Glasgow
Tadinya saya
pikir Glasgow itu letaknya di Australia. Semenjak mendengar kalau kejuaraan
Dunia Bulutangkis di tahun 2017 diadakan di Glasgow, pikiran saya sudah
menetapkan kalau Glasgow itu ya di Australia. Sepertinya kecampur-campur sama
pikiran penyelenggaraan Sudirman Cup. Karena itulah, sewaktu membaca novel yang
latarnya di London, dan ceritanya si tokoh di novel itu buka cabang usaha di
Glasgow, saya ngebatin “Ya Ampun, jauh amat sih buka cabang di Australia.”
Begitu juga saat
sebelum pergelaran Kejuaraan Dunia, ada turnamen di Selandia Baru, saya pun
bilang ke grup pecinta bulutangkis “Ntar pemain yang ikut NZL Open itu balik ke
negaranya dulu tidak sih sebelum ikut kejuaraan dunia? Capek juga ya
bolak-balik. New Zealand – negaranya – Glasgow.” ujar saya dengan pedenya.
Nah, dari situlah
saya kemudian diberitahu kalau Glasgow itu letaknya di Skotlandia… Eropa, Cyin.
Bukan Australia. Salah satu hal yang saya dapat dari mengikuti turnamen
bulutangkis adalah saya jadi tambah pengetahuan tentang kota-kota di dunia.
Termasuk ini : Glasgow.
Kejuaraan
Dunia Bulutangkis
Kejuaraan Dunia
Bulutangkis atau World Badminton Championship digelar setiap tahun, kecuali
tahun Olimpiade. Jadi, di tahun 2016 kemarin, tidak ada pergelaran Kejuaraan
Dunia. Sementara di tahun 2015 diadakan di Jakarta.
Turnamen ini
termasuk turnamen penting dan bergengsi buat para atlet dan tentu saja juga
ditunggu-tunggu oleh para Badminton Lovers. Kalau menang di sini, gengsinya
tinggi. Wakaka… Saya pun termasuk yang menunggu-nunggu.
Juara Dunia 2015, Hendra dan Ahsan Foto dari web PBSI |
Tidak seperti
turnamen lainnya, untuk berlaga di Kejuaraan Dunia, tidak semua atlet yang
bisa. Ada syarat tertentu yang akan membuat atlet diundang ke Kejuaraan Dunia.
Indonesia sendiri mengirimkan beberapa atletnya. Karena waktu penyelenggaraannya
bersamaan dengan Sea Games 2017 di Kuala Lumpur, maka tidak semua atlet yang
diundang dikirim ke Kejuaraan Dunia. Semisal untuk nomor tunggal putra, atlet
yang berada di Pelatnas hanya diwakili oleh Anthony Sinisuka Ginting. Sementara
yang di luar Pelatnas ada Sony Dwi Kuncoro dan Tommy Sogiarto. Dan ketiganya
tidak bisa berbicara banyak di turnamen tersebut karena kalah di babak awal.
Walau begitu,
Indonesia masih menyisakan beberapa wakil di nomor ganda, seperti Kevin
/Gideon, Angga / Ricky, Praveen / Debby, Ahsan / Rian, dan Tontowi / Liliyana.
Kejutan
Konon katanya
turnamen seperti Olimpiade atau Kejuaraan Dunia akan ada kejutan-kejutan yang
bisa kita dapatkan. Kejutan pertama di ajang Kejuaraan Dunia tahun ini datang
dari andalan negeri jiran, Lee Chong Wei.
Raja tanpa mahkota, para BL menyebut demikian
untuk Datok Lee Chong Wei. Seorang atlet bulutangkis dari negeri jiran yang
mengoleksi banyak sekali gelar superseries. Tapi, sayangnya ia gagal
berkali-kali di turnamen seperti Asean Games, Kejuaraan Dunia, dan juga
Olimpiade. Padahal ia bisa menjejak final Olimpiade sebanyak 3 kali dan
ketiganya berujung perak, bukan emas.
Datok pun datang ke Skotlandia untuk kembali
merengkuh impiannya menjadi juara dunia. Tapi justru gagal di babak awal. Kali ini yang mengandaskan adalah atlet
Perancis berusia 31 tahun yang bahkan tak pernah menjadi juara superseries.
