Dulu
cintaku, banyak padamu
Entah
mengapa, kini berkurang
Jenuh – Rio
Febrian
Foto dari Pixabay |
Suatu hari saya membaca sebuah tweet dari akun fanbase bulutangkis yang bilang dia sedang jenuh. Jenuh pada
bulutangkis dan semangatnya tak semenggebu dulu dalam mengikuti perkembangan bulutangkis.
Kalau dulu dia begitu semangat setiap pekan dan setiap ada turnamen, kemudian
dia hanya sekadar tahu… “Oh, ini juara. Ini kalah lagi.” Begitu saja.
Saya
yang menyimak kicauan itu dan membaca komentarnya kemudian membatin “Saya
merasakan hal yang sama.” Dalam hal yang berbeda tapinya. Kalau entah siapa di
balik akun itu jenuh pada bulutangkis, saya sedang jenuh pada BUKU. Yang saya cintai semenjak saya kecil.
Seperti
yang saya ceritakan di sini,
dulu saya begitu kalap pada buku. Jauh sebelum itu juga. Tapi pada masa itu
memang kekalapan saya luar biasa. Setiap bulan, pasti ada buku yang saya beli.
Kadang jumlahnya terlalu luar biasa buat saya. Buku-buku yang saya beli
melebihi tempat penyimpanan yang ada di rumah. Menumpuk tak karuan.
Buku-buku
itu tak selalu buku baru dengan harga seperti di toko besar. Saya keranjingan
berburu buku diskonan, buku-buku second,
dan kemudian beberapa buku saya review dan dimuat di media. Di mana buku yang
saya resensi itu mendapat apresiasi dari penerbit dengan mereka mengirimkan
buku baru. Buku-buku saya pun beranak pinak.
Pernah
saya mengatakan kepada diri saya sendiri “SETOP”. Bertahanlah untuk tak membeli
buku baru sebelum buku-buku yang saya punya selesai dibaca. Yah, saya memang
hanya membeli sementara membacanya lambaaat sekali perkembangannya. Alhasil,
saya bukan seorang pembaca buku tapi lebih pada penimbun buku.
Puasa
beli buku pun pada kali itu hanya menjadi wacana saja buat saya. Saya terus membeli
dan membeli lagi dengan anggapan toh nanti-nanti juga bisa dibaca. Buku itu
adalah kumpulan ilmu yang tak pernah basi. Timbun terus, baca kemudian. Entah
kapan. Jadi, tiap ada kesempatan lagi-lagi saya belanja buku. Hanya bermaksud
melihat-lihat saat ada bazar buku, lagi-lagi ada buku yang saya bawa ke kasir
dan jumlahnya kadang tidak hanya satu, tapi bisa empat atau lima bahkan lebih.
Buku-buku semakin menumpuk di rumah
saya. Melebihi kapasitas tempat. Kontainer baru dibeli, diisi buku. Saya pun
kemudian mencoba memberikan suasana lain pada koleksi buku saya. Seperti
menyusunnya sesuai dengan warna sampul yang saya lihat dari IG seorang pecinta
buku. Karena saya suka sama pink, jadi saya susun buku dengan cover pink di
bagian paling depan, di tempat yang paling terlihat sama saya. Hal itu sedikit
membuat saya lebih nyaman.
Sampai pada satu titik saya
diingatkan tentang kematian. Berasa dekat sekali dengan kematian dan saya
memikirkan buku-buku saya yang mungkin akan merepotkan buat mereka yang saya
tinggalkan. Di keluarga yang tergila-gila sama buku hanya saya.
Setelah
satu tahun pergumulan saya dengan ketakutan dan kegalauan akan kematian, saya
kemudian dihadapkan pada kenyataan lain yaitu pindahan. Di
sinilah kejenuhan saya seolah mencapai puncaknya. Saya harus berberes. Mengemas
buku-buku saya yang entah kenapa pengemasan itu seolah tak selesai-selesai.
