisa menyembunyikan
kecurigaannya.
"Bisa buat belajar, Hanna. Atau kalau kamu mau tau
bagaimana kalau kita tanyakan pada Fiya langsung?" Tawar Billa. Hanna
mengangguk kemudian menggeleng cepat. Ia tidak mau Fiya tahu kalau ia
mencurigainya. Tapi untuk tidak curiga juga susah. Duh! Hanna jadi serba salah.
"Hanna... Billa... Boleh aku duduk di sini?" Hanna
dan Billa terkejut. Ada Fiya di depan mereka yang sedang menunjuk kursi kosong
di depan Hanna. Billa yang mempersilakan, sementara Hanna masih kaget melihat
Fiya. Fiya seperti tahu kalau ia tengah dibicarakan atau dipikirkan. Selalu
muncul di saat Hanna sedang membicarakan atau memikirkannya.
"Hanna, aku mau minta maaf," kata Fiya mengagetkan
Hanna sekali lagi.
"Minta maaf untuk apa?" Tanya Hanna bingung.
"Kertas.. Eh, gulungan kertas. Kamu mengambilnya kan
waktu kita bertabrakan di koridor sekolah kemarin?" Hanna melirik sekilas
gulungan kertas yang ada di kantong seragamnya. Ia kemudian mengangguk
membenarkan. Jangan-jangan Fiya memang mencontek saat ulangan, pikiran nakal
Hanna mengganggu lagi.
"Aku sengaja menjatuhkannya dan sengaja menabrak kamu di
koridor, Hanna." Hanna terbelalak mendengar pengakuan Fiya.
"Sengaja, Fi? Buat apa?" Hanna tidak bisa
menyembunyikan kekagetannya.
"Errr..." Fiya menggaruk kepalanya. Entah gatal
beneran atau hanya menutupi kegugupannya. Fiya terlihat gugup. "Aku
mendengar pembicaraan kamu dan Billa waktu kamu bilang tidak pernah melihat aku
belajar dan heran dengan nilai ulanganku yang bagus. Jadi, sekalian saja aku
membuat kamu mengira aku mencontek. Jadi kujatuhkan kertas kecil itu di depan
kamu. Ternyata hal seperti itu tidak boleh. Aku merasa bersalah saat mendengar
cerita Ibu Linda tadi tentang istri Nabi bernama Shafiyah. Apalagi namaku sama
dengan beliau." Fiya menjelaskan semuanya. Hanna dan Billa berpandangan.
"Maaf ya, Hanna, Billa," kata Fiya lagi dengan nada
menyesal. Billa kemudian bangkit dari duduknya dan merangkul Fiya.
"Tidak apa-apa, Fiya. Yang penting kamu sudah tahu
kesalahan kamu dan menyesal. Iya kan, Hanna?" Tanya Billa sambil memandang
Hanna. Hanna akhirnya tersenyum dan ikut bangkit dari duduknya serta
menghampiri Fiya. Ikut merangkul Fiya seperti Billa.
"Iya, Fiya. Aku juga minta maaf karena sudah curiga. Kan
aku duluan yang curiga. Kamu sih tidak pernah terlihat belajar," ujar
Hanna yang disambut tawa Fiya dan Billa.
"Aku belajar malam hari," kata Fiya. "Rutin
setiap malam. Ada ulangan atau tidak. Ada PR atau tidak ada PR. Aku juga
membuat rangkuman pelajaran di kertas kecil yang kamu temukan itu. Bukan untuk
mencontek tapi agar bisa dibawa ke mana-mana dan dibaca ke mana-mana. Sambil
makan bisa dibaca, sambil nonton TV juga. Sesekali kalau main juga bisa
dibaca," jelas Fiya.
"Tapi waktu aku ke rumah kamu, kamu tidak sedang belajar,"
cetus Hanna. Fiya tertawa.
"Kebetulan aja aku nonton TV. Tapi kertas rangkuman
pelajaran ada di dekatku saat itu," jawab Fiya.
"Jadi masalahnya selesai kan?" Tanya Billa. Hanna
dan Fiya berpandangan kemudian serempak menganggukkan kepala.
“Senang ya belajar sejarah Islam. Kita jadi belajar bagaimana
sikap Rasulullah yang baik. Rasulullah memang keren sekali,” ujar Fiya. Hanna
dan yang lain setuju.
“Rasulullah idolaku,” ujar Hanna.
“Idolaku juga,” cetus Fiya.
“Aku juga mengidolakan Rasulullah.” Billa tak mau kalah.
Mereka tertawa bersama. Hanna tersenyum lega. Hari ini, ia
banyak mendapat pelajaran dan Hanna yakin persahabatannya dengan Fiya akan
lebih manis. Ah, Hanna akan mengajak Fiya belajar bersama supaya bisa dapat
nilai bagus seperti Fiya.
*** end ***
Cerpen ini pernah saya ikutkan suatu lomba dan kalah. Hihihi... Karena cerpennya panjang dan saya menyerah duluan untuk mengeditnya ya sudahlah posting di blog saja. Semoga bermanfaat buat yang membacanya :-)
ada pesan moral yg bisa dipetik
BalasHapusIya, Mbak. Pesan buat penulisnya juga :D
HapusMakasih sdh share cerita ini, Kak Yanti. Salam buat Bu Neida, Bu Linda, hihi..
BalasHapusAhahaha... Ini waktu zaman2nya makai nama teman di cerita :D
Hapushehehe cerpennya bagus mbak.. sangat menyentuh dan pasti disukai oleh anak-anak.. masalah kalah atau tidaknya gappaa mbaa yang penting kita sudah berkreasi ya mba dan terus menerus berusahaa :)
BalasHapussalam kenal dan salam blogger heheee
Salam kenal dan salam bloggger juga mbak. Iyaa. Yang penting udah usaha ya. Kalah menang Allah yang menentukan :D
HapusCernaknya masya Allah bagus, kenapa gak kirim ke Majalah Ummi aja?
BalasHapusMenyerah duluan ngeditnya mbak. Hihihi... Ini panjaaang
Hapus