Atlet itu bernama Brice Leverdez.
Kegagalan Datok seolah mengajarkan tentang
kehidupan. Ada hal-hal yang bisa kau raih tapi juga ada yang tidak. Mungkin
dengan "ketidaksempurnaan" raihan itu membuat kita masih menjejak di
bumi dan tidak merasa di atas dari yang lain. Taufik Hidayat tidak pernah
mendapat titel juara All England, Hendra Setiawan belum pernah jadi juara PON
(Hahaha....) dan seorang Liliyana Natsir harus berjuang tahun depan untuk
mendapatkan emas Asean Games yang belum pernah ia raih. Kalau untuk Butet,
gapapa deh sempurna raihan gelarnya.
Kejutan lainnya datang dari ganda putra
negeri kita, Muhammad Ahsan dan Rian Agung Saputro. Dengan mengejutkan mereka
berhasil mengalahkan ganda rangking satu dunia saat ini, Liu Yuchen dan Li
Junhui. Walau begitu, tak selalu kemenangan menyertai atlet negeri ini. Sampai
di semifinal dan final hanya ada dua yang bertahan, yaitu pasangan Muhammad
Ahsan dan Rian Agung Saputro juga Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir.
Ahsan Rian saat menang di semifinal |
Final
Tunggal Putri Yang Bersejarah
‘This is intense, every point is a fight.
Amazing finals match #2017BWC’ --- Kutipan ini saya ambil dari twitter 2017WBC.
Pertandingan paling menarik di final kejuaraan
dunia kemarin tanpa diduga justru ada di nomor tunggal puteri yang
mempertemukan Jepang dan India. Si mungil imut (untuk ukuran atlet), Nozomi
Okuhara melawan andalan India Pusarla V Shindu. Nozomi bertinggi 156 cm, dan
179 cm adalah tinggi badan Shindu. Tapi, bukan Nozomi namanya kalau gentar
menghadapi orang yang lebih tinggi darinya.
Every point
is a fight.
Kalimat itu benar-benar terjadi. Betapa kedua gadis itu bertahan dan berjuang
mendapatkan poin demi poin. Bahkan hanya untuk dapat satu poin, mereka jatuh
bangun sampai memerlukan 73 pukulan. Yang nonton aja capek, apalagi yang main.
Total waktu pertandingan mereka berdua 110
menit. Ckckck... itu lebih lama dari pertandingan bola. Kalau bola yang main 22
orang, sedangkan pada pertandingan tersebut yang main 2 orang, cewek pulak.
Skor ketat terjadi sepanjang pertandingan,
kalau yang satu minta challenge, yang satu lagi lega. Itu artinya kesempatan
buat ngambil napas. Sewaktu jeda, pelatih Jepang menghampiri dengan membawa
beberapa botol minuman. Stok minuman habis, Cyin... jualan Aqua bisa laris
diborong Nozomi sama Shindu.
Saat skor 15-15, kalau diberi wewenang saya
ingin menghentikan pertandingan dan kasih emas buat keduanya. Malaysia aja bisa
dapat 2 emas, ayolah kasih 2 emas juga ke mereka (beda kasus, Red). Selain itu saya
juga khawatir anak gadis orang pingsan di lapangan. Mereka minta jeda, tidak
selalu dikasih izin sama umpire.
"On Court.. On court..." gitu terus umpire ngomong. Mungkin umpire juga lelah duduk. Hehehe….
Nozomi dan pelatihnya. Gambar capture dari IG Nozomi |
Dan akhirnya pertandingan dimenangkan oleh...
si kecil imut (untuk ukuran atlet) dari Jepang, Nozomi Okuhara. Walau begitu,
kedua pemain layak diacungi jempol. Mereka benar-benar mengajarkan arti
perjuangan dalam meraih kemenangan.
Final Ganda
Putra
Siapapun, bahkan mungkin mereka sendiri tak
menyangka akan melaju sejauh ini. Performa Muhammad Ahsan pasca 'cerai' sama
Hendra Setiawan bisa dibilang tidak terlalu menggembirakan. Kalau tak salah
ingat mereka pernah sampai di satu semifinal superseries. Setelahnya sempat
juara di turnamen kecil dan kemudian pulang di babak awal turnamen besar
lainnya.
