Matematika pernah menjadi monster buat saya. Saya tidak
doyan. Serem. Dan merasa terhimpit saat pelajaran itu datang. Menghitung
detak-detak waktu agar bel pergantian jam pelajaran segera berlalu. Menangis
karena tidak bisa mengerjakan PR.
Pusing ga sih? foto dari pixabay |
Namun, saya juga pernah sangat menyukai matematika. Dia
pernah menjadi idola. Saya lega saat mengetahui kalau matematika ada di jam
terakhir, dengan begitu saya tidak akan mengantuk. Saya bersemangat sekali.
Bagi saya saat itu, matematika adalah salah satu pelajaran favorit. Dibandingkan
dengan pelajaran Bahasa Indonesia, saya jauh lebih menyukai pelajaran
matematika. Saat itu.
Matematika sering menjadi momok buat anak-anak. Padahal
matematika ada di tiap sendi kehidupan. Telah lama saya ingin menulis sebuah
cerita tentang anak-anak yang tidak suka matematika. Tujuannya, saya ingin
memotivasi anak-anak agar lebih bersemangat dan menyukai matematika. Kemudian
terbitlah cerita ini. Sebuah cerita yang sangat pendek karena hanya satu
halaman. Cerpen ini dimuat di Majalah Bobo No. 06 Tahun XLV yang
terbit pada tanggal 18 Mei 2017.
cerpen Bobo |
Sekilas tentang cerpen tersebut saat dimuat
pernah saya ceritakan di sini. Berikut adalah naskah asli yang saya kirimkan ke redaksi. Yang terbit di majalah Bobo ada beberapa editan dari redaksi.
Happy reading ^_^
Neina
dan Matematika
Oleh : Hairi Yanti
“Neina tidak butuh
matematika,” cetus Neina. Mata Neina menatap kertas yang sedang ia genggam. Di
sana, ada angka lima dalam lingkaran. Lima untuk ulangan matematika Neina.
Neina tidak suka matematika.
Matematika itu membingungkan. Sulit dan sangat rumit. Membuka bukunya saja
tidak bersemangat. Apalagi mempelajarinya.
“Neina mau jadi koki. Bikin
kue dan buka toko kue, Kak. Matematika tidak penting buat bikin kue.” Neina
berkata pada Kak Nurin. Kak Nurin tersenyum mendengarnya.
“Kalau begitu, buktikan
kalau Neina bisa. Besok minggu, Neina bikin kue. Oke?” Tantang Kak Nurin yang
langsung disambut anggukan kepala Neina. Kalau bikin kue, Neina selalu
semangat. Tapi, belajar matematika, Neina mengantuk.
Pada hari minggu, Kak Nurin
sudah menunggu Neina di dapur. Kata Kak Nurin, mereka akan membuat brownies
kukus ketan hitam. Kak Nurin sudah menyiapkan bahannya. Neina juga sudah
menemukan resep di buku catatan resep punya mama. Sampai di dapur, Neina
mengamati bahan-bahan yang disiapkan Kak Nurin.
“Kak, kenapa telurnya cuma
empat?” Tanya Neina. Neina membaca lagi resep di tangannya. Ada enam telur yang
harusnya disiapkan Kak Nurin.
“Iya, Neina. Telurnya cuma
ada empat. Dua butir sudah dibikin telur dadar waktu sarapan tadi,” jawab Kak Nurin.
“Jadi,
gimana bikin kuenya kalau telurnya kurang dua?” Neina menggaruk kepalanya. Ia
terlihat bingung.
“Bahan
lainnya tinggal disesuaikan aja, Neina. Telur yang awalnya enam, jadi empat.
Itu kan berarti memakai duapertiga bahan. Jadi, tepung, gula, mentaga, dan
bahan lainnya jadi duapertiga dari resep yang ada,” jelas Kak Nurin. Neina
menatap Kak Nurin dengan pandangan bingung.
“Kak,”
panggil Neina. “Ini kan pelajaran matematika?” lanjut Neina lagi.
“Kita
mau bikin kue, Neina. Bukan belajar matematika,” ujar Kak Nurin sambil tertawa.
Neina menatap sebal pada Kak
Nurin. Kakaknya pasti sengaja mengurangi jumlah telur agar Neina menghitung ulang
resep. Tapi, Neina jadi tahu kalau ia butuh matematika. Walaupun cita-citanya pandai
memasak kue dan membuka toko kue. Setelah ini, Neina akan lebih bersemangat
lagi belajar matematika.
***
Wah.. Keren.. Bagus ceritanya.. 😘
BalasHapusGimana cara ngirim cerpen di majalah bun pake ilustrasi gambar yg sesuai it disediain pihak majalah ya? *eh kok jd mupeng.. Hihi
Ga, Mbak. Ilustrasinya pihak Bobo yang menyediakan..kita cuma ngirim tulisan. Ada di popular post saya cara mengirim cerpen ke Majalah Bobo, Mbak.. :-)
Hapusbagus ceritanya as always mba YAnti mantap belajar bisa dengan praktek sehari2 y mba tanpa harus berhubungan dengan buku :) sukses mba
BalasHapusMakasiiih, Mbak Herva. Iya, Mbak. Bisa dari praktek sehari-hari.. :-)
Hapus