Saya menyusun buku-buku dalam sebuah kotak besar bekas AC, eh, malah saya tidak
kuasa untuk mengangkatnya saking beratnya. Mendorong pun seolah tak bergeser tuh
kotak buku. Akhirnya saya pindahkan lagi buku-buku ke dalam container yang
lebih kecil.
Beberapa
bulan sebelum dan akan pindahan, saya juga berdiskusi banyak kepada suami
tentang buku-buku tersebut. Meminta izin padanya untuk memindahkan buku
tersebut ke rumah orang lain. Sebenarnya saya punya impian punya rumah baca,
tapi karena satu dan lain hal yang belum bisa saya ceritakan, harapan itu
mungkin akan saya kubur saja. Jadi, daripada buku-buku itu nganggur lebih baik
mengisi rumah baca yang sudah ada.
Dalam buku Seni Hidup Minimalis yang saya
baca disebutkan ada kalanya tempat
terbaik suatu barang adalah rumah orang lain. Berharap buku itu
akan menemukan pembaca yang tepat dan berguna buat mereka. Saya pun kemudian
mensortir sebagian buku. Saya raba buku yang saya miliki, mengelus dengan
lembut dan bertanya kepada diri saya sendiri, apakah saya akan membaca buku ini
lagi atau tidak? Beberapa buku kemudian saya putuskan untuk direlakan pada
tahap ini tapiiii masih banyak saja. Dan pusiiiing saat pindahan.
Apalagi kemudian saya dapat kost semi
kontrakan di lantai dua. Mengangkat container berisi alat-alat rumah tangga
berupa panci, piring yang bukan piring kaca, yang beratnya masih lebih ringan
daripada container isi buku saja membuat saya ngos-ngosan. Membayangkan
mengangkut buku-buku itu ke kamar kost semi kontakan, rasanya sudah gimana gituuuu.
Belum lagi tempat yang terbatas, karena kost semi kontrakan ini emang lebih sempit
dan kecil. Jadi, deh kejenuhan saya akan buku rasanya semakin memuncak. Oh,
ternyata saya bukan seorang pecinta buku yang dalam kondisi apapun tak pernah
merasa jenuh pada buku. Tapi sejenuh-jenuhnya pada buku, tetap sih kemarin saya
belanja buku juga. Buahaha….
Entahlah saya tidak tahu apakah
kondisi jenuh ini akan bertahan selamanya atau hanya sementara dan nantinya saya
akan kembali tergila-gila pada buku. Saya tidak tahu. Dan saya tetap seseorang
yang memandang kalau membaca buku itu
bagus untuk menambah wawasan dan informasi. Saya tidak bilang saya berhenti
membaca buku kan? Hehehehe… Hanya saja, saya merasa jenuh dan hari ini di hari
buku sedunia di tahun 2019 saya bilang ke buku “Maaf, aku jenuh padamu.”. Entah
besok, entah lusa.
auto nyanyi baca lirik Jenuh hahaha...
BalasHapusaku juga nih mba lagi jenuh, lagi cape tapi beli buku mah tetep wkwkwk sungguh penimbun buku :p semoga next gairah membaca berapi2 kembali
Aamiin. Iya, Mbak. semoga ke depannya gairah membaca kembali berapi2. Kalau kata suami, saya kebanyakan buka sosmed. wkwkwk...
HapusKalau aku bukan jenuh sih, tapi lebih ke sadar kalau buku yang kubeli banyak kada tebaca lawan gasan menghemat pengeluaran. Haha. Mana sekarang kawa baca buku di ipusnas jua jadinya beli buku kada jadi prioritas lagi. Malah kadang kalau ada bazaar jarang beli kecuali yang benar-benar menarik. Repotnya karena malas ke toko buku ku malah kada tetukar buku gasan anakku 😂
BalasHapusNah itu jua, Ka. Banyak akhirnya buku masih segel belum tabaca. Bapikir berapa dulu duit beli itu jadi rasa kayapakah jadinya. hehehe...
Hapus