Para BL (Badminton Lovers) pun nelangsa
menyaksikan babah kesayangan mereka begitu dan memohon-mohon ke coach naga api (gelaran buat Herry IP,
pelatih ganda putra) agar mencarikan Babah Ahsan pasangan baru.
Gelaran Kejuaraan Dunia bulutangkis 2017
bersamaan dengan digelarnya Sea Games di Kuala Lumpur. Selain Kevin
Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon dan pasangan Angga Pratama / Ricky Karanda
Suwardi, sebenarnya ada jatah buat Fajar Alfian dan Rian Ardianto buat ke
kejuaraan dunia. Sesuai dugaan saya, Fajar dan Rian difokuskan ke Sea Games dan
Ahsan Rian yang menuju kejuaraan dunia.
Ketika drawing keluar, rasa pesimis hinggap
di hati. Bagaimana tidak di babak awal mereka sudah ketemu sama unggulan
pertama, ranking satu dunia, Liu Yuchen dan Li Junhui. Tanpa diduga mereka
ternyata menaaang seperti yang saya sebutkan di atas. Rian yang kerap error dalam
pertandingan itu terlihat lebih baik. Ahsan pun depan, belakang, kiri, kanan
bagus semua dalam pertandingan. Ahsan benar-benar menunjukkan bahwa dia pemain
kelas dunia.
Satu per satu lawan dilewati Ahsan dan Rian.
Semua lawan punya tantangan sendiri dan di pertandingan-pertandingan itu mereka
tampil memukau. Menuai pujian oleh banyak pihak bahwa walaupun Kevin Gideon
yang digadang-gadang bisa melaju sampai final sudah kalah, tapi Indonesia tetap
punya monster di ganda putra.
Tapi saat final, seperti anti klimaks dari
pertandingan-pertandingan sebelumnya. Entah karena faktor apa mainnya
benar-benar tidak lepas. Ahsan kelihatan tidak bisa keluar tekanan, pun dengan
pertahanan Rian Agung yang gampang sekali ditembus. Dapat ditebak, gelar juara
dunia pun tidak bisa diraih.
Sedihnyaaa… banyak suara sumbang yang
terdengar akan penampilan buruk mereka di final. Pertandingan ganda putra yang
biasanya paling seru justru kalah jauh dari pertandingan tunggal putrid dan
ganda putri. Penampilan pemain Indonesia benar-benar di luar perkiraan. Sebut
saja ‘jelek mainnya’ dan saya sedih sekali akan hal itu.
Bagaimanapun, Ahsan dan Rian berhasil
menjejak final dan melewati lawan-lawan yang tidak mudah untuk menuju final.
‘Being a good person is like being a
goalkeeper. No matter how many goals you save, some people will only remember
the one you missed’
Kutipan tersebut
saya dapatkan di instagram kala orang-orang negeri jiran menghibur Haziq
Nadzli, sang kiper Malaysia di mana penyelamatan yang ia lakukan di mulut
gawang justru menjadi gol kemenangan buat Thailand. Saya rasa kutipan itu juga
pas untuk Ahsan dan Rian. Ada segelintir orang yang hanya memandang penampilan jelek
tak memuaskan mereka di final, tapi melupakan bagaimana memukaunya penampilan
mereka untuk melangkah menuju final.
Ahsan dan Rian Foto dari @INABadminton |
Bagaimanapun, pencapaian Ahsan dan Rian di
turnamen ini layak diacungi jempol. Mereka menjadi satu-satunya pemain non
unggulan yang berhasil menjejak final. Ini juga pencapaian terbaik Ahsan
setelah berpisah dengan Hendra Setiawan. Final ketiga Ahsan di Kejuaraan Dunia
walau berujung runner up dan final
pertama Rian Agung Saputro bahkan medali pertama Rian Agung di pergelaran ini.
Semoga ke depan lebih baik untuk mereka berdua.
