"Ada pesawat Lion Air Jakarta - Pangkal
Pinang hilang kontak."
Sebaris pesan dari teman saya di sebuah WA grup
membuat saya tersentak. Walau tak ada keluarga atau kenalan yang saat itu
melakukan penerbangan dengan rute tersebut, tetap saja kabar itu terasa bikin
ngeri juga sedih dalam waktu bersamaan. Apalagi saat dikonfirmasi kalau pesawat
tersebut beneran jatuh. Rasanya hati ikut tersayat. Terlebih saat melihat foto
dan berita tangis para keluarga. Tak terasa air mata juga ikut mengalir.
"Jadi ngeri naik pesawat"
Komentar itu mungkin terlontar dari beberapa
orang. Padahal pesawat merupakan moda transportasi teraman dibanding yang lain.
Persentase kecelakaannya termasuk kecil. Justru persentase kecelakaan di darat
lebih banyak daripada di udara. Walaupun begitu, karena satu kecelakaan akan
disorot seluruh dunia, jadilah kecelakaan pesawat menjadi perhatian banyak
pihak termasuk saya.
Dewasa ini, kebutuhan untuk menggunakan
transportasi udara tak terelakkan lagi. Dengan alasan keefisianan waktu juga tenaga
kita lebih memilih naik pesawat ketimbang jalan darat atau udara. Saya sendiri
semenjak menikah menjadi beberapa kali naik pesawat dalam setahun karena
sesekali saya akan mudik mengunjungi orang tua. Atau saat suami dinas, dan saya
tidak ingin di rumah sendirian, lebih baik saya mudik dan menghabiskan waktu
bersama kedua orang tua saya.
Saat terbang bersama Lion Air |
Dari pengalaman beragam waktu menaiki pesawat, ada kalanya saya
mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan. Pernah satu kali saat naik pesawat
menempuh perjalanan yang lumayan jauh, ada goncangan di pesawat. Sehingga
setengah gelas kopi tante yang duduk di sebelah saya nyaris tumpah, sebelum
saya bergegas memegang gelas tersebut. Sementara saat itu, tante saya dan
nyaris semua penumpang tertidur karena memang pesawat baru lepas landas tepat
tengah malam.
Ketika itu pramugari dan pramugara tampak panik dan berjalan
bergegas. Saya pun jadi ikut panik dan memandang mereka dengan tatapan heran
dan cemas. Rupanya tingkah saya mendapat perhatian salah satu di antara mereka,
dan kemudian mereka memberikan kode-kode ke rekannya. Jadinya yang tadinya
berjalan bergegas menjadi lebih santai. Mungkin saat itu bukan ada gangguan di
pesawat, tapi karena mereka para kru pesawat mau menyiapkan sesuatu. Makanan
misalkan.
Pernah juga dalam perjalanan Banjarmasin ke Balikpapan, pesawat
yang saya tumpangi sedang berada di tengah cuaca buruk sehingga ada goncangan
di pesawat. Refleks saya dan ibu-ibu di sebelah saya berpegangan tangan dan
mengucap takbir. Padahal kami sama sekali tak saling kenal dan tak saling
bicara selama perjalanan. Namun, kondisi tersebut membuat saya dan ibu itu tak
ragu saling menautkan tangan. Setelah pesawat kembali terbang normal, kami
saling pandang dan tertawa lega bersama. Si ibu kemudian bercerita tentang
kecemasannya menaiki pesawat.
Pengalaman tidak enak lainnya terjadi di tahun
2010. Saat itu, saya dan keluarga akan berangkat menuju Surabaya karena ada
saudara sepupu saya yang akan menikah di sana. Pesawat pagi yang akan membawa
kami ke Surabaya sudah kami naiki. Perjalanan Banjarmasin ke Surabaya tak
memakan waktu lama, saya berharap pesawat segera sampai. Bayangan akan
jalan-jalan di Surabaya membuat hati saya gembira.
Tapi semenjak terbang sampai beberapa menit di
udara, suara bunyi pesawat terasa sangat bising. Terbangnya pun tak sekalem
biasanya. Garadak garuduk. Jantung
saya berdebar lebih kencang dari biasanya. Penumpang cukup hening saat itu yang
membuat saya berpikir mungkin kekhawatiran saya saja yang berlebihan.
Namun saat menatap tingkah kedua paman saya
yang duduk tak jauh dari saya, membuat saya meyakini kalau penumpang lain juga
merasakan hal yang tak biasa di pesawat itu. Salah satu paman saya mengambil
sesuatu dari dalam tas dan itu adalah butiran tasbih. Sementara satu paman
lainnya juga merogoh sesuatu dan mengeluarkan peci putih kemudian memakainya.
Saya pun menggenggam tangan mama yang ada di samping saya.
