Oleh : Hairi Yanti
(Dimuat di Majalah Bobo, terbit 25 Januari 2018, Tahun XLV, Nomor 42)
Mela ingin belajar menulis. Ia
meminta Rika untuk mengajarinya. Rika adalah teman sekelas Mela. Rika pandai
menulis cerita pendek. Cerita Rika sering dimuat di Majalah Dinding sekolah,
juga pernah dimuat di koran. Mela ingin seperti Rika.
“Kamu
harus menulis cerita sepanjang dua halaman, Mela,” ujar Rika. Mela mengangguk. Mela
sudah duduk menghadap laptop milik Rika.
“Sudah
punya ide, kan?” Tanya Rika.
Mela mengangguk lagi. Ia
bahkan sudah tahu bagaimana akhir dari ceritanya. Rika bilang tidak usah
jauh-jauh mencari ide, ambil dari kejadian sehari-hari saja. Mela ingin menulis
pengalamannya naik gunung bersama ayah sebulan yang lalu.
Mela
mulai mengetik di laptop Rika. Kata demi kata, kemudian kalimat demi kalimat. Terkadang
Mela terhenti dan menghapus apa yang sudah diketiknya. Sampai setengah halaman
selesai diketik Mela, dan Mela berhenti mengetik.
“Ada
apa? Ada kesulitan?” Tanya Rika.
“Rasanya
sudah banyak yang aku ketik. Kenapa baru setengah halaman?” Keluh Mela.
Mela memijit-mijit jemarinya
yang tadi digunakan buat mengetik. Rika menyemangati Mela agar melanjutkan
ceritanya. Mela menurut, tapi hanya sampai dua kalimat, Mela berhenti lagi.
“Capek,”
cetus Mela.
Ia menyandarkan tubuhnya ke
kursi dan memejamkan mata. Ternyata menulis itu melelahkan. Mela tidak ingin
menulis lagi.
***
Seminggu
kemudian, Mela berdiri di tepi lapangan bulutangkis. Menyaksikan Erfa yang
sedang latihan bulutangkis. Bersama ayah, Mela sering menyaksikan pertandingan
bulutangkis.
“Ajari
aku main bulutangkis,” pinta Mela pada Erfa. Erfa mengangguk setuju. Erfa
mengajari Mela memegang raket, servis, dan memukul kok. Erfa melemparkan kok ke
arah Mela, dan Mela memukulnya. Sebagian kok berhasil Mela pukul, sebagian
lainnya tidak berhasil.
“Mari
kita langsung tanding saja. Seperti pertandingan di TV,” ajak Mela pada Erfa.
“Tapi
kamu harus latihan memukul yang benar dulu,” ujar Erfa.
“Langsung
tanding saja, tidak perlu latihan,” tegas Mela.
Mela mengambil tempat di
lapangan pertandingan bersebrangan dengan Erfa. “Skornya sampai 21 ya,” teriak Mela
pada Erfa. 21 adalah akhir poin dari pertandingan bulutangkis. Siapa yang lebih
dulu mendapatkan angka 21, maka ia menang.
Pertandingan
kemudian berlangsung. Beberapa kali Mela tidak bisa mengembalikan kok yang
dipukul Erfa ke arahnya.
“9-2,”
teriak Erfa.
Tidak ada yang mencatat skor,
setiap skor berubah, Erfa akan memberitahukan pada Mela. Mendengar skor
terbaru, Mela terduduk di lapangan. Ia menaruh raketnya begitu saja di lantai.
Bajunya basah oleh keringatnya sendiri.
“Kenapa?”
Tanya Erfa yang sudah berdiri di depannya.
“Capek.
Padahal poin baru 9-2. Kapan 21-nya?” Sungut Mela. Erfa tertawa mendengarnya.
“Sebelum
21 harus melewati 11, 12 , 13, dan seterusnya, Mela,” kata Erfa.
Wajah Mela cemberut
mendengarnya. Sudah bermain selelah itu tapi masih jauh dari angka 21, pikir Mela.
Mela memutuskan tidak ingin bermain bulutangkis lagi.
***
“Mau
mengajariku membuat kue, Brina?” kata Mela pada Brina.
Brina adalah tetangga Mela.
Ibu Brina pandai sekali membuat kue dan sering memberikan kue ke rumah Mela.
Brina pun sama dengan ibunya. Suka membuat kue. Mela berpikir, kalau membuat
kue tidak semelelahkan main bulutangkis atau menulis. Lagipula setelah selesai,
ia bisa mencicipi kue yang lezat.
“Aku
tunggu di rumah hari minggu,” ujar Brina menyetujui permintaan Mela.
Ketika
hari minggu tiba, Mela sudah berada di rumah Brina. Brina juga sudah menyiapkan
bahan-bahan buat membuat kue. Ada tepung, telur, mentega, bubuk coklat, dan
susu bubuk.
“Pertama,
untuk hasil yang bagus, ayak dulu tepungnya,” perintah Brina.
Brina mencontohkan cara
mengayak tepung. Ayakan tepung kemudian diserahkan pada Brina. Brina
memperhatikan tepung yang jatuh dari lubang ayakan.
“Ah,
lama sekali tepungnya selesai diayak. Tanganku sudah pegal,” kata Mela. Brina
mengambil alih ayakan tepung dari tangan Brina.
“Kamu memegang mikser saja.
Telurnya dikocok sampai mengembang,” ujar Brina serasa menyerahkan mikser ke
tangan Mela.
“Apakah
ini sudah mengembang?” Tanya Mela ketika Brina selesai mengayak tepung.
“Belum,
Mela,” jawab Brina. Tak lama kemudian Mela kembali bertanya pada Brina.
“Kalau
begini sudah mengembang?” Brina menggeleng tanda telur belum mengembang.
“Ah,
lama sekali. Aku lelah,” keluh Mela. Ia menyerahkan mikser kepada Brina.
Kemudian duduk di kursi dapur sembari menopangkan dagu.
“Semua
hal tidak cocok kulakukan. Menulis tidak bisa. Bermain bulutangkis juga
melelahkan. Bikin kue juga ternyata sama lelahnya,” kata Mela dengan mata
menerawang.
“Tidak
ada hal yang langsung jadi, Mela. Kamu harus sabar. Sabar melewati prosesnya.
Bikin kue kalau adonannya tidak mengambang hasilnya tidak akan ada kue yang
lezat,” jelas Brina.
Mela menatap Brina yang masih
asyik memikser telur. Ia juga teringat dengan Rika yang duduk di depan laptop
buat menulis, juga Erfa yang tiap hari latihan.
Ah,
Brina benar. Selama ini ia tidak sabar dan suka mengeluh karena lelah. Jadinya
proses belajarnya tidak pernah selesai. Baik menulis, bulutangkis, ataupun
memasak. Mela tidak ingin seperti itu lagi. Belajar ala Mela selama ini tidak
akan membuat ia berhasil.
***
Ayo nulis cernak lagii..
BalasHapus