Emas untuk
Indonesia
Saat pertandingan ganda campuran yang
mempertemukan pasangan Indonesia Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir dengan
pasangan nomor satu dunia Chen Qingchen dan Zheng Siwei, saya sudah tidak bersemangat
buat menonton. Bukan apa-apa, tapi masih baper dengan kekalahan Ahsan Rian.
Wkwkwkk... apalagi di set pertama mereka kalah dan tidak menunjukkan performa
terbaiknya. Ya sudahlah pikir saya... mungkin memang Indonesia Raya tidak akan
berkumandang di Glasgow.
Eh, ternyata mereka malah menang pada game
kedua. Mungkin harusnya saya tidak menonton pertandingan agar wakil Indonesia
juara. Hahaha… Dalam pertandingan ini,
di game ketiga, yang mencengangkan semua
orang mereka memberikan poin 11-1 buat pasangan nomor satu dunia dari Tiongkok
itu. Satu per satu poin diraih sampai akhirnya sampai di angka 21.
Yay... Akhirnya Indonesia dapat jatah juara
dunia juga di Glasgow yang lagi-lagi diberikan oleh pasangan yang sudah sangat
senior. Liliyana Natsir a.k.a Butet pertama kali meraih gelar juara dunianya
pada tahun 2005. Saat itu ia berusia 20 tahun. Dan yang di Glasgow kemarin
adalah gelar keempat untuk Liliyana. Butet menjadi juara dunia pada 2005 dan
2007 bersama Nova Widianto dan 2013 serta 2017 bersama Tontowi Ahmad.
Sang Juara kita |
Di satu sisi, tentu saja senang Indonesia
berhasil meraih juara dunia, tapi di sisi lain sedih juga… ke mana para penerus
Liliyana Natsir? Padahal lawan mereka di final adalah generasi baru Tiongkok
yang masih berusia 20 tahun. Sementara kita masih saja mengandalkan Butet lagi
dan lagi.
*kumpulan catatan yang sebagian ada di status
fesbuk, dan kemudian saya satukan di sini ^_^*
Mbak Hairiyanti ini atlet bulutangkis ya? Keren!
BalasHapusSaya dulu waktu masih mudah juga hobi main. Mainnya tengah malam biar gratis. Harus bobol jendela dulu buat masuk. Ahaha #masalalukelam
Gile juga ya ada yang main sampe 110 menit. Itu parunya segede apa.
Liliana ini memang jadi tumpuan buat Indonesia sekarang. Moga ada yang jadi penerusnya. Kita punya banyak talenta muda yang berbakat. Tinggal dipoles sama diarahin aja sebenernya.
Bukaaaan. Saya hobinya cuma nonton dan bukan atlet. Hehehe... iyaa. Liliyana selalu jadi tumpuan dan pelapisnya belum ada yang seperti dia :(
Hapuspenggemar bulu tangkis ya, Mbak. Waktu jaman masih kecil, tahun 1992 an, aku suka banget ngikutin sampai baca di koran bareng bapak dan kakakku mbak, sekarang kurang , entah karena kesibukan ngurus anak dan rumah
BalasHapusIya mbak. Fans bulutangkis. Hihihi... tapi baru setahun terakhir ini saya mengikuti turnamen demi turnamennya :-)
Hapushehehehehe.... baru kali ini aku mampir ke blog penggemar bulutangkis sejati. paham banget. Eh... tapi buat variasi sih. aku pernah mampir ke blognya penggemar bola dan isinya bola. sekarang ada yang penggemar bulutangkis.
BalasHapusHihihi... iya ya mbak Ade? Kepengin sih nulis tentang bulutangkis rutin gitu tapi suka malasss :-)
HapusIya banget. Saya udah ga semangat nonton. Masih baper dengan kekalahan Ahsan Rian dan lihat mereka di babak pertama kalah. Dan ternyata menang :D
BalasHapusDulu musuh datok Lee chong wei taufik, lindan sama peter. Habis itu muncul chen long. Sekarang harus tergopoh2 ngadepin victor axelsen. Sampe sekarang masih penasaran kenapa susah banget dapetin olimpiade ;D
BalasHapusDan tahun ini Datok absen karena ada masalah kesehatan ya mbak.
HapusDuh itu di atas ada typo fatal mbk. Asian games malah tertulis Asean games. ��
BalasHapus