Kekhawatiran saya semakin menjadi saat ada
pengumuman kalau pesawat tak mungkin melanjutkan perjalanan ke Surabaya dan
akan berbalik arah kembali ke bandara Syamsudin Noor. Jantung saya makin
berdegup kencang. Kalau tak memungkinkan melanjutkan perjalanan ke Surabaya,
apakah masih memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke bandara
keberangkatan? Bagaimana jika pesawar jatuh sebelum kembali?
Mama meminta saya untuk terus berdzikir.
Apalagi yang bisa dilakukan manusia di saat itu selain menguatkan doa dan
dzikir. Rasanya saat itu, saya benar-benar berada di ujung kematian. Yang saya
pikirkan adalah amal kebaikan saya sungguh tak banyak, sementara dosa begitu
banyak, dan saya belum siap sama sekali menghadapi kematian.
Pesawat terus terbang, sampai di jarak
tertentu, sepupu saya mengabarkan "Sudah kelihatan daratan (Sebelumnya
lautan). Paling tidak kalau jatuh, lebih mudah ditemukan." Begitu kata
sepupu saya di tengah situasi genting tersebut.
Saat roda pesawat menyentuh daratan, bukan main
leganya saya juga penumpang yang lain. Ketegangan berubah menjadi senyum penuh
kelegaan. Tiap penumpang kemudian berbagi kecemasan mereka saat menanti turun
dari pesawat, juga di bus menuju terminal keberangkatan.
Pengalaman itu membuat saya teramat takut naik
pesawat. Padahal beberapa jam setelahnya, saya kembali naik pesawat melanjutkan
perjalanan ke Surabaya yang tertunda. Sampai di Surabaya saya hanya meringkuk
tidur siang di kamar hotel. Bayang kematian yang bisa saja menyergap saya pagi
tadi membuat kehilangan minat melakukan apa pun. Apalagi jika mengingat kalau 3
hari ke depan, saya akan naik pesawat lagi untuk pulang ke Banjarmasin.
Saya pun sempat berujar ke mama kalau saya
beneran jera naik pesawat. Sekarang mama sering mencandai saya, kalau yang dulu
bilang jera naik pesawat, justru paling sering bolak balik pakai pesawat
dibanding anggota keluarga yang lain karena kemudian saya merantau mengikuti
suami dan sering bolak balik mudik atau ngintilin
suami dinas ke luar pulau.
di udara |
Pesawat dan
kematian.
Seolah dua hal yang tampak nyata walaupun sebenarnya langka. Orang yang wafat
di atas tempat tidur lebih banyak ketimbang yang wafat di udara. Tapi seperti
yang pernah tante saya bilang ke saya, Saat kita naik pesawat, ya kita juga
harus bersiaga akan kematian. Sekilas memang itu betul, padahal bersiaga akan
kematian juga tak hanya ketika kita akan menaiki pesawat.
Tentu masih segar dalam ingatan kita musibah
yang terjadi di Palu. Saya menonton rekaman CCTV dan video pada saat kejadian.
Kehidupan tampak sangat normal. Sebelum goncangan dahsyat dan sapu tsunami
menghantam. Melihat ada mobil yang melaju di jalanan, kemudian terhenti karena
di depan jalan penuh dengan serpih-serpih kayu, dan tak lama kemudian tsunami
menghantam menghempaskan mobil tersebut membuat hati saya ngilu
dibuatnya.
Kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi dan
saya ketakutan menghadapinya. Ketakutan yang tak lantas membuat saya lebih
beribadah atau lebih mendekat pada Tuhan. Terkadang saya bingung sendiri, saya
takut mati, tapi sesantai dan seadanya beribadah. Padahal saat kematian belum
datang adalah kesempatan kita untuk menambah pundi-pundi amal kebaikan karena
hanya itu yang akan kita bawa.
Kematian juga bisa datang kapan saja. Sesuai
dengan takdir kita masing-masing. Ia tak menunggu kesiapan kita, kita lah yang
harus selalu siap sedia menghadapinya. Tidak hanya saat akan melakukan
perjalanan naik pesawat tapi juga dalam situasi apa pun.
Mama saya selalu berpesan, kalau melakukan
perjalanan, lakukanlah perjalanan dengan niat yang baik. Bukan sekadar
hura-hura. Jika kematian menjemput saat itu, semoga niat baik itu menjadikan
kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin...
Duka cita mendalam untuk para
korban pesawat Lion Air JT610. T_T
Aku juga agak ngeri mbak, padahal rencana mau ke Manado naik pesawat..
BalasHapusMati itu syarat masuk surga, karna kalo mau ke sana ya harus mati dulu, tapi syarat dan ketentuan berlaku..ðŸ¤
BalasHapus